Seruling
Senja
Oleh
: Joyo Juwoto
“Gimana Ngger, bapak dan Emak tidak
sanggup menyekolahkanmu ke SMP ? Tidak ada biayanya”
Suara bapak pelan
namun agak bergetar, mungkin beliau menahan berbagai perasaan yang berkecamuk
dalam dirinya sendiri, pertarungan batin antara kecewa, marah, dan
ketidakberdayaan menghadapi kenyataan bahwa anaknya hanya akan lulus Sekolah
Dasar saja, tanpa sanggup melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Aku hanya diam
tertunduk, keinginanku untuk bisa sekolah di kota kecamatan akan kandas walau
sebenarnya aku sangat menginginkannya. Aku ingin seperti teman-teman sebayaku, yang
setelah lulus dari SD di kampung, mereka melanjutkan sekolah ke SMP yang ada di
kota kecamatan.
Betapa riang dan
gembiranya mereka, senyum anak-anak yang mulai menginjak remaja dengan semangat
dan harapan serta cita-cita yang melambung tinggi di angkasa. Tiap pagi mereka
akan memakai seragam yang tidak lagi merah putih, seperti waktu di SD, bersepatu
rapi, menenteng tas di punggung, tiap pagi hari mengayuh harapan dengan riang,
bersama-sama berangkat sekolah ke tempat yang lebih jauh lagi, yaitu di kota
Kecamatan.
“Ah bahagianya mereka
yang bisa melanjutkan sekolah ke SMP,
mereka akan memiliki teman-teman baru, pengalaman baru, dan tentu mereka akan
sering melihat mobil yang ada di jalan-jalan besar di kota kecamatan”
batinku sambil tetap terdiam di hadapan bapak.
Bapak masih duduk di
dingklik sambil menghabiskan lintingan kreteknya yang terbuat dari klobot
jagung. Kadang beliau terbatuk-batuk karena kreteknya hanya berisi tembakau magak
yang tidak ada campuran cengkehnya. Bisa rokokan seperti itu saja sudah suatu
keberuntungan di tengah kondisi ekonomi yang memang serba susah. Sesekali
beliau menarik nafas panjangnya, kemudian melepaskannya pelan-pelan. Seakan
ingin membuang beban kehidupan yang menghimpit dadanya yang ceking itu dengan
perlahan.
“Aku harap kamu tidak
kecewa dengan keputusan bapak dan emak, tahun depan kalau ada rejeki kamu boleh
melanjutkan sekolahmu” lanjut bapak agak ragu sambil memberikan
harapan kepadaku yang masih terdiam di depannya.
“Tidak papa bapak aku
tidak jadi melanjutkan ke SMP, toh di rumah bisa membantu bapak dan emak di sawah, kalau tidak begitu aku mau
jadi pangon sapi di Ndoro Bandi, nanti
kalau dapat bagian akan kupergunakan untuk biaya sekolah di tahun depan”
Bapak sebenarnya
kurang setuju aku jadi pangon, walau sebenarnya pekerjaan pangon sudah kuakrabi
sejak kecil. Menggembala sapi, menyabit rumput, membersihkan kandang sapi, ngguyang
sapi di kali, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang berkenaan dengan dunia seorang
gembala.
Aku sangat mencintai
dunia gembala, siang hari biasanya kami membawa sapi-sapi ke tepi hutan untuk
merumput, di sana bersama gembala lain yang juga anak-anak sekampungku akan
bersama menunggui sapi-sapi itu dengan berbagai kesibukan yang menyenangkan. Mulai
dari mencari belalang, jamur, burung dan buah-buahan liar di hutan.
Menjelang senja berwarna
jingga, kami akan menggiring sapi-sapi pulang ke kandang, kami kadang menaiki
punggung sapi sambil berdendang riang dengan seruling yang mendayu memenuhi
lembah dan sawah. Sebelum sampai rumah, sapi-sapi itu akan melepas lelah untuk
minum dan mandi di kedung sungai yang jernih. Kami pun mandi bersama sapi-sapi
itu.
Walau demikian, menjadi
seorang pangon bukanlah pekerjaan yang enak, walau nanti sang pangon
dapat paroan dari anak-anak sapi yang digembalakannya, biasanya satu
tahun berlalu sapi baru akan punya seekor anak, dan itu menjadi haknya Ndoro,
di tahun berikutnya jika sapi beranak lagi baru menjadi haknya pangon.
Hampir selama dua tahun pangon bekerja keras siang dan malam pada
seorang Ndoro tanpa dibayar. Baru di akhir tahun kedua pangon
akan mendapatkan haknya, seekor Pedet. Setelah itu terserah sama pangon,
ingin melanjutkan menjadi pangon atau memutuskan untuk keluar saja.
Bapak punya dua ekor
sapi, sapi itu dipakai untuk mengerjakan ladang yang hanya beberapa petak saja.
Akulah yang bertanggungjawab mengurusi sapi-sapi itu. Jika tidak pada masa
menggarap ladang dan sawah, sapi itu aku gembalakan di padang rumput di tepi
hutan, kalau tidak gitu, aku harus menyabit rumput untuk persediaan makanan
sapi.
“Kamu tidak perlu
menjadi pangon, kedua sapi itu saja kamu urusi. Carikan rumput atau bawa ke
tepi hutan biar mencari rumput segar di sana. Nanti jika si babon beranak juga
bisa kamu pakai untuk biaya sekolah” Kata bapak menjawab
keinginanku untuk menjadi pangon.
***
Siang hari setelah
dari sekolah biasanya aku pergi ke tepi hutan untuk menggembalakan sapi, kalau
tidak begitu ya mencari rumput di tegalan, pada malam harinya kami anak-anak
kampung pergi ke langgar untuk mengaji dan tidur di sana. Anak lelaki usia delapan
hingga sepuluh tahun di kampungku pantang tidur di rumah, mereka biasanya akan
tidur bersama-sama di langgar kampung.
Tapi kali ini beda,
pagi hari aku sudah tidak sekolah, karena memang aku tidak melanjutkan ke SMP
idaman di kota kecamatan. Aku jadi banyak waktu nganggur di rumah. Walau nanti
siang dan malam hari aktivitasku tetaplah sama, bersama teman-teman
menggembalakan sapi dan malam harinya mengaji di langgar.
Tiap pagi sekarang
kesibukanku berubah, jika dulu setelah bangun pagi, mandi, sarapan pagi,
kemudian pergi ke sekolah di SDN Sidotentrem II yang tidak begitu jauh dari
rumah. Sekarang pagi hari aku harus mencari kesibukan baru, jika teman-temanku
pergi mengayuh sepedanya ke kota kecamatan, sedang diriku pagi hari harus segera
mencari rumput untuk si babon, agar si babon cepat gemuk dan segera bunting.
Bagaimanapun cita-citaku
untuk bisa melanjutkan sekolah di SMP di kota kecamatan tidak boleh tertunda
lagi. Aku ingin punya pengalaman baru, teman baru, harapan baru, dan aku ingin
melihat mobil-mobil yang menderu di jalan raya di kota kecamatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar