Dalam Pelukan Ramadan
Hari
ini tepatnya tanggal enam, bulan enam, tahun dua ribu enam belas (6/6/2016) adalah
hari yang sangat dinanti dan dirindukan oleh umat Islam. Jauh-jauh hari aroma
kehadirannya telah terasa di tengah-tengah kita umat Islam, khususnya umat
Islam tradisional yang menyambut tamu agung ini dengan berbagai tradisi maupun
kegiatan keagamaan seperti tradisi mapak (kenduri menyambut bulan puasa)
dan ziarah kubur. Tamu yang ditunggu itu adalah bulan ramadan, bulan di mana
umat Islam menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Puasa itu sendiri
adalah sebuah ritual ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT bagi orang-orang
yang beriman.
Sejatinya
ibadah puasa bukanlah hal yang baru, sejak zaman dahulu orang-orang juga telah
menjalankan ibadah ini dengan model dan hitungan yang berbeda-beda tentunya.
Dalam Al Qur’an disebutkan Kutiba ‘alaikum as-syiyaamu kama kutiba ala
al-ladzina min qablikum (diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu), ayat ini memberitahukan bahwa puasa
bukan monopoli milik umat Islam, karena kaum terdahulu juga telah diwajibkan
untuk berpuasa. Baik itu kaum Yahudi, Nasrani, maupun kaum-kaum yang lainnya.
Puasa
adalah salah satu dari model peribadatan tertua dalam sejarah manusia, oleh
karena itu puasa sangat erat dengan sisi kemanusiaan itu sendiri. Jadi puasa
pada hakekatnya bukan masalah ibadah individual namun juga menyangkut ibadah
sosial kemasyarakatan. Jika puasa seseorang baik dan benar tentu memberikan
imbas bagi habituasi seseorang yang
lebih baik dan bermanfaat. Oleh karena itu Rasulullah SAW mengatakan
banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya lapar
dan dahaga semata, ini mengindikasikan bahwa puasa seseorang itu hampa belum menyentuh
hakekat dari puasa itu sendiri dan belum bisa memberikan kontribusi nyata bagi
lingkungan masyarakatnya.
Puasa
sebenarnya bukan istilah yang dipakai oleh Islam, karena dalam Al Qur’an maupun
hadits istilah yang dipakai adalah Siyam, yang berakar dari kata Sha-wa-ma yang
artinya “menahan” yang secara kontekstualnya adalah menahan diri atau
mengendalikan diri dalam rangka menjadi apa
yang disebut la’allakum tattaqun (semoga
kalian menjadi orang yang bertaqwa).
Istilah
puasa menurut penulis buku Atlas Walisongo KH. Agus Sunyoto berasal dari
istilah Sansekerta yaitu dari kata upa
dan wasa. Upa berarti dekat, sedang wasa artinya Tuhan. Jadi upawasa yang
kemudian diucapkan menjadi puasa artinya mendekat kepada Tuhan. Para Walisongo
dalam berdakwah memang menggunakan pendekatan kultural masyarakat sehingga
mereka memakai istilah yang dekat dan lazim dipakai oleh masyarakat kala itu.
Menilik dari arti dan maknanya tidak ada pertentangan antara kata Sha-wa-ma
dengan kata upawasa bahkan cenderung sama, yaitu puasa sama-sama dalam
rangka mendekatkan diri kepada Tuhan yang dalam bahasa Al Qur’an disebut
sebagai taqwa.
Orang
yang mencapai derajad taqwa di dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 2-5 telah
dijelaskan secara rinci yaitu :
2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
3.
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
4.
dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu
dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat.
5.
mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah
orang-orang yang beruntung.
Sebagaimana
yang dijelaskan pada ayat di atas bahwa ciri-ciri orang yang bertaqwa adalah : mereka
yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, beriman kepada
kita-kitab Allah dan yakin akan adanya (kehidupan) akhirat, memiliki dimensi
ibadah vertikal (habl min Allah)- hubungan manusia dengan Tuhan. Sedang
menafkahkan sebahagian rezki memiliki dimensi ibadah horisontal (habl min
al-nas)- hubungan manusia dengan manusia. Jadi ketaqwaan pada hakekatnya
memiliki implikasi dengan keimanan dan kemanusiaan.
Jika
seseorang hanya baik ditingkat keimanannya saja dia belumlah layak disebut
orang yang bertaqwa, begitu juga jika seseorang hanya baik di sisi
kemanusiaannya maka jelas juga bukan orang yang bertaqwa. Karena taqwa adalah
konsekuensi dari dua hal tadi, habl min Allah (hubungan manusia dengan
Tuhan) dan habl min al-nas (hubungan manusia dengan manusia). Beriman
kepada Allah serta bekerja untuk kemanusiaan.
Taqwa
inilah sebenarnya yang menjadi puncak penghambaan seorang hamba kepada
Tuhannya, yang mana dengan taqwa seseorang mendapat petunjuk dari Tuhan mereka,
dan merekalah di surat Al Baqarah ayat 5 yang disebut sebagai orang-orang yang
beruntung. Jadi startnya puasa adalah pengendalian diri dan finisnya adalah
keberuntungan baik di dunia maupun keberuntungan di akhirat.
Di
dalam Al Qur’an disebutkan bahwa orang yang bertaqwa adalah orang yang
dijanjikan oleh Allah SWT akan mendapatkan kemenangan dan keberuntungan,
sebagaimana yang termaktub dalam surat Al Naba ayat 31 :
إنّ للمتّقين مفازا
. Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa
mendapat kemenangan
Dengan
demikian, dengan menjalankan ibadah puasa memberikan kesempatan istimewa bagi
umat Islam untuk mendapatkan janji Allah SWT, yaitu menjadi orang yang bertaqwa
yang dapat meraih kemenangan di hari di mana umat Islam kembali kepada kesucian
atau dikenal dengan istilah ‘id al-fithr (idul Fitri). Idul fitri ini bermakna
kembali kepada fitrah atau kembali kepada kesucian seperti di mana manusia
terlahir kembali ke muka bumi.
Hari
raya idul fitri inilah yang kemudian dirayakan secara meriah dan besar-besaran
oleh umat Islam diberbagai belahan dunia, bukan saja karena mereka telah
terbebas dari kewajiban puasa selama satu bulan, namun juga sebagai momentum di
mana mereka telah kembali kepada kesucian di mana dosa-dosa pada hari itu
terbasuh oleh ibadah puasa selama sebulan penuh.
Momen
idul fitri ini adalah momen ishlah, rekonsiliasi baik rekonsiliasi dengan Tuhan
maupun dengan manusia lain, momen di mana kita saling memberi dan saling
menerima maaf dengan penuh ketulusan, baik diantara maupun antara umat manusia
agar terjalin suatu hubungan yang baik di muka bumi guna menciptakan kedamaian
dan rahmatan lil’alamin.
Bangilan,
1 Ramadan 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar