Penderas Legen
http://gallery.indonesiaimages.net/ |
Angin pegunungan Kendeng utara bertiup ribut, langit senja di perbukitan
Banyulangse tampak muram, guntur di langit meledak-ledak bagai suara anak-anak
bermain mercon di bulan ramadhan. Dengan agak tergopoh-gopoh seorang lelaki tua
memanjat pohon siwalan di sebuah kebun di belakang perkampungan. Pohon itu
sudah berusia puluhan tahun, besarnya serangkulan orang dewasa tinggi angkuh
menantang langit, dahan-dahannya gemulai diterpa angin, menari-nari seperti
lengan penari tayub yang luwes menggerakkan kain sampurnya.
Dengan sangat cekatan lelaki tua itu menaiki pohon yang akan
diderasnya guna diambil airnya. Air derasan pohon siwalan bisa dibuat sebagai
minuman tradisional yang lezat dan menyehatkan, masyarakat setempat menyebutnya
legen. Menurut kepercayaan masyarakat yang turun temurun legen bisa digunakan
obat untuk menyembuhkan sakit maag akut dan melancarkan buang air kecil, konon
legen dapat menghancurkan endapan zat kapur di kandung kemih yang menjadi
penyebab kencing batu. Selain itu air
derasan pohon siwalan juga bisa dibuat gula merah dan juga dapat dipakai untuk
melancarkan ASI bagi ibu menyusui. Daunnya oleh masyarakat dibuat kupat,
makanan berbentuk segi empat yang dibuat dari beras yang direbus. Biasanya
kupat disajikan dengan kuah opor ayam dan dibuat pada saat-saat tertentu,
seperti saat hari raya, saat upacara kupatan sapi dan lain sebagainya.
“Aku harus segera mengambil dan menurunkan bumbung-bumbung itu,
sebelum air hujan memenuhi dan merusak hasil derasanku tadi pagi” gumam Mbah Kardi pada dirinya sendiri.
Dengan agak tergesa lelaki tua itu mengambil bumbung-bumbung bambu
berisi air legen untuk dibawa turun. Satu dua bumbung diambilnya dan di talikan
diikat pinggang sebelah kiri dan kanannya. Ia harus berlomba cepat dengan rintik
hujan yang mulai menerpa daun, ranting, cabang, dan dahan pepohonan. Kaki tua
yang keriput itu mulai menuruni pohon
bergantian kiri dan kanan, saat sampai di pertengahan pohon tiba-tiba kaki Mbah
Kardi terpeleset.
Aaauhh... !!!
Tubuh Mbah Kardi melayang ke bawah dan brukk.... !!! tubuh lelaki renta itu menghantam tanah, tak
ada lenguhan karena ia langsung pingsan. Air legen yang dibawanya tumpah
bercampur dengan rintik hujan yang semakin rapat. Senja semakin kelam dan beku,
lengkung cakrawala barat mulai gelap dan aroma malam mulai mencekam.
Tetes-tetes air hujan membangunkan mbah Kardi dari pingsannya, ia
menggeliat bergerak pelan. Mbah Kardi dengan tertatih memberesi
bumbung-bumbungnya yang berserakan di tanah yang basah. Tidak ada sedikitpun
air derasannya yang tersisa seluruhnya tumpah ke tanah.
Pagi yang sepi matahari tampak malas menebarkan pendar-pendar sinar
keemasannya, dinginnya sisa-sisa hujan semalam masih terasa membuat penduduk
kampung Banyulangse masih setia menunggui tungku di dapur rumahnya
masing-masing. Mereka enggan keluar dari rumah untuk beraktifitas dan memilih
menunggu matahari beranjak dari peraduannya menebar sinar pagi, menghangatkan
suasana.
Sebuah gubuk kecil di pinggiran kampung di tepat berada di dekat
sungai tampak masih gelap tiada sinar lampu yang menerangi, di gubuk itulah
Mbah Kardi tinggal bersama istrinya yang juga sudah tua, Mbah Jinem.
“Doke, pagi ini kita tidak punya beras, nanti kalau jalanan sudah
tidak becek saya ke grumbul di seberang sungai untuk mencari tales” Kata
Mbah Kardi kepada istrinya yang dipanggilnya Doke, dari kata Mbah Wedok.
“Nange, apa kuat mencari tales, jalan saja tertatih-tatih begitu”
jawab Mbah Jinem memanggil suaminya Nange, yang berasal dari kata Mbah Lanang.
“Lha gimana lagi Doke, pagi ini kita tidak bisa mendapatkan upah
menderas dari juragan Samo, derasanku tumpah saat saya terjatuh tadi sore,
bahkan kita punya tanggungan hutang dua bumbung kepada juragan Doke”
“Nanti saya tak ke hutan untuk mencari daun-daun jati Nange, semoga
daun-daunnya tidak banyak dimakan ulat sehingga bisa dijual ke pasar, hasilnya
nanti kita belikan beras”
Mbah Kardi dan mbah Jinem adalah pasangan renta yang mengandalkan
hidupnya dari upah tetangganya yang minta tolong untuk di deraskan pohon
siwalan, atau kadang Mbah Jinem yang mencari daun-daunan di hutan untuk dijual
di pasar atau diminta oleh pedagang rengkek di kampungnya. Walau sudah renta
pantang bagi pasangan itu untuk meminta-minta dan berharap belas kasihan orang
lain, selagi ada tenaga mereka berdua tetap bekerja sebisanya.
Selama nafas masih di badan tentu Gusti Allah masih memberikan
jatah rizki kepadanya, begitu keyakinan mbah Kardi. Baginya sesuap nasi bisa
dinikmati bersama sang istri sudahlah cukup untuk ia syukuri, pakaian yang ia punya pun ibarat yang menempel di badan,
namun tak mengapa semua sudah lebih dari cukup. Yang terpenting baginya ia
mampu menghadirkan rasa cukup dan syukurnya kepada Tuhan. Hal-hal itulah yang
sebenarnya terus menguatkan mbah Kardi dan Mbah Jinem untuk terus ada walaupun
dalam ketiadaan.
Banyak tetangga-tetangganya yang menggunakan tenaga dan keahlian mbah Kardi untuk memanjat
siwalan, walau sudah beberapa kali mbah kardi jatuh dari pohon. Orang-orang
menganggap mbah kardi adalah salah seorang pemilik ilmu bajing kliring, yaitu
ilmu yang menjadikan si pemiliknya mahir memanjat seperti seekor bajing. Selain
itu masyarakat juga beranggapan orang yang menguasai ilmu bajing kliring jika
jatuh dari pohon akan segera pulih kesehatannya.
Mbah Kardi hanya diam saja dengan anggapan orang seperti itu, toh
dia memang mahir memanjat, namun di usianya yang semakin renta otot dan
tenaganya tidak lagi sekuat seperti masa mudanya dulu. Seharian bisa puluhan
pohon yang dipanjatnya, namun sekarang ia hanya mampu memanjat dua hingga tiga
pohon dalam sehari, sekedar untuk mendapatkan beras yang dapat ia makan bersama
istrinya.
Bagaimana lagi, Mbah Kardi hanya memanjat itu yang menjadi
andalannya untuk mencari rizki, dan anggapan masyarakat bahwa ia menguasai
bajing kliring adalah hal yang membuatnya terus dipakai tetangganya untuk
memanjat pohon, walau sudah beberapa kali ia jatuh hingga membuat tubuh
rentanya semakin rapuh. Mbah Kardi
berusaha bertahan untuk terus memanjat, ia ingin seperti kebo mati
ing rakitan, bukan kebo mati sakit-sakitan.
“Mbah, Mbah Kardi ! teriak salah satu tetangganya dari luar gubuk.
“Owh Den Narto, ada apa Den” jawab Mbah Kardi sambil keluar dari
gubuknya
“Saya minta tolong Mbah Kardi menderas pohon siwalan di belakang
rumah saya Mbah” timpal Narto yang dipanggil Den itu.
Narto adalah salah satu
penduduk kampung Banyulangse yang terkenal kaya-raya, sawah dan tegalnya
berhektar-hektar, namun ia terkenal pelit,selain itu desas-desus tetangganya
Narto punya pesugihan, konon ia sering menjadikan buruh-buruhnya sebagai tumbal
dari kekayaannya.
“Iya Den, nanti saya kesana” jawab mbah Kardi mengiyakan permintaan
Den Narto.
“Baiklah Mbah saya pulang dulu, nanti langsung ke belakang rumah
saja, pohon siwalan di belakang rumah itu sudah saatnya di deras, namun sayang
saya tidak mendapatkan orang yang mau memanjatnya” kata Den Narto.
Setelah kepulangan Den Narto Mbah Kardi menemui istrinya di
belakang yang sedang merebus ubi talas yang diambil Mbak Kardi di grumbul
seberang sungai, istrinya yang sudah sudah renta itu tampak dengan sabar menata
nyala api agar tidak padam. Maklum musim penghujan kayu-kayu agak basah dan
susah untuk dibakar dan dibuat perapian.
“Yut, saya pergi dulu, ada orang yang meminta saya untuk memanjat
pohon siwalannya” kata Mbah Kardi sambil mendekati istrinya yang sedang
meniup-niup tungku api. Asap dari dapur mengepul memenuhi ruangan dapur yang
tidak begitu luas, kemudian asap itu mengangkasa hilang ditiup angin.
“Memangnya siapa sepagi ini menyuruhmu Nang ? tanya Mbah Jinem
“Itu Yut, tadi Den Narto ke sini” jawab Mbah Kardi
“Mengapa Nange kok mau disuruh memanjat pohon siwalannya Den Narto
? dia itu kan terkenal punya pesugihan, nanti kami dijadikan tumbalnya
pesugihannya”
“Hehe...” mbah Kardi terkekeh, “lha siapa yang mau menjadikan saya
tumbal toh Doke, setan prayangan ora doyan, demit ra ndulit, siapa makhluk mana
juga yang doyan sama badan yang sudah bau tanah ini toh Doke” kelakar Mbah
Kardi kepada istrinya.
“Iya, Iya, tapi tunggu ubi talesnya masak ya Nang ? ini sebentar
lagi juga siap”
“Tidak usah Doke, saya berangkat sekarang, itung-itung nanti upah
dari Den Narto bisa kita pakai untuk membayar hutang dua bumbung milik juragan
Samo yang tumpah kemarin”
“Baiklah, nanti kalau sudah selesai segeralah pulang, Nange
kan belum sarapan aku menunggumu di rumah” kata Mbah Jinem.
***
Di belakang rumah besar milik Den Narto terdapat puluhan pohon
siwalan yang menjulang tinggi, pohon itu berderet-deret seperti tentara yang
berbaris, daunnya melambai-lambai ditiup angin pagi yang sejuk dari arah
pegunungan kapur di bukit Banyulangse. Sisa-sisa hujan semalam terhapuskan oleh
dekapan hangat sinar matahari pagi. Mbah
Kardi telah bersiap memanjat salah satu pohon siwalan yang berada belakang
rumah Den Narto.
Pagi itu Mbah Kardi sangat gembira, wajahnya cerah bercahaya ia
memandang ke atas ke arah pohon-pohon siwalan yang siap untuk di deras. Lambaian
pohon-pohon siwalan yang ditiup angin itu seperti tersenyum dan menyapanya untuk
segera naik keatas. Pohon-pohon siwalan itu seperti membisikinya “Ayo Mbah !
naik dan tenanglah engkau dalam dekapanku”
Mbah Kardi tersenyum, ia
segera menaiki pohon itu, tubuhnya ringan serasa kapas yang mengangkasa, nafasnya
tak lagi terengah-engah, otot-otot kaki dan tangannya juga tidak terasa kaku,
semuanya menjadi ringan, ia seperti sedang menaiki tangga tujuh bidadari surga.
Mbah Kardi tak ingat lagi tugasnya untuk menderas pohon siwalan, ia terus naik ke
atas. Di kiri dan kanannya dilihatnya
banyak kupu-kupu yang terbang mengikutinya langkah-langkahnya, makin lama makin
banyak hingga kupu-kupu yang berwarna putih cerah itu berubah menjadi pendar
cahaya dan cahaya itu hilang bersamaan dengan lenyapnya tubuh Mbah Kardi.
Pagi masih sepi, Mbah Jinem duduk di depan gubuknya dengan sebakul
ubi talas yang mengepul di depannya, ia sedang menunggu suaminya pulang.
Bangilan, 14 Februari 2016
Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar