Cerita Dari Desa
Oleh : Joyo Juwoto
Persawahan, ladang, padang rumput dan hutan-hutan menjadi bagian
tak terpisahkan dari tempatku tinggal. Sebuah desa kecil yang hijau dan penuh
dengan kedamaian, terletak di ujung barat kota kecamatan Bangilan, jauh dari
segala hiruk pikuk dan glamournya kehidupan modern. Di desa itulah segala
cerita dan kenangan mengabadi sepanjang waktu. Tak lapuk oleh waktu, tak lekang
oleh zaman. Kenangan kadang mampu menjadi mata air yang menyejukkan bagi jiwa
yang kadang dirundung murung dan kesepian-kesepian panjang di tengah sahara
kehidupan yang kering kerontang.
Di desa antara
persawahan dan kampung tempat tinggal penduduknya, dipisahkan oleh sebuah
sungai kecil. Sungai itu tidak mengalir sepanjang waktu, hanya di musim hujan
saja sungai itu airnya melimpah, sedang jika musim kemarau, sungainya mengalir
kecil, namun ada banyak kedung-kedung yang menjadi sumber simpanan air yang
cukup melimpah.
“Ayo mandi ke sungai ! ajakku kepada beberapa temanku yang masih berkerudung sarung.
Dinginnya malam masih tersisa, sehingga memaksa kami untuk merapatkan kain
sarung. Kami baru saja pulang dari langgar. Sudah menjadi kebiasaan anak
laki-laki di kampung, tidur di langgar pada malam hari, esoknya kami pulang ke
rumah.
“Ayo, mumpung sekolah nanti liburkan ? kita bisa bermain
sepuasnya di sungai” Sambut Temon, teman kami yang paling kecil. Temon paling
suka jika diajak mandi ke sungai, karena ia jago berenang, di sekolahnya, Temon
adalah juara tingkat kecamatan lomba renang dalam rangka hari Agustusan.
Kami bertiga kemudian menuju sungai di pinggiran kampung, sedang
dua orang temanku yang lain langsung pulang ke rumah. Sesampai di sungai, Temon
langsung terjun ke kedung, ia melompat dari tebing yang paling tinggi di tepi
sungai, gerakannya indah, bersalto kemudian meluncur ke bawah. Byurr...tubuh
mungilnya lenyap di dalam air, kemudian sepersekian menit ia muncul sambil
tertawa-tawa. Dengan penuh riang gembira Temon berenang ke sana kemari.
Saya dan Hari masih di pinggiran sungai, kami berdua memang
lebih suka bermain pasir. Saya dan Hari membuat bola-bola dari pasir, bola itu
nantinya akan kami adu, milik siapa yang terkuat adalah yang tidak pecah jika
kami lempar dengan posisi horizontal dari atas ke bawah.
Sungai di kampung kami ini memang menjadi ibu kedua bagi
anak-anak, karena di tempat itulah kami biasa bercengkrama, bermain dan
bermanja menghabiskan waktu pagi dan sore hari.
Dari kebeningan
air di kedung-kedungnya, kami mandi dan mencuci
pakaian, pasir-pasirnya yang lembut nan
hangat di pagi dan sore hari memeluk tubuh-tubuh anak-anak yang bermain di
hamparannya yang luas, dari belik-beliknya yang jernih juga biasa dikonsumsi untuk
air minum, bagi ternak-ternak juga manusianya. Sebelum masyarakat mempunyai
sumur-sumur yang di gali di pelataran rumah mereka.
“Nanti kita menggembala di pinggiran hutan yuk,” Ajak Temon,
kami hanya mengangguk. Karena memang selepas bermain dan mandi di sungai,
biasanya saya akan membantu bapak mencarikan rumput untuk kedua sapi yang dipelihara
bapak sejak beliau belum berumah tangga, namun saya lebih suka menggembala
sapi. Karena kami bisa bermain sambil menggembala hingga sore hari. Dan ini
adalah aktivitas yang sangat menggembirakan bagi kami, anak-anak kampung.
Siang panas menyengat, saya, Temon dan Hari bersama menggiring
sapi-sapi ke pinggiran hutan, diujung kampung. Sangat menyenangkan,
di tepi hutan bersama teman-teman mbakar jagung, singkong ataupun telo. Sambil
menunggu sapi yang merumput, kami makan bersama, bercanda, bercerita, dengan
penuh keakraban. Untuk minum biasanya kami bawa sebotol air dari rumah, kalau
tidak begitu kami pun tidak perlu susah. Di tepi hutan banyak tersimpan sumber
air atau belik yang bisa kami minum tanpa perlu
memasakknya terlebih dahulu. Atau lebih ekstrim lagi kami juga biasa minum dari leng yuyu dengan sedotan dari papah pohon
pepaya, yang banyak tumbuh di tegalan.
Jika
kami dapat belalang atau manuk emprit, biasanya kami bakar dengan bara api yang
kami buat dengan kotoran sapi kering, atau kalau tidak begitu, biasanya kami
bawa umplung wadah cat ukuran sedang. Umplung itu
kedua sisinya kami beri tali dari kawat biar bisa dicangking kemana-mana.
Umplung yang telah kami lubangi sisi-sisinya itu kami isi dengan kayu
atau arang, kemudian kami nyalakan sebagai tungku untuk membakar binatang buruan
tadi.
Selain
berfungsi sebagai tungku, umplung itu juga kami pakai untuk mengasapi sapi agar
terhindar dari gigitan nyamuk, lalat, dan pela-pelu. Biasanya tungku umplung
itu kami bawa jika kami menggembala seharian mulai dari pagi hingga sore hari.
Selain itu juga kami pakai untuk penghangat badan saat menggembala di
musim bediding.
Rutinitas
menggembala pada musim kemarau lebih sering saya lakukan daripada musim
penghujan, karena di musim kemarau untuk mencari rumput susah, sehingga lebih
baik sapinya dilepas di padang gembala saja. Jika di musim hujan saya agak
jarang membawa sapi-sapi itu ke padang rumput, karena selain banyak rumput yang
bisa di sabit untuk makanan sapi, biasanya di musim penghujan sapi-sapi itu
dipakai oleh bapak untuk menggarap lahan sawah dan ladangnya.
Menjelang senja, kami menggiring sapi-sapi pulang ke kandang,
biasanya setiba di sungai sapi-sapi akan berebut minum di sungai, sambil
sekalian mandi di kedung, agar setiba di rumah sapi dalam keadaan bersih dan
segar. Sambil menunggu sapi-sapi mandi, Temon dan Hari ikut mandi, mereka
berdua menaiki punggung sapi yang berenang di kedung. Saya sendiri memilih
menunggu di pinggiran tebing, sambil sesekali meniup seruling bambu. Alunannya
menggema menyusuri tebing dan lembah sungai, berbaur dengan desau angin senja
bertiup sepoi-sepoi, membelai daun-daun bambu di pinggiran sungai.
Semburat senja berwarna jingga di langit barat bercerita,
tentang keindahan alam desaku yang mempesona, dan sebentar lagi malam akan
tiba. Saatnya kami pulang membawa sapi-sapi ke kandang. Usai mandi dari Sungai
kami bertiga pulang ke rumah masing-masing, dan nanti malam akan bertemu
kembali di langgar.
“Temon, Hari... nanti malam saya kayaknya tidak tidur langgar,
kakek sakit, tadi saya disuruh menemani beliau” pamit saya kepada kedua
temanku, saat kami berpisah di persimpangan jalan.
“Wah...gak asyik, kalau kamu gak datang ! nanti kan pas bulan
purnama, kita bisa main sepuasnya di pelataran langgar” jawab Hari
“Tapi ya gak apalah, kasian kakekmu di rumah sendiri, temani
kakekmu saja” sambung Temon. Kemudian kami pun berpisah menuju rumah
masing-masing.
Waktu itu listrik dari PLN belumlah
ada, Masyarakat lebih banyak menggunakan lampu umpling untuk menerangi rumahnya di malam hari, lampu
itu dibuat dari botol bekas sirup yang diisi minyak tanah, kemudian dipasang
sumbu dari kain bekas. Jika dinyalakan maka apinya menyala merah dengan kepulan
asap hitam memenuhi ruangan rumah. Hingga dinding-dinding rumah kami yang
terbuat dari anyaman bambu, berwarna hitam legam. Sedang penduduk yang
terbilang berpunya menggunakan lampu teplok atau lampu petromax yang memakai
semprong dari kaca, yang dibeli dari pasar kecamatan, itu pun tidak sepanjang
malam dinyalakan.
Purnama sidi adalah waktu yang banyak
ditunggu oleh anak-anak kampung, juga para orang tua kami, di mana saat itu rembulan
sedang bundar-bundarnya. Di setiap pertengahan bulan, khususnya di musim tidak
turun hujan, kampung kami berpesta ria bermandikan cahaya purnama.
Anak-anak akan bermain beraneka macam permainan tradisional, ada
yang main engklek, betengan, jamuran, obak sodor, sedang para orang tua akan
menggelar tikar pandan di halaman rumah, berkumpul bersama keluarga lainnya, menembangkan
kidung-kidung macapat, saling bercerita tentang apa saja, tentang tempat
angker, hantu dan gendruwo, juga tentang kisah Damar Wulan, Ande-Ande Lumut,
tentang tanaman jagung dan ketela di tepi hutan yang dirusak celeng-celeng,
tentang sapi-sapi, dan kadang pula tentang si A si B dan si C.
Di bawah cahaya keemasan purnama, kampung kami bergembira
menikmati malam-malam bersama penuh canda dan ceria. Hingga lingsir wengi tiba,
dan rembulan pucat untuk istirahat. Orang-orang pun pulang keperaduan.
Jika bulan telah mati, penduduk kampung lebih
banyak menghabiskan malam-malam di dalam rumah, mereka hanya akan keluar
jika ada hajat yang penting-penting
saja, selebihnya hanya anak-anak yang kadang masih bermain di luar rumah.
Di musim kemarau, anak-anak kampung biasanya mencari Jangkrik di
ladang ketela atau tanaman lombok, jangkrik-jangkrik itu akan diadu, siapa yang
punya jangkrik terkuat namanya akan masyhur seantero kampung. Biasanya jangkrik
terkuat diambil dari tempat-tempat angker, yang tidak semua anak berani
mengambilnya. Seperti di punden desa, di kuburan yang angker, atau di
tempat-tempat keramat. Kalau tidak begitu kami akan mencari jangkrik yang
membuat leng (lubang) di galengan ladang,kami menyebutnya sebagai jangkrik
jegol galeng (Jangkrik penjebol pematang). Jangkrik ini juga tergolong petarung
yang hebat walau tentu tak sehebat jangkrik dari tempat yang keramat tadi.
Jangkrik-jangkrik hasil berburu yang akan kami adu kebanyakan
punya nama atau julukan, jika jangkriknya berwarna hitam, kami menyebutnya
jlithengan, jika berwarna kemerahan kami menyebutnya jabrangan, menyesuaikan
dengan warnanya.
Temanku yang jago ngadu jangkrik adalah Karsono, dia adalah
botoh yang baik bagi jangkrik-jangkriknya. Oleh karena itu kadang Karsono di
bon dalam kompetisi adu jangkrik antar kampung. Dijamin jika jangkrik di bawah
asuhan Karsono, ketika diikutkan pertandingan pasti menang. Entah dia punya
mantra apa, sehingga jangkrik yang dikileni karsono menjadi sangat
beringas dalam melibas lawan-lawannya.
Selain berburu jangkrik, anak-anak juga suka berburu
kunang-kunang, biasanya kunang-kunang itu kami kumpulkan dan kami wadahi botol
bekas air minum atau plastik bening, cahaya dari kumpulan kunang-kunang seperti
bola lampu listrik lima watt, atau kadang pergi ke tepi hutan mencari
burung-burung liar. Jika musim penghujan biasanya mencari belut di
lumpur-lumpur persawahan.
Malam itu saya tidak pergi ke langgar, saya telah pamit untuk
tidak mengikuti ritual purnama di langgar. Saya harus menemani kakek saya yang
sedang sakit. Maka setelah shalat magrib di rumah, saya pergi ke rumah kakek
yang berada di ujung kampung di seberang sungai, di bawah rumpun bambu.
Gremicik airnya sangat sahdu, apalagi di malam hari yang sunyi, suara itu
seperti mengantarkan jiwa ke alam yang hening, membasuh jiwa memurnikan pikiran
dan hati.
Rumah kakek saya memang terpencil, walau tidak terlalu kauh dari
perkampungan, Rumah kakek berada diantara ladang penduduk. Semenjak nenek
meninggal dunia, kakek hidup sebatang kara. Beliau tidak mau tinggal bersama
kami, tidak ingin merepotkan, katanya. Walau demikian saya sering kesana, baik
untuk bermain ataupun saat saya mencari rumput di pinggiran sungai dekat tempat
tinggal kakek.
“Assalamu’alaikum, Kek ! Sambil mendorong pintu, saya pun masuk,
karena pintu rumah kakek memang tidak pernah dikunci, tepatnya tidak memakai
piranti kunci segala.
“Wa’alaikum salam, e ! Angger Cucuku, Kakek di sini, sini kemari
! sahut kakek yang ternyata tidak di dalam rumah, beliau sedang duduk di amben
di samping rumah di bawah pohon beringin. Saya pun keluar mendekati Kakek yang
sedang asyik menghisap klobotnya. Asap putih mengepul keluar dari sela-sela
bibirnya yang menghitam dan keriput.
“Katanya kakek sakit ? tanyaku sambil duduk di dekat beliau.
Ah, tidak, Cuma capek saja, Kakek minta pijit ya ? sambil
mendelosorkan kedua kakinya, beliau meminta agar saya memijitnya. Dengan
perlahan saya pun menggerakkan kedua tangan saya memijit kaki kakek. Saya
paling suka jika disuruh memijit, karena biasanya beliau akan banyak bercerita
tentang apa saja, cerita wayang yang paling saya suka. Kakek sering bercerita
tentang Mahabarata. Menurut beliau wayang adalah gambaran dari kehidupan yang
sebenarnya, tentang pertarungan kebaikan melawan kejahatan, dan tentu ceritanya
selalu dimenangkan oleh pihak Pandawa.
Kali ini kakek banyak diam, beliau hanya sesekali menghisap
klobotnya yang hampir habis. nafasnya terasa agak berat, mungkin benar beliau
sedang sakit, atau mungkin juga kecapekan setelah seharian penuh mengurus
ladang di samping rumah.
“Kek, kok diam saja, biasanya jika tak pijiti, kakek cerita,
ayolah kek cerita seperti biasanya, tentang Werkudara atau tentang Janaka !”
pintaku sambil terus memijit kaki Kakek.
Kakek hanya diam, suara gremicik air dari sungai terdengar
berirama, syahdu membentuk melodi semesta. Tidak seperti biasanya, kali ini
saya seakan tersihir oleh gremicik suara air, ada semacam misteri yang susah untuk
dijelaskan. Seakan-akam alam sedang
berbisik dan menyapa di kedalaman relung hati.
“Kampung tanah kelahiran derajadnya sama dengan ibu kandungmu,
Cucuku, maka peliharalah jangan engkau merusaknya” kata kakek pelan, namun
seakan suara itu berdegup di jantungku sendiri.
“Engkau minum dari kejernihan airnya, engkau makan dari hasil
buminya, engkau menghirup udaranya, engkau tumbuh berkembang di atas bumi
pertiwi ini, maka jagalah dan berbaktilah sebagaimana engkau diwajibkan oleh
Tuhan, untuk berbakti kepada ibumu sendiri”
“Pada saatnya nanti, engkau juga akan kembali ke dalam pelukan
bumi, ibu pertiwi” Lanjut kakek.
Saya hanya terdiam, sambil merenungi apa yang selama ini telah
saya lakukan. Terbayang saat saya mengambil anak burung dari sarangnya di tepi
hutan, terbayang saat saya mengadu jangkrik bersama Karsono, Temon, Hari,
terbayang pula saat saya memerangkap kunang-kunang di dalam botol bekas air
minum dan plastik. Saya jadi sedih, membayangkan itu semua. Dan saya berjanji
tidak akan mengulanginya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar