MEA (Masyarakat
Ekonomi Asean) dan Potensi Lokal Yang Terabaikan
MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)
sudah diberlakukan mulai akhir 2015
kemarin, produk-produk luar negeri khususnya Cina telah membanjiri pasar-pasar
lokal di Indonesia. Tidak terkecuali di Kabupaten Tuban, di pasar-pasar
tradisional telah banyak kita dapati produk impor. Untuk itu masyarakat harus
mulai pasang kuda-kuda membekali diri dengan
wawasan global.
Saya menyambut baik usaha Pemkab Tuban
menggandeng Forum Masyarakat Indonesia Berwawasan Global (Indonesia Forum For
Global Vision) di pendopo Krido Manunggal mengadakan simposium Nasional dengan
tema : “Prospek dan Rencana Pembangunan Ekonomi Lokal Menuju Tuban Yang
Semakin Maju dan Sejahtera.” Diharapkan simposium ini menjadi pemantik bagi
peran bersama Pemkab dan masyarakat untuk mempersiapkan diri go internasional.
Fenomena masuknya produk
impor ke pasar-pasar tradisonal yang
ditawarkan lebih murah tentu berdampak buruk bagi produk-produk lokal,
masyarakat yang belum siap dipaksa harus bersaing ketat dengan produk luar
negeri. Jangankan lebih murah lebih mahal pun kecenderungan masyarakat lebih
memilih produk luar negeri dibanding memilih produk lokal. Ada kecenderungan
konsumen lebih merasa bangga menggunakan produk luar negeri dibandingkan dengan
produk dalam negeri. Ini menjadi PR bersama agar masyarakat mempunyai kesadaran
terhadap lokalitas, toh tidak jarang masalah mutu produk lokal tidak kalah
dengan produk impor.
Masyarakat khususnya Tuban jangan
sampai menjadi bulan-bulanan dan menjadi korban persaingan di era pasar bebas,
oleh karena itu mulai sekarang masyarakat harus jeli melihat potensi yang ada.
Sumber daya alam di Tuban telah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pasar, hanya
saja perlu sedikit sentuhan kemajuan dan inovasi agar siap bersaing di kelas
atas. Salah satu contohnya adalah ketela, jika ketela kita jual masih dalam
bentuk ketela harganya murah dan tidak banyak orang yang tertarik, namun jika
ketela telah kita olah dengan teknologi ketela bisa dibuat menjadi tepung Mocaf
yang harganya bisa empat sampai lima kali lipat dari harga ketela itu sendiri.
Itu baru satu potensi ketela bisa meningkatkan ekonomi masyarakat, belum
potensi-potensi lain yang tersedia cukup banyak di wilayah Tuban, semisal
jagung, kelapa, kedelai, kacang tanah
dan lain sebagainya.
Potensi-potensi lokal inilah yang
harus menjadi perhatian Pemkab dan masyarakat tentunya agar kita tidak kalah bersaing
dengan produk-produk dari luar negeri. Dan tentu masih sangat banyak potensi
lokal yang perlu digarap dan mendapat perhatian serius agar berdaya guna bagi
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat khususnya Tuban.
Salah satu kendala sulitnya
memajukan aspek lokal di Tuban adalah kreativitas dan inovasi, tidak banyak
masyarakat khususnya ilmuan dan peneliti yang benar-benar mau terjun ke
lapangan untuk menggali dan menciptakan hal-hal yang baru dan inovatif.
Lazimnya masyarakat lebih suka menjadi pegawai kantoran, memakai dasi, dan abai
dengan potensi lokal yang perlu di garap. Mana ada coba sarjana pertanian yang
mau tekun mengembangkan sistem pertanian di daerahnya, mereka akan lebih suka
menjadi pegawai daripada terjun langsung berbaur di sawah-sawah yang berlumpur.
Sikap dan cara pandang yang
sedemikian ini yang menjadi kendala terhadap kemajuan masyarakat, karena
bersekolah niatnya untuk menjadi pegawai bukan menuntut ilmu yang kemudian
diaplikasikan di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat menunggu sentuhan-sentuhan keajaiban dari
sebuah ilmu pengetahuan yang akan mengubah paradigma masyarakat selama ini yang
menganggap bahwa singkong itu tidak lebih keren dibandingkan Roti. Sudah
saatnya masyarakat bangga dan merasa terhormat menjadi Petani Singkong, karena
dengan sentuhan teknologi singkong sekarang bisa diolah menjadi tepung Mocaf yang
menjadi bahan dasar pembuatan roti. Jadi kita tidak perlu lagi mengatakan “Aku
Anak Singkong dan Kau Anak Keju” karena itu sudah masa lalu. 21/2/2016 Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar