No
Slogan
Oleh
: Joyojuwoto
Betapa
banyak orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai patriotis sejati, berjiwa nasionalis,
hingga yang mengatakan dengan keras-keras NKRI harga mati agar terdengar
seantero negeri kalau dirinya adalah nasionalis tulen. Memang setiap orang
boleh-boleh saja mengaku-ngaku yang demikian, mengaku paling mencintai
persatuan, mengaku paling demokrasi, paling adil dalam membela dan menegakkan HAM,
paling toleran dan seabrek slogan-slogan lain yang indah-indah serta mengesankan,
hingga seakan ia sebagai pahlawan kemanusiaan. Begitulah memang tabiat
kebanyakan orang ingin dilihat punya muka, punya peran, dan merasa paling
humanis di jagad raya ini.
Slogan-slogan
memang mudah untuk dibuat dan diucapkan, namun slogan saja tidak cukup, kita
perlu membuktikan slogan itu dengan sikap dan perbuatan. Harus sinkron antara
ucapan dan perbuatan. Saya jadi teringat catatan Soe Hok Gie saat ia bersama
teman-temannya sesama pecinta alam saat akan berangkat melakukan pendakian ke puncak
Gunung Slamet. Gie mencatat : “Kami katakan bahwa kami adalah
manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin
tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai
sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air
Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari
dekat”.
Lidah
memang tidak bertulang, mengucapkan lebih mudah daripada menunjukkan sikap dan
perbuatan, seperti seorang penjual kecap, tidak ada kecap nomor dua semua kecap
nomor satu. Begitulah gambaran orang-orang yang hidupnya hanya berkoar-koar
saja, hanya bondo abab, omong doang namun sikap dan perbuatannya jauh
dari omongannya, jauh dari slogannya, jauh dan tidak ada titik temunya sama
sekali. Seperti langit dan bumi.
Wajah-wajah hipokrit akan selalu ada di setiap zaman,
muka-muka berbedak kemunafikan akan selalu menghiasi panggung kehidupan, dulu,
hari ini hingga esok hari. Berhati-hatilah selalu, karena di dunia ini memang
ada dua arus utama yang selalu berseberangan namun selalu berpasangan, kebaikan
dan kejahatan, cahaya dan kegelapan, hitam dan putih, kiri dan kanan, yang
dalam bahasa Al Qur’annya disebut dengan istilah “Fa alhamahaa Fujuuraha Wa Taqwaaha” (Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan).
Hidup memang pilihan, dan dengan
pilihan-pilihan itulah kita besok akan mempertanggungjawabkan pilihan kita.
Segala pilihan ada konsekueansinya, tinggal kita berdiri dan memilih di posisi
mana, di bagian mana, semua ada keuntungan dan resikonya sendiri-sendiri. Dengan potensi akal yang dianugerahkan Tuhan,
manusia harus membuat pilihan, tidak ada titik netral di mana manusia berdiri
di sana. Lain dengan hewan yang bebas nilai, berada di titik netral karena memang
hewan tidak memiliki akal.
Kecintaan kita kepada rakyat dan
negeri ini harus dibuktikan dengan tindakan nyata, bukan hanya di lisan semata,
bukan hanya sekedar slogan saja. Orang-orang yang rela mengorbankan kepentingan
dirinya, kelompoknya, partainya, demi kemakmuran dan keadilan negeri ini yang
patut di sebut sebagai nasionalis sejati. Bukan orang-orang yang hanya pandai
berteriak-teriak demi rakyat, untuk rakyat, atas nama rakyat, namun nyatanya
sikap dan perbuatan mereka menciderai kepentingan rakyat itu sendiri.
Saya sendiri sungguh-sungguh tidak
habis mengerti, negara yang konon seharusnya menjaga martabat rakyat,
bertanggung jawab terhadap berbagai segi kehidupan rakyat, memakmurkan rakyat,
memberikan rasa aman, nyaman pada rakyat, memberikan keadilan namun nyatanya
mandat dan kepercayaan itu dikhianati. Seakan negara ini ada hanya sebatas
slogan saja. Rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan justru dikuasai dan
diperas oleh oknum-oknum yang bersembunyi di balik nama negara.
Kekuasaan yang sebenarnya sekarang
bukanlah milik rakyat, karena segala kepentingan publik telah dikuasai oleh
korporasi-korporasi asing yang telah mengkudeta kekuasaan rakyat dalam bentuk kerja
sama, investasi, tanam modal dan lain sebagainya yang hampir kesemuanya
merugikan kepentingan rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang sah di negeri yang
kita cintai ini.
Sudah sepatutnya kita ikut
memperjuangkan kembali cita-cita para
pejuang bangsa yang telah mengorbankan jiwa dan raganya demi terbentuknya negara
Indonesia tercinta ini dengan cara melunasi janji kemerdekaan dan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apa yang kita bisa, lakukan, jangan
hanya sekedar slogan. Sekecil apapun tunjukkan baktimu pada ibu pertiwi.
Mbah joyo juwoto memang penulis yg keren...
BalasHapus