Agama Bangsa Nusantara
Dalam tulisan di buku-buku sejarah Nasional
yang diajarkan di sekolah-sekolah, maupun dalam catatan-catatan peneliti dan
sejarawan asing menyebutkan bahwa agama atau kepercayaan yang dipeluk
oleh penduduk Nusantara sebelum masuknya agama Hindu-Budha, Islam, dan Kristen adalah pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dikenal dengan istilah Animisme.
Selain itu disinyalir masyarakat Nusantara juga mempercayai benda-benda yang
dianggap memiliki kekuatan gaib yang lazim dikenal dengan istilah Dinamisme.
Lalu benarkah data-data sejarah yang
menyatakan bahwa agama Nusantara adalah penyembahan terhadap roh nenek moyang
dan peyembahan terhadap benda-benda yang memiliki kekuatan gaib semisal
pohon-pohon besar, batu, gunung dan lain sebagainya ?
Walau hal ini telah diamini oleh seluruh
masyarakat Indonesia dari dulu hingga sekarang ini, baik dari kalangan
sejarawan dalam maupun luar negeri, dari guru-guru sejarah dan dari
berbagai pihak yang berwajib menyampaikan sejarah bangsa, ternyata pandangan
itu tidak selamanya benar. Disiplin ilmu sejarah memang bersifat nisbi
yang mana kebenarannya bersifat sementara dan relatif, jika terdapat data dan
sumber sejarah lain yang dianggap lebih valid dan bisa dipertanggung jawabkan
secara empiris dan ilmiah maka teori sebelumnya dianggap batal.
Begitu juga dengan konsep Animisme-Dinamisme,
walau tidak secara langsung disebutkan bahwa konsep beragama penduduk
Nusantara adalah penyembahan terhadap berhala namun hal ini mengindikasikan dan
memunculkan anggapan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah para penyembah
berhala. Apalagi didukung oleh fakta-fakta peninggalan kebudayaan dan
kepercayaan pada masa zaman batu khususnya era meghalitikum yang banyak
meninggalkan jejak batu besar sebagai sarana untuk penyembahan dan pemujaan roh
nenek moyang. Semisal menhir, dolmen, sarkofagus, waruga, pundek berundak dan
lain sebagainya.
Penyebutan yang menyatakan bahwa kepercayaan
masyarakat Nusantara sebagai pemeluk animisme-dinamisme yang berkonotasi
menyembah batu atau berhala oleh Bangsa Barat menurut dugaan saya walau ini
belum melewati fase analisis ketat, hal ini digunakan sebagai senjata budaya
untuk merusak moral dan keyakinan anak cucu bangsa ini. orang-orang Barat yang
waktu itu datang ke Nusantara dengan membawa ajaran Kristen akan menuding
“Itu lho moyangmu, bangsamu adalah bangsa jahiliah, mereka adalah para
penyembah berhala.” Dengan tudingan itu diharapkan kita akan kehilangan jatidiri
sebagai bangsa yang berperadaban.
Menurut sejarawan, budayawan sekaligus Ulama
kondang, KH. Agus Sunyoto ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia
(Lesbumi) sebenarnya agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat
Nusantara adalah tauhidisme, yaitu ajaran yang mengesakan Tuhan. Oleh
penduduk Nusantara agama ini disebut secara berbeda-beda sesuai dengan
tempatnya. Orang Jawa menyebutnya Kapitayan, Orang Sunda menyebutnya Sunda
Wiwitan, Orang Dayak menyebutnya Kaharingan, orang Batak menyebutnya Ugamo
Malim. Agama ini telah sekian lama dipeluk oleh masyarakat semenjak jaman batu
tua atau paleolitikum.
Dalam keyakinan penganut kepercayaan
Kapitayan di Jawa, pertama kali yang mengajarkan Kapitayan adalah Danghyang
Semar keturunan manusia purba dari jenis Homo Sapiens. Dalam kitab Paramayoga
dan Pustakaraja purwa silsilah Nabi Adam hingga sampai pada Semar dijelaskan
sebagai berikut :
Nabi Adam > Nabi Syis > Anwas dan Anwar
> Hyang Nur Rasa > Hyang Wenang > Hyang Tunggal > Hyang Ismaya >
Wungkuhan > Smarasanta (Semar).
Semar inilah yang dianggap sebagai
pamomongnya tanah Jawa, mengasuh raja-raja Jawa dengan beravatar menjadi wujud
yang berbeda-beda, seperti pada masa Majapahit menjelma menjadi Sabda
Palon-Naya Genggong yang mengasuh Prabu Brawijaya V.
Kepercayaan Kapitayan secara sederhana adalah
kepercayaan yang memuja sembahan utama yang disebut Sanghyang Taya, yang
bermakna kekosongan, awang-uwung. Taya sendiri bermakna absolute tidak
bisa dipikirkan dan dibayangkan seperti apa. Orang Jawa menggambarkan Taya
sebagai dzat yang “Tan Kena Kinaya Ngapa” yang maknanya tidak bisa disangka
seperti apa. Dalam konsep tauhid Islam itu yang disebut sebagai ”Laisa
Kamitslihi sai’un.” Untuk mencapai dzat yang tak terjangkau orang Jawa biasanya
menggunakan istilah Uninong-Aning-Unong untuk berusaha mencapai jalan
Taya tadi.
Taya bermakna tidak ada tapi ada, ada tapi
tidak ada, untuk itu agar bisa dikenal dan disembah oleh manusia
Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau
To, yan bermakna seutas benang. Daya gaib yang bersifat adikodrati. Tu atau To
adalah tunggaldalam dzat, satu pribadi. Tu lazim disebut Sanghyang Tu-nggal.
Dia memiliki dua sifat, yaitu kebaikan dan keburukan. Yang bersifat baik
disebut Tu-han, sedang yang bersifat buruk disebut Han-Tu.
Karena Sanghyang Tunggal bersifat ghaib untuk
memujanya dibutuhkan sarana yang bisa ditangkap oleh panca indera manusia. Oleh
karena itu dalam kepercayaan Kapitayan ini dibalik sesuatu yang memiliki nama
Tu ini dipakai sebagai sarana penyembahan, seperti wa-Tu (batu), Tu-rumbuk
(pohon beringin), Tu-Gu, Tu-lang, Tu-ndak (punden berundak), Tu-tut
(limpa) To-san (pusaka), To-peng, To-ya (air).
Dalam penyembahan terhadap Sanghyang Tunggal
tadi biasanya disediakan Tu-mpeng, dalam Tu-mpi (keranjang bambu), Tu-ak
(arak), Tu-kung (Ayam) yang kesemuanya itu dipersembahkan kepada Sanghyang
Tunggal.
Persembahan-persembahan itu hanya sebagai
perantara saja untuk mendekati dzat yang Taya tadi, sedang para rohaniawan
kapitayan melakukan sembah-Hyang langsung kepada Sanghyang Tunggal di ruangan
khusus yang disebut Sanggar. Yaitu sebuah bangunan segi empat, beratap
Tu-mpang, dengan Tu-tuk (lubang) di dinding sebelah timur sebagai lambang
kehampaan Syanghyang Taya. Adapun praktek sembah-Hayangnya adalah sebagai
berikut aebagaimana yang disampaikan oleh KH. Agus Sunyoto :
Mula mula sang Rohaniawan melakukan Tu-lajeg
(berdiri tegak) menghadap Tu-tuk (lubang) dengan kedua tangan diangkat keatas
menghadirkan Sanghyang taya kedalam Tu-tud (hati), setelah merasa Sanghyang
taya hadir didalam hati, kedua tangan diturunkan di dada tepat pada Tu-tud
(hati), posisi ini disebut Swadikep (sidakep/memegang ke-akuan diri), proses
Tulajeg ini dilakukan dalam tempo lama.
Setelah tulajeg selesai, sembahyang
dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul (membungkuk memandang kebawah) yang juga
dilakukan dalam tempo yang relatif lama.
Lalu dilanjut kan dengan posisi Tu-lumpuk
(bersimpuh dengan kedua tumit diduduki) dilakukan dalam relatif lama.
Yang terakhir, dilakukan dengan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya) juga dilakukan dalam tempo yang lama.
Setelah melakukan sembahyang yang begitu lama
itu, Rohaniawan Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga
keberlangsungan Sanghyang taya yang sudah disemayamkan didalam Tu-tud (hati).
Seorang pemuja Sanghyang taya yang dianggap
saleh akan dikaruniai Tu-ah (kekuatan gaib yang bersifat positif) dan Tu-lah
(kekuatan gaib penangkal negatif). Mereka yang memiliki Tu-ah dan Tu-lah itulah
yang dianggap berhak menjadi pemimpin masyarakat dengan gelar ra-Tu atau
dha-Tu.
Oleh karena itu konsep raja atau ra-Tu bagi
masyarakat Jawa dianggap sebagai perwujudan dan pengejawentahan daya gaib Taya
atau Tu-han yang ada di muka bumi. Demikian agama dan kepercayaan yang dianut selama
berabad-abad oleh Bangsa Nusantara sebelum agama-agama luar masuk ke wilayah
Nusantara. Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar