Senja
Di Pataba
Oleh
: Joyo Juwoto
Sudah
yang ketiga kalinya ini saya menikmati senja merah di langit Pataba, mendedah
buku-buku di sebuah ruangan 3x4 meter, merenungi sosok penulis inspiratif nan
kontroversional dari kota kecil Blora Jawa Tengah, Pramoedya Ananta Toer (Pram).
Sambil bersendau gurau, ngobrol ke utara
ke selatan, tanpa arah, membalik logika serta menembus batas cakrawala berfikir
dengan adik beliau Mbah Soesilo Toer yang sekarang menempati dan mengelola perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) yang berada di Kampung Jetis Blora.
Blora,
adalah sebuah kota kabupaten kecil yang berbatasan langsung dengan desa di mana
saya tinggal, hanya dipisahkan oleh kecamatan Kenduruan, itupun saya merasa
dulu Blora dengan wilayah Tuban bagian selatan adalah satu wilayah
administratif yang berada di bawah kekuasaan Keraton Jipang Panolan.
Hal
ini terbukti dari cerita-cerita masyarakat, bahwa di desa saya ada sebidang
tanah yang dikenal dengan sebutan tanah Blora. Bisa jadi dulu itu tanah milik
warga Blora yang tinggal di situ, atau mungkin milik priyayi Kadipaten Jipang
yang mengungsi kemudian tinggal di situ pasca perseteruan Arya Penangsang
dengan Hadiwijaya dari Kadipaten Pajang. Mengingat jaraknya yang dekat juga
daerahnya yang tersembunyi dengan hutan-hutan jati yang lebat. Konon jati Blora
ini memiliki kualitas sejarah sebagai bahan baku bahtera Nuh.
Selain
itu masyarakat Bangilan di mana saya tinggal juga memiliki keyakinan bahwa di
tempat-tempat keramat tertentu tersimpan benda-benda pusaka ghaib, seperti keris,
pedang, cempuling yang konon hanya orang Blora saja yang bisa dan mampu mengambilnya,
karena memang itu hak waris mereka dari moyang orang Blora terdahulu. Tidak
hanya itu saja, dulu menurut cerita turun temurun Kadipaten Blora pernah
dipindahkan di Bleboh, sebuah wilayah di tengah hutan di sebelah barat desa
saya, kemudian juga pernah dipindahkan ke desa Kablukan Bangilan. Entah
kebenarannya seperti apa, perlu ditelusuri lebih lanjut.
Berbicara
Blora bagi saya memang sangat menyenangkan, dari kota kecil ini terukir
nama-nama tokoh besar yang sangat revolusif dan pemberani, seperti Eyang Samin
Soerosentiko, Tirto Adi Soeryo tokoh pers pertama Indonesia, Mas Marco Kartodikromo,
dan tentu nama besar Pramoedya Ananta Toer sendiri layak diperhitungkan.
Selain
menjadi tempat kelahiran tokoh-tokoh besar, Blora menjadi tempat yang
bersejarah era kerajaan Airlangga di Kediri. Dalam bukunya Pramoedya Ananta
Toer mengatakan bahwa batu tulis sebagai tempat padepokan Mpu Bharada dan para
cantriknya yang berhasil menaklukkan sihir jahat dari Nyi Calon Arang, penebar
pagebluk di Kerajaan Kediri berada di Blora.
Dalam
bukunya Cerita Calon Arang Pram
bahwa Lemah Tulis sekarang adalah Kabupaten Blora. Hal ini berdasarkan apa yang
disampaikan oleh Prof. Dr. Purbajaraka bahwa di Wurare telah ditemukan arca
raja Kertanagara (Mahasobhva atau Joko Dolok) sebagai penghormatan terhadap
keagungan dari Mpu Bharada. Kata Wurare sendiri terdiri dari Bhu = tanah,
sedang rare berarti anak. Karena itulah tempat itu bisa disebut juga
Lemah-Putra. Lama- kelamaan Lemah Putra disebut Lemah Patra yang searti dengan
Lemah Citra. Karena Patra juga berarti surat atau citra. Dari sinilah asal-usul
nama Lemah Tulis tempat di mana padepokan Mpu Bharada berada.
Lebih lanjut Pram menyatakan bahwa Wurare sebenarnya
berasal dari kata Wurara. Dan oleh masyarakat penyebutan Wurara dari waktu ke
waktu berubah menjadi Wrura, Wlura, Blura, dan sekarang menjadi Blora. Jadi
menurut Pram padepokan Lemah Tulis itu berada di Kabupaten Blora. Jadi Blora
memiliki akar sejarah dan tokoh-tokoh hebat yang layak dikenang.
Salah satu sudut kota Blora yang patut dikenang dan
menjadi icon kota sate ini menurut saya adalah eks jalan Sumbawa (diusulkan
menjadi jalan Pramoedya Ananta Toer) dengan Patabanya. Di sini terlahir
sastrawan besar yang pernah dimiliki oleh Negeri Indonesia. Dan belum tentu
akan ada sastrawan sekaliber Pram yang terlahir dari rahim bumi pertiwi ini. Prof. Teeuw pernah menulis “kendati apa pun dikatakan
mengenainya, Pramoedya tetap merupakan penulis yang hanya satu lahir dalam satu
generasi, bahkan satu dalam satu abad.” Maka tentu Blora layak berbangga
dengan anak biologis maupun anak ideologisnya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar