Memoar Kopdar SPN IV di
ITS Surabaya
Oleh : Joyo Juwoto*
Kopdar
Komunitas Literasi Sahabat Pena Nusantara (SPN) selalu menggelegar dan
meledakkan semangat berliterasi serta menghasilkan karya. Bagaimana tidak, tema
kopdar yang diusung di kopdar keempat yang diselenggarakan di Kampus Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, 21 Mei 2017 ini sangat provokatif,
“Satu Buku Sebelum Mati” sebuah tema yang makjleb tepat menusuk jantung para
peserta kopdar.
Siapapun
yang hadir dalam Kopdar di ITS tentu akan terbakar semangatnya untuk menulis,
meminjam istilah Ketua SPN, M. Husnaini “kobong ndase” (terbakar
kepalanya) untuk berkarya dan menghasilkan buku, minimal satu buku ditulis sebelum
mati. Apalagi pada saat kopdar para peserta mendapatkan motivasi dan latihan menulis
secara langsung dari para pakar. Sebut saja ada Doktor Ngainun Naim, Pak
Hernowo Hasim, dan juga sang provokator menulis Pak Much. Khoiri yang akrab
dipanggil pak Emcho.
Selain
mendapatkan materi tentang menulis satu hal yang juga tidak kalah pentingnya
adalah bertemu dengan para penulis dari seluruh penjuru Indonesia, bahkan ada
yang datang dari Malaysia, karena memang SPN sekarang sudah punya cabang di sana,
yang diketuai oleh Ibu Rita Audriyanti. Bertemu saja itu rasanya sudah
memberikan efek positif, benar sekali yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw,
bahwa berteman dengan penjual minyak wangi akan ikut kebagian bau wangi dan
harum, begitu pula berteman dengan para penulis tentu kita juga akan ketularan
menjadi penulis, setidaknya itu yang saya rasakan.
Saya
merasa beruntung saat kopdar SPN IV bisa berada di tengah-tengah orang-orang
hebat, aura positif benar-benar merasuk dalam pori-pori kesadaran saya, bahwa menulis sangatlah penting. Pak
Emcho membuat semboyan “Menulis atau Mati” (write or die!) semboyan ini tentu
menjadi kekuatan yang luar biasa dan menggugah kesadaran bagi saya, bahwa
menulis adalah sebuah kewajiban dan keharusan.
Pak
Emcho menegaskan bahwa menulis sebagai sebuah kewajiban didasari dari Firman
Tuhan yang pertama kali turun, yaitu Iqra’ yang berarti bacalah. Membaca di
sini erat kaitannya dengan menulis, karena tanpa ada sesuatu yang ditulis maka
mustahil kita bisa membaca.
Sesuai
dengan tema yang dibawakan oleh Pak Emcho “Menulis Buku Untuk Warisan: Jangan
Mati Sebelum Menulis Buku” maka mari kita mewariskan buku untuk generasi ke
depan, karena semua penulis tentu akan mati dan hanya karyanya yang akan abadi.
Maka mengabadilah dengan berkarya yang sebanyak-banyaknya. Salam Literasi.
“Joyo
Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Telah menulis dua
buku solo, Jejak Sang Rasul (2016); Secercah Cahaya Hikmah (2016), dan menulis
beberapa buku antologi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar