Romansa Sarah Wulan Dalam Kisah Kentrung Bate
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa di Bate Kec. Bangilan terdapat
kesenian klasik yang hampir dipastikan tinggal nama, Kentrung Bate. Semenjak kematian
Mbah Surati sang dalang kentrung satu tahun lalu kesenian ini telah kehilangan
gairah untuk eksis. Sebenarnya masih ada pelaku kesenian kentrung di Bate yang
tersisa, namun hanya tinggal penabuh timplungnya saja yaitu Mbah Setri, namun
sayang mbah setri hanya mampu menabuh timplung dan tidak bisa mendalang. Padahal
inti dari pertunjukan kentrung adalah dongeng dari sang dalang yang
menceritakan tentang kisah-kisah Para Nabi, para wali, dan kisah-kisah legenda
lainnya.
Kalau di dalam drama percintaan kita akrab dengan sepasang kekasih Romeo
dan Juliet dari Inggris, atau kisah Rojali-Juleha dari Betawi, Sampek – Engtay dari
Cina, ternyata penduduk pedalaman Tuban juga punya kisah romantis sepasang
kekasih Sarah Wulan – Juwarsah, cinta mereka pun terhalang oleh orang tua dari
Sarahwulan yaitu Nyi Wandansili.
Berikut sepenggal kisah dari drama percintaan Sarah Wulan :
*Nyi Wandansili berdiri angkuh
dengan kemurkaannya. Tubuhnya ringkih membelakangi Sarahwulan yang bersimpuh
meminta belas kasihan.
“Ampun Mbok ijinkan kawulo
pergi,” kata sang gadis berlinang airmata. Segenggam pakaian dibungkus jarik
kawung teronggok di samping kanannya.
“Mau jadi apa kamu tak nurut
orangtua, bocah wadon kudu punya harga diri,” hardik Nyi Wandansili kepada
anaknya.
Kepergian
sang gadis mencari kekasihnya Juwarsah, bagi Nyi Wandansili tak ubahnya cidro.
Malu keluarga harus ditanggung Nyi Wandansili jika sang anak meninggalkan
rumah. Meski jerit tangis anaknya membelah langit, kian membuat sang janda
bergeming.
*(Majalah Sastra Budaya "Gong" - Jogjakarta.)
Dari alur kisahnya dapat kita paparkan tentang seorang anak perempuan desa yang
berani menentang kehendak ibunya demi melunasi janji kesetiaan kepada
kekasihnya. Cinta itu benar-benar telah membutakan nalar dan pikiran Sarahwulan
lari dari rumah mengejar kekasihnya Juwarsah yang entah kemana perginya.
Sebenarnya dari segi kultur Jawa seorang gadis biasanya jika telah memasuki
usia menikah akan dipingit dan tidak boleh keluar rumah sembarangan. Dan anak
gadis secara kultur sangat manut kepada orang tuanya, karena seorang gadis atau
wanita berasal dari kata wani ditata. Berani diatur dan siap menyerahkan
garis hidupnya pada kedua orang tuanya hingga nanti diserahkan kepada suaminya.
Kisah Sarahwulan-Juwarsah mampu keluar dari pakem adat istiadat yang
membelunggu serta mendobrak tembok patriarki masyarakat Jawa. Dalam konteks ini
pemberontakan Sarahwulan kepada Ibunya bisa kita maknani positif maupun negatif
sesuai dengan sudut pandang yang akan kita ambil.
Nyi Wandansili sebagai orangtua dari Sarahwulan dalam konflik batinnya pun
sebenarnya menggugat apa yang telah dilakukan oleh anaknya. Dalam tembang “Nagih
Utang” yang dirapalkan oleh Ibu Sarahwulan syarat pelajaran buat si anak
tentang kepatuhan dan ketaatannya terhadap orangtuanya. Berikut tembang Nagih
Utang :
*Dudu tangis mono wonge
kelaran,
Dudu tangis iki wonge kepaten,
Tetangise mono wong nduwe
utang,
Ora utang mono wong padha
dama,
Ya Lailaha Hailallah
Orang utang karo wong cina
landa,
Ora duwe utang mas picis raja
brana,
Nduwe utang mana karo wong
tuwa,
Ndek nalika wong rupa toya
Ya Laila Hailallah
Nang ditagih utang karo wong
tuwa,
Ya nang apa mbok nggo
nyaurana,
Mbok rewangi wong adol rambut,
Panyaurmu durung bisa cukup,
Nek dilorohi wong tuwa prengat
prengut,
Ya
Laila Hailallah
*(Majalah Sastra Budaya
"Gong" - Jogjakarta.)
Dari makna gending diatas secara singkat menjelaskan bahwa kebaktian
seorang anak kepada orangtuanya adalah sebuah kemutlakan. Sebagaimana seorang
yang punya hutang ia tak akan mampu membayar dengan apapun juga. Karena kita
ada karena perantara orang tua kita. Orang tua ibarat Tuhan yang mengejawentah
di alam mayapada. Bukankah surga berada
di bawah telapak kaki ibu dalam ajaran agama Islam, dan bukankah
keridhoan Tuhan bersama ridho orang tua kita, begitu pula kemurkaan-NYA pun
bersama murka orang tua kita. Kalau dari sudut pandang ini tentu apa yang
dilakukan oleh Sarahwulan adalah bentuk kedurhakaan kepada ibunya Nyi
Wandansili.
Namun jika kita kaji dari
kacamata cinta, sulit rasanya menyalahkan apa yang dilakukan oleh Sarahwulan. Tak
ada kata yang mampu mendefinisakan dan mengungkap rahasia cinta kecuali cinta itu sendiri.
“AL Hubbu La Yumkinu Tafsiruhu
Wa Huwa Yufassiru Kulla Syai’in”
"Cinta
tak bisa dijelaskan,
Cintalah yang akan menjelaskan semuanya"
Orangtua tidaklah selalu benar, dan bentuk pemaksaan dalam hal cinta dan perjodohan
bukanlah hal yang diperbolehkan walau hal itu juga tidak bisa dianggap salah. Perlu
kearifan dan sikap yang moderat untuk masalah yang sangat sensitif ini. Kemungkinan
seorang anak hingga berani melawan orang tuanya bisa jadi dikarenakan sikap
dari orangtua itu sendiri yang terlalu egosentris. Dalam ajaran agama pun kita
diajarkan untuk bermusyawarah dalam menentukan sesuatu yang berkenaan dengan
pihak lain. Tidak terkecuali terhadap anaknya sendiri.
Bagaimanapun kisah Sarahwulan-Juwarsah tidak hanya ada
dalam dunia dongeng saja, boleh jadi kisah itu adalah representasi dari kondisi
kultural masyarakat saat itu. Dimana jodoh seorang anak berada dalam kekuasaan
orangtuanya atau kita sering menyebutnya sebagai zaman Siti Nurbaya. Singkatnya
orangtua juga harus menyadari akan kenyataan ini, dan orangtua hendaknya
membiasakan membangun jalur komunikasi dua arah antara dirinya dan anaknnya
walau jalur komando pun tetap diperlukan, agar tercipta harmoni cinta yang
sempurna di jagad kehidupan kita. Sekian Salam Cinta. 15-5-2015 Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar