Islam dan Nasionalisme
http://www.kompasiana.com/ |
Islam
adalah agama purna yang diturunkan Allah untuk menjadi pedoman hidup bagi
manusia, sebagai agama terakhir dan menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya,
hampir seluruh permasalahan pasti tercover di dalam ajaran Islam, baik itu
bersifat qoth’i maupun ijtihadi. Tentu kita sebagai pemeluk agama Islam
meyakini sudah tidak ada perkara yang terlewatkan dalam ajaran Islam baik itu
yang menyangkut masalah ubudiyah, maupun yang menyangkut masalah-masalah
sosial.
Beberapa
waktu yang lalu saya sempat mencermati status di time line Ust. Felix Siauw
mengenai masalah nasionalisme, beliau mengatakan “Membela nasionalisme, nggak
ada dalilnya, nggak ada panduannya, membela Islam jelas pahalanya, jelas contoh
teladannya.”
Dari
pernyataan Ust. Felix di atas
mengisyaratkan bahwa ajaran Islam tidak mengenal paham nasionalisme, atau tidak
memuat ajaran nasionalisme. Kalau kita mencari sumber dalil dari hadits atau
Al-Qur’an yang berbunyi “Islam itu nasionalisme, atau mungkin dengan kalimat
lain yang yang lebih ekstrim bahwa nasionalisme adalah salah satu rukun Islam
atau rukun iman kita, tentu sampek tuwek sampek elek ya kita tidak akan pernah menemukannya.
Ibarat
ranah Islam adalah samudra luas dan kita lihat di atasnya saja, tentu kita
tidak mendapati apa-apa dari ajaran Islam kecuali hanya air lautnya saja, atau
kalau beruntung kita bisa melihat satu-dua ikannya. Dari apa yang kita lihat
itu kemudian dengan enteng kita simpulkan oh, samudra itu hanya terdiri dari
air saja ya, sejauh kita memandang ya hanya air itu. Kalau kita mau agak
nyrempet-nyrempet di batas garis laut di
situ kita mendapati bid’ah pasir, ada bid’ah batu karang, dan bid’ah-bid’ah
lainnya. Padahal kalau kita mau menceburkan diri secara kaffah di kedalaman
samudra luas kita akan mendapati berbagai macam spesies ikan, berbagai macam
terumbu karang dengan pesona keindahannya, berbagai macam kemilau mutiara dan
masih banyak lagi khasanah persamuderaan yang luar biasa.
Itu
gambaran saya mengenai Islam dengan segala aspek yang ada di dalamnya, ada
orang yang memang hanya mampu melihat permukaannya saja, ada yang
nyrempet-nyrempet bid’ah di pinggiran pantai bahkan ada yang totalitas menyelam
ke dalam palung samudra yang paling dalam untuk mendapatkan mutiara yang tidak
di dapati oleh orang yang hanya nyincing-nyincing tanggung saja.
Tentu
gambaran saya tentang Islam tadi tidak harus benar dan tepat, namanya gambaran
dan perumpamaan kan tidak wajib benar dan tepat. Saya hanya berupaya
menganalogikan Islam melalui angan-angan
saya saja. lalu apakah memang dalam ajaran Islam tidak memuat paham nasionalis
seperti yang difatwakan oleh Ust. Felix dalam khutbah twitternya ? jika ditanya
hal yang demikian saya memang bukan pakarnya untuk menjawab. Tapi saya hanya
ingin sedikit memberikan apa yang saya pahami tentang nasionalis.
Dulu ketika Rosulullah SAW terusir dari kota
kelahirannya Makkah, beliau tinggal di kota yang diberkahi Madinah Al Munawwarah. Di kota ini beliau tidak hanya diimani sebagai seorang Rosul tapi
beliau juga sebagai pemimpin politik negara Madinah. Ibaratnya Rosulullah dan
kaum muhajirin sudah berada pada posisi yang nyaman. Ada pepatah yang
mengatakan bahwa “Hujan batu di negeri sendiri lebih baik hujan emas di negeri
orang” petah ini tentu tidak selamanya benar, namun setelah sekian lama orang-orang Muhajirin dan Rasulullah
meninggalkan tanah kelahirannya tercinta, ada rindu terhadap kampung di mana
mereka dilahirkan dan dibesarkan. Kecintaan
Rasulullah SAW terhadap kota kelahirannya sangat jelas tergambar sebagaimana yang
beliau sabdakan :
مَا اَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ وَاَحَبَّكِ اِليَّ, وَلَوْلَا اَنَّ
قَوْمِىْ اَخْرَجُوْنِىْ مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
“Alangkah indah dan besarnya cintaku wahai kota Makkah. Jika
tidak karena aku diusir oleh kaumku dari padamu pasti akan tak akan pilih
menetap selainmu (Makkah).”
Hingga
suatu ketika Rasulullah bermimpi seolah-olah beliau memasuki kota Makkah dan
bertawaf di Ka’bah. Akhirnya pada setelah beliau menceritakan mimpi itu kepada
para sahabatnya Rasulullah mengajak umat Islam untuk mengunjungi Makkah sambil
menjalankan ibadah umrah pada bulan Dzul Qo’dah tahun ke-6 Hijriyah atau tahun
628 M. Ada sebanyak 1500 orang yang ikut dalam rombongan.
Dari
hadits Nabi di atas jelas sekali Rosulullah mencintai negerinya dengan sepenuh
cinta, bahkan jika beliau tidak diusir oleh kaumnya beliau tidak akan menetap
kecuali di negerinya.
Selain
itu dalam sebuah hadits lain ada keterangan Rosulullah pernah ditanya mengenai
orang yang mempertahankan hak miliknya dari perampokan jika ia terbunuh karena
usahanya untuk mempertahankan hak miliknya kemudian dia meninggal dunia maka
tercatat sebagai seorang syahid.
Dari
hadits-hadits di atas saya meyakini bahwa rasa nasionalis adalah bagian dari
ajaran Islam dan itu syah menurut saya secara analogi maupun secara dalil
qoth’i. Yang menjadi persoalan menurut saya tentang nasionalisme yang
diharamkan dalam Islam adalah nasionalisme yang telah berubah rasa, warna, dan
dzatnya. Ibarat legen itu halal, namun jika telah berubah menjadi toak maka
hukumnya haram, ibarat beras itu halal, namun jika beras itu didapat dari
mencuri maka hukum asalnya yang halal menjadi haram. Begitu juga dengan
nasionalisme adalah sesuatu yang jelas kehalalannya, namun jika nasionalisme
ini telah dipakai untuk ashobiyyah maka hukum asalnya yang halal menjadi batal
dan berubah statusnya menjadi halal. Ini jelas dalilnya, Rosulullah bersabda :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَى إلىَ عِصْبِيَّةِ ...(رواه أبو
داود)
Artinya
: “Bukan termasuk golongan kami orang-orang yang menyeru kepada fanatic
kesukuan.”
Kata
menyeru pada pada fanatik kesukuan tidaklah sama dengan nasionalisme itu
sendiri, jadi gampanya seperti ini jika nasionalisme yang sebenarnya tujuan
utamanya untuk merekatkan ukhuwwah islamiyah kok berubah dipakai untuk merusak
ukhuwwah itu sendiri, maka nasionalisme hukumnya menjadi haram. Karena
nasionalisme telah berubah dari kedudukannya sebagai perekat umat menjadi senjata yang merusak persatuan
umat Islam.
Jadi
sekali lagi saya tegaskan jika kita mencari dalil Al Nasionalisme ruknun min arkaanil Islam, atau Al nasionalisme
imaaduddin ya tentu tidak ada, bahkan dalil Hubbul Wathon Minal Iman yang
masyhur juga bukan sebuah hadits ataupun dalil A Qur’an. Itu hanya sekedar
untaian hikmah agar umat Islam mencintai negeranya. Demikian uraian singkat
saya mengenai nasionalisme dan Islam.
Joyojuwoto
Bangilan, 15 februari 2016
Apa jadinya bila pendudukan sebuah negara tidak ada yang mempunyai jiwa nasionalisme?
BalasHapusPertanyaan yang berisi penegasan,jempol untuk Mas Rafa dan Mbak Rafi :)
BalasHapusPertanyaan yang berisi pernyataan sekaligus penegasan, mantep Mas Rafa dan Mbak Rafi :)
BalasHapus