Jalan Pulang
Debu-debu jalanan beterbangan memerihkan mata, siang yang terik, musim
kemarau yang sempurna, dan matahari yang berada tepat di atas kepala menggenapkan
suasana panas siang di pertengahan bulan Juni. Seorang pemuda berpakaian hitam bercelana
komprang ala pakaian Jawa berjalan ke arah terminal Bojonegoro. Ia dengan sigap
naik bis jurusan Ngawi yang tak perlu berhenti untuk menaikkan ataupun
menurunkan penumpang. Cukup bis diperlambat sekian detik kemudian meluncur
cepat membelah aspal-aspal jalan Bojonegoro – Ngawi.
Tak ada bekal yang dibawa pemuda itu, nafas dan kepalan tangan serta
ambisinya untuk berpenghidupan layak seakan telah cukup untuk mengantarkannya
menjelajahi luasnya wilayah baru yang akan dituju. Walau ia sendiri pun tidak
tahu kemana langkah kakinya akan diarahkan. Hanya mata kaki dan tekadnya saja
yang menguatkannya untuk meninggalkan kampung halaman demi sebuah harga diri
yang akan menuntunnya menuju apa yang ia asakan.
Kota-kota dan jalanan ia lalui, batu dan debu menjadi menunya sehari-hari,
keterpaksaan dan kekerasan telah membentuk watak dan karakternya semakin tegar
dan kokoh menghadapi kejamnya kehidupan. Dunia preman dan aturan jalanan ikut
membesarkannya dalam perantauan, akhirnya pemuda itu menjelma menjadi berandalan
yang disegani di seantero kota dan desa di wilayah Ngawi, Solo dan sekitarnya.
Walau tenggelam dalam dunia hitam, Wira sang pemuda dari Bangilan itu di
tengah-tengah kehidupan masyarakat yang ia tempati terkenal sebagi pemuda yang
baik hati dan santun. Ibarat pemain sinetron papan atas Wira mampu memainkan
peran dengan sempurna. Ia menyembunyikan jatidirinya yang sebenarnya kepada
warga masyarakat sekitar, yang mereka tahu Wira adalah pemuda perantauan yang
bekerja di pabrik kayu di kota Solo.
Untuk menyempurnakan aktingnya Wira berguru kepada seorang ahli kebatinan
Jawa yang ada di Solo, Ki Ajar Sasra Birawa. Selain mempelajari kebatinan Wira
juga memperdalam ilmu kanuragan sebagai bekal malang melintang di dunia begal.
Walau tubuhnya kecil namun jangan ditanya soal beladiri ia bisa dibilang
sebagai pendekar yang pilih tanding.
Gurunya bukannya tidak tahu dengan segala tingkah laku muridnya, namun
sebagai seorang yang weruh sakdurunge winarah beliau lebih banyak memilih diam
dan tetap selalu mengajarkan kebenaran sejati yang perlu ditempuh oleh manusia
dalam hidupnya. Hitam putihnya kehidupan adalah rahasia Tuhan. Manusia hanya
sekedar menjalankan titah sambil terus berharap rahmat dan karunia dari Sang
Pencipta.
Suatu ketika Ki Ajar mewejang kepada murid-muridnya disebuah ruangan utama
padepokan :
“Angger murid-muridku ketahuilah hidup di dunia
ini tidak lama, ibarat orang bepergian kita sedang berhenti sejenak untuk
minum, kita sedang “Mampir Ngombe” kita tak akan selamanya berada di dunia ini,
karena ini bukan rumah kita, bukan kampung kita. Kampung sejati kita adalah
akhirat yang kekal abadi. Segala kemewahan dan gemerlapnya di dunia ini tidak
ada apa-apanya jika dibanding apa yang akan kita peroleh di kampung kita
sendiri. Oleh karena itu kita hidup di dunia harus bisa dan memahami “Inna
Lillahi Wa Inna Ilahi Roji’un”. Jangan sampai kita lupa akan “Sangkan Paraning
Dumadi.”
Murid-murid padepokan Ki Ajar Sasra Birawa hanya diam dan menunduk
mendengar wejangan dari Sang Guru. Mereka mencerna wejangan itu dengan daya
rasa, cipta, dan karsa agar dapat menguraikan wejangan yang berisikan ajaran
paripurna. Mengerti “Sangkan Paraning Dumadi”.
Wira yang berada di tengah-tengah para murid Ki Ajar hanya diam dan menahan
nafas. Ia merasa dirinyalah sebenarnya yang sedang dinasehati oleh gurunya itu.
Namun dirinya telah bertekad saat meninggalkan kampung bahwa ia tak akan pulang
sebelum mampu “ngemperi ndunyo, mageri jagad” mendapatkan keberhasilan
duniawi dengan cara apapun juga. Bahkan dengan merampok dan membegal sekalipun.
Dan cita-cita yang di gadang-gadang itu hampir sampai, dari hasil
merampokknya Wira telah mengumpulkan banyak perhiasan emas permata yang ia
simpan di rumah kontrakannya.
Suatu ketika Wira bersama komplotannnya melanglang buana mencari daerah
rampokan baru yang lebih menjanjikan hingga sampai di kota Magelang. Di tempat ini Wira bersama
temannya menyaru menjadi santri di pesantren Watu Congol yang diasuh oleh Mbah
Dalhar. Lazimnya pesantren zaman dahulu siapapun bisa nyantri dan menetap di
pondok tanpa harus ditanya macam-macam. Karena tujuan di pesantren adalah untuk
ndandani awak, memperbaiki diri. Sikap husnudzon dan terbuka dari warga
pesantren menjadikan Wira dan teman-temannya bisa menetap di pesantren itu
dengan leluasa.
Di Magelang ini Wira selain ikut mengaji kepada Mbah Dalhar, ia dan
teman-temannya juga masih melancarkan aksinya membegal. Namun daerah operasinya
jauh dari pesantren, agar tidak mudah dikenali. Tidak hanya membegal ketika di
luar Wira pun main perempuan, uang yang banyak, emas dan permata menjadi daya
tarik yang luar biasa bagi kaum tuna susila, hingga Wira tak mampu melepaskan
kebiasaannya itu. Walau ketika kembali ke pesantren Wira tampil seperti lagaknya
seorang santri lainnya.
Mbah Dalhar adalah seorang Mursyid Thariqah Sadziliyah, dengan segala
karomahnya beliau bukannya tidak tahu dengan kondisi santrinya. Namun begitulah
sekali lagi kearifan seorang yang ‘aarif billah ia tidak suka menunjuk hidung
dan menghakimi terhadap santrinya. Bagaimanapun menjadi tugas seorang mursyid
untuk membimbing para salik menuju tangga-tangga langit.
Pada sutu kesempatam Mbah Dalhar memanggil Wira untuk sowan menghadap ke
Ndalem. Wira sendiri merasa kaget, baru kali ini selama ia nyantri dipanggil
langsung oleh Sang Kyai. Ia khawatir jangan-jangan kedoknya akan dibongkar oleh
Kyai. Dengan ragu-ragu Wira pun mendatangi ndalemnya Kyai.
“Assalamu’alaikum Kyai,” ucap Wira ketika sampai di pintu.
“Waalaikum salam, sini masuk Kang” jawab Mbah Dalhar penuh keakraban.
Wira pun masuk, dan duduk bersila di hadapan Mbah Dalhar dengan menundukkan
kepala. Ia siap jika segala dosa dan kesalahannya dibongkar dan mendapat marah
dari Kyai yang wira’i itu. Wira hanya diam menunggu dawuh dari Sang Kyai.
“Kang sampeyan kan sudah lama nyantri di sini, sekarang
sampeyan saya ijinkan pulang ke kampung dan Insyallah penyakit sampeyan akan
sembuh dengan syarat ketika sampeyan pulang nanti harus seperti keadaan
sampeyan berangkat dari kampung sampeyan. Seampai di kampung ambillah seorang istri dengan niat ibadah
dan untuk melanjutkan keturunan” Dawuh Mbah Dalhar.
Walau diucapkan dengan suara yang lembut dan kebapakan, suara Mbah Dalhar
seperti dentuman petir yang menggelegar meruntuhkan isi langit. Wira tak menyangka ternyata selama ini Mbah
Dalhar tahu apa yang ia lakukan. Sampai pada penyakitnya yang selama ini ia
rahasiakan walau kepada teman karibnya sekalipun ia tak pernah cerita.
Memang Wira mengidap penyakit berkenaan dengan hobinya main perempuan, dan
yang lebih menyedihkan lagi ia telah
divonis dokter tak akan mempunyai keturunan.
Setelah peristiwa itu Wira menjadi bingung, disuruh kembali ke kampung
tidak masalah baginya, namun
meninggalkan semua yang ia miliki untuk tidak dibawa pulang itu yang
membuatnya bimbang. Dari hasil merampoknya Wira telah berhasil mengumpulkan
berkotak-kotak emas berlian, dan dengan entengnya Sang Kyai menyuruhnya untuk
meninggalkan itu semua.
Di tengah kebimbangannya Wira teringat guru kebatinannya Ki Ajar Sasra
Birawa, akhirnya Wira berangkat ke Solo untuk mengadukan kegalauan hatinya. Dengan
berdebar-debar Wira menghadap ke padepokan Ki Ajar Sasra Birawa, saat itu Ki
Ajar sedang duduk santai di depan sanggar pamujan. Seakan ia telah menunggu
kedatangan Wira.
“Kulo Nuwun Ki, dalem badhe sowan” ucap Wira kepada gurunya
“Rahayu, rahayu..lama kau tak kesini angger Wira,
bagaimana kabarmu ?”
jawab Ki ajar sambil menanyakan kabar Wira.
“Baik Ki, semua atas berkah do’a pangestu dari
panjenengan” jawab Wira
“Ada perlu apa kau kesini menemuiku Wira, bukankah
hidupmu telah kecukupan, harta benda telah kau dapatkan sebagaimana yang kau
inginkan, kalau kau ingin pulang, pulanglah Wira...kau akan menjadi orang
terhormat di kampungmu dengan harta yang kau bawa pulang, tapi ingatlah pesanku
dulu di sini bukanlah tempat tinggalmu, di sini bukan kampungmu pada saatnya
kau akan pulang Wira, namun bukan harta benda yang akan kau bawa, karma
kehidupanlah yang akan menjadi bekalmu” terang Ki Ajar panjang lebar
Walau Wira belum menyampaikan permasalahannya, ternyata Ki Ajar sangat
wasis dan sidik paningal, hingga Wira merasa malu sendiri, kemudian ia pun
matur kepada Sang Guru :
“Lalu apa yang harus aku lakukan Ki ? mohon
bimbingannya Ki saya bingung apa yang sebaiknya aku lakukan”
“Ikuti apa yang diwejangkan Gurumu Kyai
Dalhar” Jawab Ki Ajar Sasra Birawa pendek.
“Baiklah Ki, saya akan berusaha”
Selanjutnya Wira berpamitan kepada Gurunya, walau masih ragu Wira berusaha
sekuat daya untuk mengikuti pesan dari kedua guru spiritualnya.
Mula-mula Wira membeli pakaian seperti awal ia memulai perjalanannya
meninggalkan kampung halamannya, pakaian hitam, celana komprang. Ia bawa
kotak-kotak perhiasaannya yang penuh dengan emas permata. Keraguan masih tampak
di wajahnya, di jalan setapak di pinggir hutan antara Solo-Ngawi ia gali tanah,
kemudian ia pendam kotak penuh emas itu. Selang beberapa langkah dari tempat ia
membuang harta bendanya, Wira kembali lagi. Ia gali lagi tanah itu dan ia
pangku kotak yang penuh dengan perhiasan yang tidak akan habis dimakan selama
tujuh turunan dengan gemetaran. Hatinya dipenuhi kebimbangan, akankah harta
sebanyak itu yang didapat dengan pertaruhan nyawa harus ditinggal begitu saja.
Bukankah lebih baik ia bawa pulang sebagian ia sedekahkan untuk orang miskin
sebagai penangkal bala’, sebagian ia pakai sendiri dan itu pun masih lebih dari
cukup. Tentu Tuhan akan memaklumi dirinya yang telah merayu-rayu Tuhan dengan
tampil sebagai pahlawan untuk orang miskin. Dan Tuhan akan mengampuninya.
Bukankah Tuhan Maha Rohman Rohim ?.
Wira pun kembali memanggul kotak perhisaannya untuk dibawa pulang, namun
lagi-lagi Wira bimbang, apa mungkin Tuhan bisa dirayu-rayu dan dikelabui
seperti itu ? Wira kembali meletakkan kotak
perhiasannya ke tanah, ia gali tanah dan ia pendam kembali. Kejadian itu
berulang kali hingga akhirnya Wira mantap membuang seluruh harta yang ia dapat
dengan cara kotor itu untuk dibenamkan ke dalam perut bumi. Sebelum dirinya
sendiri yang akan dibenamkan Tuhan ke dalam tanah.
Selesai memendamnya Wira tak ingin menengok ke belakang lagi, hatinya telah
mantap dengan wejangan dari guru spiritualnya itu, dan Wira pun pulang kembali
ke kampungnya dengan pakaian dan kondisi seperti pertama kalinya ia
meninggalkan kampung halamannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar