Dalang Kentrung Terakhir
*1Gending alit munggwing driji,
Ojo lali yen momong raga,
Ya Lailla Hailallah
Ya Muhammad Rasulallah
Lamun supe wiwitane,
Kaya ngapa mring gesange,
Ya Lailla Hailallah
Ya Muhammad Rasulallah
............................................
Suara
serak-serak Mbah Rati terdengar lamat-lamat tersaput angin kemarau di pinggiran
hutan jati, malam itu Mbah Rati sedang membaca mantra gending wiwitan sambil duduk bersimpuh
menghadap ke timur, seperti duduknya huruf Mim yang melambangkan kepasrahan
mutlak kepada dzat yang Maha Kuasa. Mbah Rati dalam keheningan mulutnya
komat-kamit membaca tembang pelebur sukma. Tembang yang berisi ajaran tentang Ngemong
raga, tembang tentang Sangkan Paran. Ya setiap pertunjukan kentrung
Mbah Rati selalu diawali dengan ritual khusu’ menghadap kearah kiblatnya
kehidupan, arah timur, arah di mana segala bermula, arah di mana awal kehidupan
diciptakan.
Pertunjukan
kentrung bagi Mbah Rati adalah darma, kentrung bukan sekedar sebagai hiburan
semata namun lebih dari itu ia menganggap kentrung adalah dzikirnya kepada
Tuhan, kentrung adalah tugas suci dan pengabdian serta penghambaannya kepada
Syang Hyang Gusti. Karena pada dasarnya manusia memang dititahkan Tuhan untuk manembah kepada-Nya,
sekaligus sebagai khalifatullah di muka bumi. “Hananira sejati wahananing
Hyang” Adanya kita sebagai utusan dari Tuhan. Tidak heran jika di setiap
pertunjukan kentrung Mbah Rati selalu dalam keadaan tidak berhadas, suci secara
lahir dan suci secara batin. Begitu juga dengan para penabuh yang mengiringi
pertunjukan kentrung.
Para
penonton yang melingkari lapangan dusun tampak terbawa suasana, hening
mendengarkan dengan seksama bait-bait tembang yang dibawakan oleh Mbah Ratri.
Menghayati setiap kalimat yang meluncur dari seorang nenek yang sudah sangat
sepuh itu, seakan mereka adalah para cucu yang sedang asyik mendengarkan sebuah
dongeng yang indah. Dongeng pengantar tidur, tidur ke alam kelanggengan.
Malam
itu adalah malam yang kesekian kalinya Mbah Ratri menggelar pertunjukan
kentrung di lapangan dusunnya, pertunjukan yang digelar di akhir musim kemarau dalam
rangka upacara bersih desa. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya biasanya Mbah
Ratri memilih lakon yang menghibur banyak leluconnya dan atau membawakan
kisah-kisah tentang percintaan yang melegenda semisal Sarahwulan-Jowarsah,
namun kali iniMbah Ratri membawakan lakon tuo, lakon yang diambil dari
Serat Dewaruci. Lakon tentang pencarian makna dan tentang hakekat kesejatian
hidup.
Lakon
Dewaruci adalah lakon Bima yang menjalankan perintah dari guru Dorna untuk
mencari air pawitrasari, air kehidupan, atau maa’ul hayat. Lakon ini biasanya
dibawakan sebagai wejangan tentang ilmu kasampurnan hidup.
***
“Nduk
besok jika tugasmu hampir purna dalam ngemong masyarakat lewat kentrung, jangan
lupa bawakan lakon Serat Dewaruci” Dawuh Kyai Basiman kepada santrinya, Ratri
yang duduk bersimpuh di depannya.
“Iya
Kyai, pesan ini akan saya ingat selalu” Jawab Ratri sambil tetap menunduk
dihadapan gurunya itu.
“Ingat
Nduk ! kentrung tidak hanya sekedar
hiburan semata, namun kentrung adalah jalanmu, jalan yang akan mengantarkanmu
hingga nanti engkau sampai pada jalan kasampurnan hidup” Kyai Basiman
melanjutkan wejangannya.
Ratri
hanya diam, dia adalah satu-satunya santri Kyai Basiman yang mendapatkan amanah
untuk melanjutkan tradisi kentrung, sesuatu yang aneh memang, biasanya santri
ditunjuk oleh Kyainya untuk mengajar mengaji di langgar-langgar jika telah
selesai masa nyantrinya, namun ini beda, Ratri harus mendalang kentrung, sebuah
tugas yang tidak mudah tentunya, menjadi dalang kentrung berarti menjadi
semisal bocah angon, anak gembala, yang menggembalakan nafsu-nafsu hewani
manusia agar tidak tidak lepas kendali menerjang paugeran Tuhan. Disetiap
pertunjukan Ratri akan berperan sebagai dalang yang akan memberikan wejangan
hidup lewat hiburan kentrung.
Peran
dalang kentrung telah dilakukan dengan baik oleh Mbah Ratri sesuai dengan
amanah Kyai Basiman, telah puluhan tahun Ratri masuk kampung keluar kampung mengajarkan
makna hidup dalam bait-bait tembang kentrung, hingga sampai masanya ia harus
menyempurnakan tugasnya memberikan wejangan purna pada masyarakat.
***
*2Tirta nirmala wisesaning urip
Wus kawengku aji kang sampurna
Pinunjul ing jagad kabeh
Kauban bapa biyung
Mulya saking sira mak mami
Leluwihing triloka
Langgeng ananipun
Arya Sena matur nembah
Inggih pundi prenahe kang toya ening
Ulun mugi tedahana
......
Mbah Ratri dengan khusu’ menembangkan
syair-syair dalam serat Dewaruci, seakan
beliau sendiri yang sedang berjuang keras untuk memperoleh air kesucian itu
agar dapat dipakai untuk membasuh badan jasmani dan ruhaninya guna bertemu
dengan yang Dzat Yang Maha Suci. Sebagaimana Bima Sena yang melabrak pekatnya
hutan Tribrasara, mendaki puncak gunung Gandamuka, melawan dua raksasa
bersaudara Rukmuka dan Rukmakala, serta mengaduk-aduk luasnya samudra yang tak
terkira. Hanya untuk mendapatkan tirta pawitrasari atau air kesucian itu.
Bait demi bait dalam serat Dewaruci telah
ditembangkan oleh Mbah Ratri, malam semakin gelap dan sunyi, hanya desau angin
yang perlahan menggerakkan nyala obor yang mengelilingi lapangan desa, nyala
itu bagai tarian spiritual para sufi yang mabuk Ketuhanan. Para penonton tidak
ada yang beranjak dari tempat duduknya, mereka menyimak tentang apa yang
disampaikan oleh Mbah Ratri. Pertunjukan kentrung yang biasanya ramai oleh
sorakan penonton karena banyolan maupun kisah-kisah percintaan yang
menggembirakan kini tampak seperti sanggar pawejangan para cantrik di
padepokan-padepokan suci para brahmana.
Mbah Ratri tampak semangat sekali memainkan
kendangnya, sedang dua orang penabuhnya juga terbawa permainan Mbah Ratri,
seperti sebuah majelis sufi yang
memainkan musiknya Mbah Ratri tampak menghayati benar permainannya malam ini,
seperti Ar Rumi yang merasakan asma-asma Tuhan dalam setiap denting musik yang
didengarnya, hingga ia mengalami ekstase yang luar biasa.
Tepat tengah malam pertunjukan kentrung Mbah Rati
purna, para penonton tampak puas menikmati hidangan ruhani dalam nampan-nampan
tembang Dewaruci. Mereka pun bubar meninggalkan keheningan di lapangan. Tinggal
nyala obor yang semakin redup bergerak pelan mengikuti tiupan angin malam.
“Kang Mbah Ratri tadi seperti orang kesurupan saja
ya dalam memainkan kentrungnya” kata Trimo kepada Bejo sahabatnya sambil mereka
berdua berjalan meninggalkan area lapangan.
“Iya tidak seperti biasanya beliau begitu, kenapa
ya kang ? jawab Bejo sambil melontarkan pertanyaan kepada Trimo.
“Denger-denger sih Kang kata kakekku dulu jika
dalang kentrung telah membawakan lakon Serat Dewaruci itu pertanda tugasnya
telah berakhir” balas Trimo
“Berakhir bagaimana maksudnya Kang ?
“Saya sendiri juga tidak begitu paham, kata
kakekku ada dua kemungkinan, ia akan berhenti menjadi dalang kentrung atau
bahkan mungkin ia akan meninggalkan dunia ini karena tugasnya telah selesai. Ah sudahlah ayo kita segera pulang.” Jawab
Trimo mengakhiri obrolannya.
Pagi itu di dusun Mbah Rati terasa sepi, angin kemarau seakan diam bersemayam dalam
keheningan Shubuh, semburat merah cakrawala timur pun tampak pucat, suara ayam
yang berkokok seperti suara terompet tahun baru yang kesiangan. Sebuah rumah
sederhana dipinggiran desa dekat ladang jagung menghadap ke arah selatan masih
tampak tertutup rapat, tidak seperti biasanya. Seakan alam berhenti menggeliat
diam dalam pelukan Tuhan. Sepi dan sunyi.
Bangilan, 13/2/2016
Catatan :
*1 Gending pembuka dalam pertunjukan
kentrung.
*2 Serat Dewaruci Vol : 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar