Cinta Samin
Malam yang gelap tanpa bintang, angin malam diam seakan
menahan nafasnya, belalang, jangkrik dan
hewan-hewan di sekitar hutan di pinggiran desa Bate seakan senyap, khusyu’
mendengarkan mantra pelebur sukma yang dibacakan oleh Mbah Rati. Mantra yang
tersusun dalam bentuk tembang wiwitan guna memulai pertunjukan kentrung. Tampak
para penduduk desa berkumpul di sebuah tanah lapang, di bawah pohon trembesi
raksasa yang umurnya sekian ratus tahun lamanya. Obor-obor dari bambu di pasang
di setiap sudut lapangan cukup menerangi malam yang magis.
Mbah Rati adalah satu-satunya dalang kentrung di desa Bate,
di setiap malam bersih desa ia selalu menggelar pertunjukan kentrung dan
masyarakat akan sama datang berduyun-duyun untuk mendengarkan cerita yang akan
dibawakan oleh Mbah Rati. Gending kawitan sebagai pembuka ritual kentrung telah
selesai dirapal, angin seolah kembali mengalir, belalng, jangkrik dan
hewan-hewan di sekitar hutan kembali menabuh orkestra semesta, menyenandungkan
kidung-kidung pepujian kepada Sang Tuhan.
“Dulur-dulur malam ini Mbah Rati akan membawakan cerita
Sarahwulan-Jowarsah” Kata Mbah Samijo di hadapan para penonton.
“Huuuuu !!!!
Teriakan para penonton senang, khususnya dari kalangan
muda-mudi, karena mereka akan mendengarkan kisah percintaan legendaris antara
Sarahwulan dan Jowarsah. Kisah percintaan dua sejoli itu seakan sudah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat Bate. Mereka percaya jika kisah itu dimainkan,
maka para pemuda atau pemudi yang sudah saatnya menikah namun belum ketemu
jodohnya atau mungkin sudah ketemu namun tidak direstui oleh kedua orang tua
mereka maka setelah pertunjukan kentrung yang digelar setiap setahun
sekali itu selesai, kisah cinta mereka
pun akhirnya akan sampai pada muaranya.
Nikah.
Begitu memang yang telah menjadi kepercayaan dan tradisi
masyarakat, oleh karena itu ketika Mbah Rati akan mendalang kentrung dengan
lakon Sarahwulan-Jowarsah lapangan di pinggiran desa menjadi ramai. Sudah
lama Mbah Rati tidak membawakan lakon cinta
dua sejoli yang ditentang oleh Mbok Wandan Sili ibu dari Sarahwulan walau
akhirnya keduanya diperteemukan di pelaminan.
“Kang tadi pada saat Mbah Rati merapal mantra pelebur sukma
Kang Samin berdo’a meminta apa ? tanya Sami dengan malu-malu kepada kekasihnya
Samin.
Samin masih diam, dia memandangi kekasihnya itu. Sudah lima
tahun mereka menjalin hubungan cinta namun sayang kedua orang tua Sami tidak
merestuinya. Samin pemuda Bate yang hidup pas-pasan bahkan kekurangan dengan
Ibunya yang sebatangkara, sedang Sami adalah kembang desa dari desa sebelah.
Samin dan Sami saling mencintai dengan
sepenuh cinta, namun cinta mereka terhalang oleh penolakan orang tua Sami.
“Tentu aku berdo’a semoga cinta kita direstui dan sampai ke
muaranya, yaitu menikah denganmu Dik” jawab Samin.
“Oleh karena itu perhatikan dengan baik-baik nanti pas Mbah
Rati mendalang ya Dik ? jangan lupa sambil terus berdo’a kepada Gusti Allah”
lanjut Samin membisiki telinga kekasihnya.
Sementara itu Mbah Rati telah menghadap ke arah timur,
sebagai tanda ia akan memulai mendongeng dalam bentuk tembang, tangan tua yang
telah keriput itu tampak terampil memainkan kendang kecil, sambil suara
rentanya menembangkan bait-bait syair tentang cinta Sarahwulan dan kekasihnya. Sementara
itu Mbah Samijo menabuh rebana besar, sedang Mbah Setri menabuh ketimplung.
Tiga alat musik itu menyentak-nyentak berpadu suara magis Sang Dalang membentuk
harmoni musik pedesaan di pinggiran hutan yang khas.
“Kasihan ya Kang Dewi Sarahwulan, ia begitu mencintai
kekasihnya Jowarsah, namun Nyi Wandan Sili tidak menyetujuinya”
“Benar Dik, kisah Sarahwulan ini sangat mirip dengan kisah
cinta kita Dik” Samin menimpali ucapan kekasihnya.
“Iya kang, kau seperti Jowarsah dan aku seperti Dewi
Sarahwulan, semoga kisah cinta kita berakhir indah sebagaimana Sang Dewi yang
akhirnya menikah dengan Sang pujaan hatinya ya Kang” bisik Sami kepada
kekasihnya.
“Iya walau kisah cinta mereka berdua harus diperjuangkan
dengan pengorbanan dan tekad yang kuat dari sepasang kekasih sejati itu”
Malam semakin larut langit tampak gelap tak ada secuil
bintang ataupun rembulan pun yang tampak. Bait demi bait tembang yang menceritakan
kisah Sarahwulan-Jowarsah telah dilantunkan oleh Mbah Rati, iringan musiknya
pun menyesuaikan suasana dan alur dalam cerita. Jika suasananya menyedihkan
musiknya pun seakan mengiris-iris kalbu para pendengarnya, namun jika ceritanya
menggemberikan, musiknya pun rancak riang gembira, dan penonton pun bertepuk
tangan penuh suka.
Mbah Rati Sang Dalang Kentrung beserta dua orang panjaknya
seakan mampu menyihir suasana malam itu, mereka dengan sepenuh jiwa membawakan
irama-irama dari tembang-tembang yang mereka bawakan. Kadang guyonan dari Mbah
Rati, Mbah Setri ataupun dari Mbah Samijo pun ikut membuat hangatnya suasana
malam pesta bersih desa di pinggiran hutan jati itu.
Akhirnya tembang pungkasan sebagai tanda berakhirnya
pertunjukan Kentrung pun dibawakan oleh Mbah Rati. Akhir yang bahagia walau
awalnya harus diperjuangkan dengan uraian air mata cinta Sarahwulan-Jowarsah
berakhir dititik bahagia.
“Kang pertunjukan Ketrungnya sudah selesai, saya tak pulang
dulu ya itu temanku sudah menunggu” Kata Sami kepada Kang Samin.
“Iya hati-hati di jalan Dik, semoga perjalanan kita sampai
pada akhir yang baik sebagaimana kisah Sarahwulan yang dibawakan oleh Mbah
Dalang” Jawab Samin.
Sami pun pergi meninggalkan Samin yang masih duduk di
lapangan, orang-orang pun sama bubar meninggalkan kerlap-kerlip cahaya obor
yang mulai redup. Malam makin dingin dan gelap namun hati Samin seakan bersinar,
entah karena apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar