Cerita Di
Kaki Bukit Cibalak
Oleh
: Joyo Juwoto*
Di
Kaki Bukit Cibalak adalah sebuah judul novel yang ditulis oleh Ahmad Tohari,
seperti tulisan-tulisan beliau yang lain saya sangat menyukai model dan gaya
tulisan dari Sastrawan kenamaan ini. Ahmad Tohari dalam menulis tidak terlalu
muluk-muluk dan tidak menggunakan bahasa metafor yang euforis. Bahasa yang
sering dipakai oleh penulis Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini sederhana, mudah
dipahami, dan sangat dekat dengan kehidupan kita.
Di
dalam novel yang berjudul Di Kaki Bukit Cibalak ini Ahmad Tohari ingin menjadikan
sastra sebagai media untuk mengkritisi perilaku pejabat yang salah dalam
menggunakan wewenangnya, pejabat yang korupsi, dan berbagai perilaku para
pemegang kekuasaan yang menyimpang dari pakem kebenaran.
Cerita
di novel ini dimulai dengan pemilihan kepala desa Tanggir yang berada di Kaki
Bukit Cibalak. Seperti pemilihan-pemilihan kepala desa di mana kita tinggal, pemilihan
ini sebenarnya hanya sekedar ritual yang selalu saja begitu kejadiannya.
Siapapun yang memiliki amunisi keuangan banyak, mampu membeli suara masyarakat
melalui botohnya dipastikan ia yang akan tampil sebagai pemenang di liga
kompetisi demokrasi semu itu.
Rakyat
seakan juga sudah berfikir praktis, hanya satu hari itu saja suaranya
dibutuhkan, selebihnya suara rakyat tidak akan pernah didengarkan oleh siapapun.
Oleh Karena itu kebanyakan masyarakat akan menjual suaranya untuk calon kepala
desa yang berani membeli dengan harga yang lebih tinggi dari calon lainnya.
Oleh
karena itu tidak heran jika ada kepala desa yang jadi, tugas pertama kepala
desa itu adalah menata kembali perekonomian rumah tangganya, begitu tulis Ahmad
Tohari. Dan saya rasa memang demikian, untuk menjadi lurah tidak cukup jutaan
rupiah, bahkan ada yang hingga ratusan juta rupiah. Sungguh demokrasi yang sangat
membebani dan menyesakkan dada serta ruang berfikir manusia.
Seperti
yang ditulis oleh Ahmad Tohari, Pak Dirga yang baru terpilih sebagai kepala desa
Tanggir akhirnya di awal pelantikannya memanipulasi keuangan lumbung koperasi
yang di kelola oleh pemuda desa yang bernama Pambudi dan Poyo. Selain memanipulasi
keuangan koperasi desa, Pak Dirga juga punya rencana jahat terkait dengan
rencana pemerintah untuk melebarkan jalan desa.
Pambudi
seorang pemuda usia 24 tahun yang berjiwa idealis tidak mau berbuat
kongkalikong dengan lurahnya, sehingga ia rela mengundurkan diri dari
pekerjaannya, padahal Pambudi sendiri belum memiliki pekerjaan lain.
Karena
Pak Dirga terlanjur membocorkan sikap culasnya kepada Pambudi, mau tidak mau
akhirnya Pak Dirga dengan segala daya upaya ingin menyingkirkan pemuda desa
Tanggir itu dari tanah kelahirannya. Hal ini juga dipicu oleh perlakuan tidak
adil Pak Dirga kepada warganya yang miskin.
Seharusnya
warga yang memang benar-benar tidak mampu membayar maka ia berhak mendapatkan
santunan gratis dari dana lumbung koperasi desa, namun hal itu tidak bagi mbok Ralem
yang meminjam dana koperasi untuk pengobatan penyakit kankernya.
Karena
tidak mendapatkan dana pinjaman, akhirnya Pambudi bertindak. Ia membuat donasi
untuk mbok Ralem di Majalah Kalawarta yang terbit di Jogja. Dari situlah
akhirnya Mbok Ralem menjalani perawatan hingga sembuh.
Singkat
kisah, perseteruan Pak Dirga dengan Pambudi mencapai klimak, hingga akhirnya
Pambudi harus hengkang dari desanya. Ia kemudian pergi ke kos-kosan Topo, temennya
dulu waktu SMA yang sedang menempuh perkuliahan. Atas saran dari temennya
itulah Pambudi kemudian melanjutkan kuliah juga.
Di
Tanggir sebenarnya Pambudi memiliki gadis pujaan hati, yaitu Sanis putri cantik
anak dari modin desa. Semenjak kepergian Pambudi Sanis justru mulai tertarik
dengan Sembodo anak pak camat. Namun
takdir berbicara lain, justru Sanis dilamar oleh Pak Dirga, lurahnya sendiri
yang sudah berganti istri hingga ke tujuh kalinya, dan Sanis yang kedelapan.
Pambudi
sendiri kemudian melanjutkan kuliah di Jogja, sambil kuliah ia bekerja di sebuah
toko jam milik seorang Tionghoa. Dari sinilah kemudian terjalin asmara antara
Pambudi dengan Mulyani, anak dari pemilik toko di mana ia bekerja.
Saya
sangat suka cara Ahmad Tohari menulis kisah asmara, terasa alami dan tidak
dibuat-buat. Selain itu bahasa yang dipakai juga santun serta tidak vulgar
sebagaimana novel lelaki harimau, dan novel-novel lain yang ditulis oleh Eka
Kurniawan. Ahmad Tohari mampu membawa tema asmara dengan sangat manusiawi dan
sesuai dengan karakter ketimuran kita. Sangat luar biasa.
Penasaran
ingin membaca novel Di Kaki Bukit Cibalak? silakan buru buku penulis dari Banyumas
ini.
"Joyo Juwoto, Pegiat Sastra Kali Kening
Tidak ada komentar:
Posting Komentar