Pram
dan Emansipasi Kaum Perempuan
Oleh
: Joyojuwoto
Hampir
seluruh buku-buku yang ditulis oleh Pram (Pramodya Ananta Toer) memberikan perhatian khusus terhadap kondisi
dan nasib kaum perempuan. Entah itu pembelaan terhadap hak-hak dan eksistensi
perempuan, entah itu memaparkan masalah-masalah yang dihadapi oleh kaum
perempuan, hingga perjuangan keras yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan
dalam buku-buku Pram.
Hal
ini dapat kita lihat dari beberapa tulisan Pram yang judulnya langsung memakai
nama perempuan, seperti Midah Simanis Gigi Emas, Larasati, atau judul yang lain
yang juga dekat dengan perempuan seperti Gadis Pantai, Panggil Aku Kartini Saja,
Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, atau bahkan dalam Arus Balik pun Pram
menempatkan Idayu, seorang perempuan dari Awis Krambil, sebagai tokoh sentral
yang sangat membekas di pikiran para pembaca.
Tidak
hanya itu saja, hampir semua karya-karya Pram tersimpan bara semangat
untuk menyuarakan pembelaannya terhadap nasib
perempuan. Seakan karya-karya Pram adalah panggung bicara bagi kaum Hawa untuk
melawan ketidakadilan dan penindasan yang menimpa mereka. Lihatlah betapa kuat
karakter tokoh-tokoh perempuan yang dibangun Pram dalam karyanya. Dalam
tetralogi Pulau Buru yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, Pram
menampilkan gerakan emansipasi yang dilakukan oleh kaum perempuan dalam tokoh Sanikem
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Nyai Ontosoroh.
Pram
memang punya perhatian besar terhadap masalah-masalah klasik yang dihadapi kaum
hawa sejak zaman dahulu bahkan hingga masa sekarang, yaitu budaya patriarkisme
yang menganggap bahwa perempuan menjadi bagian dari subordinasi kaum lelaki. Pram
begitu intens mengadvokasi nasib perempuan dari penindasan budaya yang telah mapan
dan mengakar, Pram juga mengedukasi kaum perempuan agar mereka bisa menjadi
sosok yang berani, berdikari, mandiri, berjiwa merdeka, hingga kedudukan yang sejajar
dengan kaum lelaki.
Namun
Pram bukanlah sosok pejuang emansipasi yang lepas kontrol dan kebablasan,
seperti yang banyak digagas oleh para pejuang gender. Pram tetap proposional
meletakkan faham emansipasi ini. Lihatlah perkataan Nyai Ontosoroh mengenai
emansipasi dalam karya Pram : “Jangan panggil aku perempuan sejati jika hidup
hanya berkalang lelaki...Namun bukan berarti aku tak butuh lelaki untuk aku
cintai...”
Entah
karena dipengaruhi oleh kehidupan masa kecil Pram yang punya kedekatan emosional
dengan Ibunya, atau mungkin karena hubungan Pram dengan bapaknya yang kurang
harmonis, sehingga melatarbelakangi kepenulisan Pram banyak membicarakan nasib
perempuan. Namun yang pasti Pram adalah sosok yang sangat lantang menyuarakan pembelaan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan terhadap kaum perempuan.
Sebagai
seorang penulis dan sastrawan besar Pram berusaha menarasikan ide-ide dan
gagasannya dalam tulisan yang tidak hanya bernilai artistik semata, Pram tidak
hanya membangun karyanya dengan kata-kata yang indah dan mempesona, namun Pram juga
sangat teguh memegang kredo sastra sebagai realisme sosialis, bagi Pram jika sastra tidak memberikan ruang perhatian
terhadap kehidupan sosial di masyarakat, maka sastra itu ibarat bunga-bunga
yang tercerabut akarnya dari tanah. Tulisan itu sebentar akan layu kemudian mati,
dan tidak meninggalkan jejak dan makna apapun. Oleh karena itu Pram sangat
berani menyuarakan realitas sosial di dalam karya tulisnya.
Nama
Pram mungkin jarang sekali atau bahkan tidak pernah disebut sebagai pahlawan
emansipasi bagi kaum perempuan, namun diakui atau tidak Pram selalu menempatkan
kaum pemilik surga di telapak kaki ini, sebagai tokoh yang nyaris tidak memiliki
watak dan karakter antagonis. Pram selalu memberikan pembelaan total terhadap
kaum Hawa. Mungkin saja Pram adalah anak yang sholeh dan sangat berbakti kepada
ibunya, sehingga karya-karyanya menampilkan sosok perempuan-perempuan yang
emansipatif.
Pram
memang punya modal psikologis yang kuat untuk menampilkan perempuan-perempuan
dalam karya-karyanya, hal ini disinggung dalam karya memoarnya yang berjudul: Nyayi
Sunyi Seorang Bisu, Pram bercerita panjang lebar tentang perempuan-perempuan
yang telah membentuk dan mengukir jiwa raganya.
Jadi
tidak heran jika Pram menaruh perhatian atas masalah perempuan pada sebagian
besar karya-karyanya. Namun bagi Pram pembelaannya bukan pada masalah perempuan
semata, namun lebih pada nilai-nilai kemanusiaan yang dicampakkan oleh budaya kepongahan
dari feodalisme, patriarkisme, dan kekolotan tradisi yang perlu dikritisi.
Apa kita perlu mengusulkan Pram menjadi pahlawan emansipasi kaum perempuan ? Saya kira Pram tidak pernah membutuhkan gelar itu !
Posting anda memang oke...
BalasHapus