Bunyi-Bunyian NKRI Harga Mati
Banyak orang beranggapan dan
mengatakan bahwa pergulatan idieologi di negara kita sudah selesai dan final
sejak dihapuskannya tujuh kata dalam piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus
1945. Tokoh-tokoh bangsa yang membidani lahirnya negara ini telah consensus,
mufakat dan sepaham bahwa Pancasila
adalah jawaban dari perseteruan panjang antara kaum agamis dan kaum nasionalis
kala itu.
Banyak kalangan menganggap bahwa
NKRI adalah harga mati yang sudah tidak dapat diutak-atik lagi, pakem, baku,
padat dan beku. Mengingat kata harga mati saya jadi teringat apa yang
disampaikan oleh Cak Nun, beliau mengatakan : “Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) kabarnya harga mati. Sebagai “harga mati” tentunya, seperti
label harga barang di mall-mall, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Padahal impian
itu terus bergerak, pikiran terus mengembara, dan selalu membuka ruang
“tawar-menawar” bagi terus bergeraknya suatu peradapan. Itulah realitas
kesejarahan yang dialami siapa pun umat manusia, termasuk bangsa-bangsa yang
terlahir di kepulauan Nusantara.”
Mengamini apa yang ditulis oleh
Cak Nun bahwa kata harga mati itu tidak kreatif dan terkesan takut dengan
perubahan, padahal di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan
itu sendiri. Sudah menjadi sunnatullah bahwa apapun dan siapapun akan mengalami
perubahan, tidak terkecuali sebuah ideologi.
Pancasila saja yang dianggap
sebuah harga mati selalu mengalami perubahan mekanisme dan penafsiran yang
berbeda-beda pada setiap generasi. Jaman Soekarno Pancasila ditafsirkan model
demokrasi terpimpin, jaman Soeharto Pancasila ditafsirkan model pemerintahan yang
dikenal dengan istilah orde baru, hingga jaman yang konon reformasi pun
Pancasila punya format yang berbeda dengan model-model sebelumnya.
Saya sama sekali bukan seorang
yang anti NKRI, saya tetap mencintai tanah tumpah darah saya dengan segenap
jiwa raga saya, karena saya menyadari darah saya, daging-daging saya, tulang-belulang
saya tersusun dari tanah dan air bumi pertiwi ini. Namun saya hanya tidak ingin
generasi sekarang hanya bisa lantang bersuara NKRI harga mati namun tidak paham
substansinya. Mereka hanya menjadi korban jargon-jargon kosong yang dirangkum
dalam kalimat NKRI harga mati.
Sebagai seorang muslim tak perlu
kau ragukan kesetiaan saya kepada NKRI, umat-umat lain selain Islam juga tak
perlu berprasangka yang tidak-tidak dengan umat Islam pada umumnya, sejarah
telah berbicara dengan terang seterang matahari kemarau siang bahwa bangsa ini
diperjuangkan oleh para santri dan ulamanya.
Tak perlu berteriak-teriak
menjadi pahlawan kesiangan dengan modal NKRI harga mati. Bacalah realitas
sejarah siapa itu Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Tengku Umar, Teuku Cik Ditiro,
Imam Bonjol, Sisingamaraja, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari dan ratusan
bahkan ribuan perjuangan para santri dan ulama yang tak tercover dalam
buku-buku sejarah bangsa ini.
Umat Islam tidak perlu dibelajari
tentang nasionalisme, tak perlu dikhutbahi tentang cinta tanah air, tentang
kemanusiaan, karena umat Islam telah menciptakan satu kearifan lokal yang luar
biasa yang yang dirangkum dalam kalimat “Cinta tanah air adalah sebagian
dari Iman” ini memang bukan sebuah hadits namun sudah terbukti di manapun
berada umat Islam adalah umat yang peduli dengan bangsanya, umat yang mencintai
negerinya.
Tidak semua orang yang
meneriakkan slogan NKRI harga mati adalah nasionalisme tulen, mereka kadang
hanya ingin menuai keringat masyarakat dengan mengorbankan kepentingan bangsa
ini, bahkan mereka sendiri yang menghancurkan benteng-benteng ketahanan bangsa.
Lihatlah berapa banyak UU yang dihasilkan dari perselingkuhan yudikatif dengan
para pemilik modal dan para kapitalis
asing.
Saya kira tidak perlu saya
sebutkan satu persatu produk-produk UU yang sebenarnya adalah upaya
neokolonialisme yang mencengkram bangsa ini. hampir 85 % SDA kita dikuasai
asing, 72 % perbankan kita milik asing, 65 % hutan dan perkebunan kita juga
milik asing. Di mana bumi kita pijak di situ hampir dipastikan ada perusahaan
asing yang menguasai SDA kita atas nama investasi , atas nama kerjasama, atas
nama pasar bebas, atas nama globalisasi dan atas nama atas nama lain-lainnya,
walau kenyataannya SDA kita dihisap habis oleh korporasi. Rakyat sebagai
pemilik sah negeri ini dipaksa menjadi kuli, dipaksa menjadi pengemis di
negerinya sendiri.
Tulisan saya di sini hanya ingin
menegaskan mari mencintai negeri Zamrud Katulistiwa ini dengan sepenuh hati
bukan hanya sekedar NKRI harga mati namun hanya bunyi-bunyian tanpa arti. Kita
tak perlu bilang seorang nasionalis sejati jika segala tindak-tanduk kita
merugikan negara kita tak perlu bilang NKRI harga mati jika kita masih suka
korupsi uang rakyat. Nasionalis sajati adalah dia yang dengan sepenuh jiwa
berjuang untuk kemakmuran seluruh kepentingan bangsa dan negara bukan atas nama
pribadi, kelompok, agama, partai dan lain sebagainya.
Di akhir tulisan saya ini, saya
ingin memberikan pesan dan menegaskan khususnya kepada generasi muda penerus
bangsa ini bahwa :
انّ في يدكم أمر الأمّة وفي أقدامكم حياتها
“Sesungguhnya di
tangan kalianlah letak urusan bangsa ini dan pada derap langkah kaki kalian letak
hidupnya bangsa”
Perjuangan mu.
BalasHapusPerjuangan Ku.
www.sangpemimpinnkri.blogspot.co.id