Tawadhu’nya
KH. Hasyim Muzadi
Oleh
: Joyo Juwoto
Ibarat
seperti padi, semakin berisi semakin merunduk, begitupula dengan seorang yang
alim, semakin tinggi keilmuannya semakin rendah hatinya. Demikian saya
menggambarkan sosok Abah Hasyim Muzadi, walau saya tidak nyantri langsung
kepada beliau, namun karena antara Abah Hasyim Muzadi dan kiai saya, Abah
Moehaimin Tamam masih kerabat, maka Abah Hasyim ini kadang-kadang ke pondok saya.
Memberi mauidhoh dalam acara haflah akhirussanah, maupun acara-acara di pondok
yang berada di tempat kelahiran beliau.
Selain
mendengar nasehat-nasehat dari Abah Hasyim, kadang saya juga mendengar cerita
tentang Abah Hasyim dari Bu Nyai Hanifah Muzadi (almh). Pernah suatu malam
bakda isya’ Abah Hasyim dolan ke Bangilan di rumah punjer Bani Wustho yang
ditempati oleh Bu Nyai Hanifah. Waktu itu saya sedang di jalan raya karena
suatu keperluan, saat di jalan itulah saya ketemu seorang yang berjalan sambil
berdzikir memegang tasbih, setelah saya perhatikan ternyata beliau adalah Abah
Hasyim Muzadi dari ndalemnya Bu Nyai Hanifah
menuju pondok pesantren ASSALAM. Abah Hasyim ndolani kiai saya, Abah
Moehaimin Tamam. Karena selain kerabat, Bu Nyai Mutammimah, istri dari Abah Hasyim
adalah adiknya Abah Moehaimin Tamam, kiai saya.
Melihat
Abah Hasyim secara langsung dari dekat hati ini rasanya marem dan maknyess.
Membekas hingga tulisan ini saya buat. Saya juga masih merasakan keteduhan dari
wajah Abah Hasyim Muzadi. Beliau begitu tawadhu’ dan grapyak sumanak. Orang
yang ditemuinya di jalan disapa dengan senyum yang ramah, waktu itu saya tidak
berani mendekat, hanya melihatnya saja, dan itu terasa cukup bagi saya.
Memandang
wajah orang alim itu memang menyejukkan, seperti memandang purnama dua belas
yang indah menawan. Bahkan dalam kitab Lubabul Hadits disebutkan, bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barang
siapa yang memandang wajah orang alim dengan satu pandangan, lalu dia merasa
senang dengannya, maka Allah Ta’ala menciptakan malaikat dari pandangan itu
yang memohonkan ampunan kepadanya sampai hari kiamat” (Al Hadits).
Saya
berharap dan berdoa kepada Allah Swt, semoga satu pandangan saya dahulu melihat
keteduhan dari wajah Abah Hasyim Muzadi adalah pandangan sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits Nabi di atas.
Setelah
itu saya jarang melihat secara langsung Abah Hasyim Muzadi, walaupun Abah
Hasyim juga beberapa kali ke Bangilan, paling lihat ya di koran, di Tv, maupun
di media sosial. Memandang secara langsung dengan melalui media perantara
memang terasa beda, alaqah batiniah, dan rasa kadang tidak kita
dapati dari sebuah perantara. Oleh karena itu bermuwajahah secara langsung
dengan orang alim itu sangat luar biasa pengaruhnya ke dalam alam batiniah
kita.
Abah
Hasyim Muzadi pernah suatu ketika pidato dalam satu acara di pondok pesantren
ASSALAM Bangilan, beliau menyatakan
bahwa, Abah Moehaimin Tamam itu orangnya istiqamah, ulet, disiplin, dan tekun, “Saya
masih kalah dengan beliau.” kata Abah Hasyim Muzadi merendah. Tentu ini adalah
teladan yang diberikan oleh Abah Hasyim Muzadi, bahwa seseorang itu harus
tawadhu’ kepada siapapun.
Demikian
sekilas kenangan saya tentang Abah
Hasyim Muzadi, saya menuliskannya semoga ini menjadi obat kerinduan dan kesedihan saya
dengan berpulangnya beliau ke rahmatullah. Semoga Allah Swt menempatkan beliau
di sisi-Nya.
Aamiin allaahumma aamiin
BalasHapusاللهم اغفرله ورحمه وعافه وعف عنه