Karomahnya
Istri Cerewet bin Bawel
Oleh
: Joyo Juwoto
Bulan-bulan
ini banyak sekali undangan mantenan maupun hajatan lainnya, maklum memang
bulannya bulan baik dan penuh berkah untuk menyelenggarakan event hajatan.
Kemarin
saya juga mendatangi walimahannya salah seorang temen, saya selalu senang
datang ke walimahan selain silaturrahmi banyak ilmu yang kita dapatkan dari
mauidhoh yang disampaikan oleh para Kiai pembicara. Lain daripada itu, tentunya
dalam walimahan juga bisa kita jadikan sebagai ajang memperbarui sensasi
menjadi temanten anyar bagi kita-kita yang sudah menikah. Setidaknya kenangan kebahagiaan
menjadi temanten anyar akan muncul kembali di benak kita.
Dalam
mauidhoh yang kemarin disampaikan oleh pembicara di walimah teman saya, Pak
Kiai membahas mengenai kesabaran dari seorang Umar bin Khattab di hadapan
kemarahan istrinya. Kisahnya sebagai berikut :
Suatu
ketika, salah seorang Sahabat Abu Dzar Al Gifari* merasa gusar karena di rumah
istrinya selalu memarahinya. Di tengah
kekalutannya, Abu Dzar berencana menceraikan istrinya yang dianggap terlalu
cerewet kepada dirinya. Namun sebelum itu, Abu Dzar ingin meminta pendapat
terlebih dahulu kepada seniornya yaitu Umar bin Khattab.
Berangkatlah
Abu Dzar ke rumah Umar. Sesampai di sana Abu Dzar berdiri di depan pintu
kemudian akan mengucapkan salam. Namun ia urungkan niatnya, karena Abu Dzar
mendengar suara wanita yang juga sedang marah-marah di dalam rumah.
Abu
Dzar Al Gifari tertegun, ternyata itu adalah suara Atiqah istri dari sahabatnya
Umar bin Khattab. Di tengah kemarahan Atiqah istrinya Umar, Abu Dzar sama
sekali tidak mendengar suara Umar membalas kemarahan istrinya.
Tak
berselang lama suasana hening, namun Abu Dzar mengurungkan mengucapkan salam,
ia segera berbalik untuk pulang. Ketika kakinya akan diputar untuk melangkah ke
belakang, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara Umar bin Khattab.
“Wahai
Abu Dzar, ada urusan apa engkau datang kemari? dan mengapa engkau belum bersua
denganku kok akan pergi? Tanya Umar.
“Owh,
engkau wahai Umar” Jawab Abu Dzar sambil kembali ke arah pintu rumah Umar bin
Khattab.
“Iya,
kemarilah ada urusan apa engkau datang ke rumahku?
“Begini
Umar, tadinya saya mau meminta pendapat engkau tentang istriku yang suka
marah-marah kepadaku. Hampir saja saya menceraikan istriku itu karena
kebawelannya, wahai Umar.
“Tapi,
ketika saya datang ke rumahmu, engkau ternyata juga sama seperti saya, sedang
dimarahi oleh istrimu, dan saya sama sekali tidak mendengar engkau membantah
omelan istrimu itu, wahai Umar.”
“Hehe...hehe...iya
Abu Dzar, saya tidak mungkin memarahi
istri saya, karena saya selalu mengingat akan pengorbanan istri saya lebih
besar dari segalanya. Di seluruh waktu dan kehidupannya, istriku hanya
digunakan untuk keperluanku. Memasak untukku sepanjang waktu, mengasuh dan
mendidik anak-anak, padahal itu semua sebenarnya bukanlah kewajibannya”. Jawab Umar
kepada Abu Dzar.
Selain
kisah Umar yang sabar menghadapi kemarahan istrinya, Pak Kiai juga menceritakan
ada seorang sufi yang bekerja sebagai pembuat kapak, pisau, dan parang. Sufi
itu bernama Abu Ibrahim. Setiap hari Abu Ibrahim membuat kapak dan parang untuk
dijual ke pasar.
Di
rumah Abu Ibrahim memiliki istri yang sangat galak, sehingga Abu Ibrahim harus
bekerja keras untuk memenuhi tuntutan si istri yang kadang-kadang kelewat batas
kemampuan Abu Ibrahim. Namun Abu Ibrahim tetap sabar menghadapi kebawelan
istrinya.
Ada
satu karamah yang dimiliki oleh Abu Ibrahin, yaitu ketika ia bekerja membakar
besi yang akan dijadikan kapak dan parang tadi, Abu Ibrahim tidak memerlukan
penjepit dari besi. Cukup besi yang membara itu dipegang dengan tangnnya. Atas
kebesaran Tuhan, Abu Ibrahim sama sekali tidak merasakan panasnya besi yang
merah membara.
Selain
sebagai pandai besi, Abu Ibrahim juga bekerja mencari kayu bakar di hutan. Saat
dia mencari kayu bakar, Abu Ibrahim bertemu dengan seekor singa hutan yang
garang. Namun aneh singa itu seakan takluk dan tunduk di hadapan Abu Ibrahim.
Bahkan ketika ia pulang, singa itu membawakan kayu-kayu yang seharusnya dipikul
oleh Abu Ibrahim.
Suatu
ketika entah karena apa, istrinya Abu Ibrahim meninggal dunia atau mungkin berpisah
karena diceraikan oleh Abu Ibrahim. Soalnya saya lupa ceritanya, namun
kelanjutan cerita, Abu Ibrahim memiliki istri baru. Beda dengan istrinya yang
lama, istri Abu Ibrahim kali ini orangnya sangat penurut dan sangat mencintai
Abu Ibrahim. Berapapun uang belanja yang diberikan oleh Abu Ibrahim diterimanya
dengan senang hati dan penuh syukur.
Seperti
biasa Abu Umar berangkat bekerja seperti biasanya untuk membuat peralatan dari
besi. Saat Abu Ibrahim membakar besi itu, dan akan dipegang dengan tangannya,
ternyata ia kepanasan. Ketika Abu Ibrahim ke hutan untuk mencari kayu bakar,
singa yang biasanya membantunya pun tidak ada, hingga Abu Ibrahim harus
berpayah-payah memikul kayu-kayu itu sendiri.
Abu
Ibrahim jadi bertanya-tanya, kenapa karamah yang diberikan kepadanya sekarang
sudah lenyap. Ternyata karamah Abu Ibrahim mampu memegang panasnya besi yang
membara, dan mampu menaklukkan kegarangan singa hutan, dikarenakan kesabaran
dan keihklasannya dalam menghadapi kecerewetan dan kebawelan sang istri
terdahulu. Karena istrinya sekarang taat dan patuh kepadanya, maka karamahnya
telah diangkat dari dirinya.
Demikian
kisah yang diceritakan oleh Pak Kiai di dalam mauidhoh temanten di teman saya
kemarin. Selamat menikmati dan semoga bermanfaat.
*Sahabat Abu Dzar Al Gifari : Untuk nama laki-laki yang mendatangi Umar belum saya cek kebenaranya, entah dia Abu Dzar atau bukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar