Sang Tiran
Fir’aun tidak pernah mati, mungkin Fir’aun di zaman Nabi
Musa telah tenggelam di laut merah, namun gema dan kutukan jiwa Sang Tiran
selalu berkumandangan keras di labirin-labirin jiwa manusia. Akan selalu ada
Fir’aun-Fir’aun di sepanjang zaman, disetiap lembaran sejarah peradapan umat manusia.
Karena Fir’aun bukanlah badan jasmani yang rusak, Fir’aun adalah ego ke-akuan abadi
yang hampir selalu ada dalam diri manusia.
Di setiap perjalanan sejarah umat manusia Fir’aun akan
selalu maujud dengan bentuk dan takaran yang berbeda, menyesuaikan besar
kecilnya ego serta kemampuan untuk menjelma menjadi Sang Tiran. Tetapi tak
perlu khawatir sunnatullah akan selalu mengirimkan Musa-Musa baru untuk
menandingi dan meredam kepongahan dari Sang Tiran tadi. Ya selalu ada avatar
kebaikan yang akan meredam kejahatan-kejahatan avatar yang muncul dari jiwa
yang kelam. Kapanpun akan selalu muncul Ashabul Kahfi sebagai antitesa dari
Raja yang lalim, akan selalu muncul Ibrahim sebagai lawan yang sebanding dengan
Namrud, dunia dengan segala harmoninya akan mencipta satu tatanan menuju altar
suci ke Tuhanan.
Ambisi dan kekuasaan selalu memberikan jalan bagi para
tiran untuk memenuhi dan memuaskan ego dan ke-akuannya, sebagaimana Fir’aun
yang dengan penuh kesombongan berkata kepada pembesar kaumnya, sebagaimana yang
diabadikan Allah dalam Al Qur’an surat Al Qashaash ayat 38 :
38. dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar
kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku.
Jiwa tiran jika kebetulan muncul pada orang yang lemah
tentu tidak masalah, ego ke-akuannya juga akan lemah, lain lagi ketika jiwa ini
menemukan jodohnya pada orang yang berkuasa dan memiliki sumber daya, maka
klaim Sang Tiran itu akan menjadi pedang tajam yang menebas kebenaran. Power
tends to corrupt, atau lengkapnya Absolute Power tends to Corrupt
Absolutely” sebagaimana judul dissertasi seorang jenius asal Jerman,
Emmanuel Kant. Kata-kata ini muncul sebagai reaksi atas tuntutan demokrasi
yang melanda daratan Eropa. Dan begitulah fir’aunisme ini berbuat
sewenang-wenang, menginjak-injak konstitusi, memperbudak, bahkan mempertuhankan
dirinya sendiri, mempertuhankan egonya sendiri.
Jiwa tiran ini sangat bertentangan dengan jiwa kebebasan
yang digaungkan Islam dan yang di suarakan oleh nilai-nilai kebebasan
universal. Oleh karena itu cepat atau lambat sang Tiran akan runtuh dengan
sendirinya, karena jiwa tiran tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Siapapun yang
melanggar sunnah zaman dengan segala perubahan dan dinamikanya maka dia harus
siap-siap digilas dan dihancur leburkan oleh zaman. Oleh karena itu sangat
menarik ketika kita melihat fenomena Napoleon Bonaparte yang berusaha meniru gaya
fir’aunisme, namun ia gagal dan tidak mampu meniru pendahulunya Louis XIV, yang
selalu berkata : “Letat cest moi...! Negara adalah saya !.” Napoleon
gagal karena ia tidak mampu membangun citra sebagaimana Fir’aun dengan
propaganda dusta dan kuasa wacananya.
Dua hal inilah yang dibangun oleh Fir’aun untuk
meneguhkan posisinya sebagai Sang Tiran sejati. Bukan hanya sekedar membangun
propaganda dan wacana dengan tuduhan dusta. Musa sebagai lawan politik Fir’aun
dituduh dengan berbagai tuduhan yang memojokkannya. Tuduhan sebagai pengacau,
tuduhan sebagai pengrusak dan lain sebagainya. Fir’aun berusaha membangun
klaim-klaim sepihak secara subjektif untuk menghancurkan Musa, bahkan ia juga
membuat pembenaran-pembenaran atas apa yang ia lakukan. Bahkan Fir’aun tidak
segan-segan melakukan konfrontasi langsung, personal attack kepada Musa.
Inilah Sang Tiran dengan segala potensinya berusaha membangun
dunianya sendiri, bahkan ia sampai mengaku sebagai Tuhan, dengan sombongnya Fir’aun
berkata : “Hai pembesar kaumku, aku
tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku” Namun sunnatullah tidak akan
pernah berubah sehebat apapun Sang Tiran pada saatnya ia akan tumbang dan
tenggelam, sebagaimana Fir’aun di hadapan Musa Alaihissalam. Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar