Gambar : http://mobavatar.com/ |
Perselingkuhan Sejarah dalam Penetapan Hari Kebangkitan Nasional
Pernyataan bahwa sejarah adalah milik
penguasa bukanlah mitos belaka. Banyak sekali peristiwa-peristiwa sejarah di
negeri ini yang telah dilukis ulang oleh para pemegang kekuasaan, entah karena
maksud apa hingga proses distorsi sejarah itu dilakukan dengan mengesampingkan
fakta-fakta yang sebenarnya.
Kesakralan nilai sebuah sejarah sebenarnya telah hilang
jika sifat dari sejarah itu sendiri telah dikhianati. Seyogyanya sejarah
bersifat unik, penting dan abadi. Unik karena peristiwa sejarah hanya terjadi
satu kali dan tidak dapat diulang kembali, penting karena peristiwa sejarah
menentukan kehidupan orang banyak, serat abadi karena peristiwa sejarah tidak
berubah dan dikenag sepanjang masa.
Padahal Bung Karno dengan penuh semangat mengingatkan
kepada kita tentang pentingnya sebuah sejarah “Jas Merah” Jangan
sekali-sekali melupakan Sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak
melupakan sejarahnya, tidak melupakan jasa-jasa para pahlawannya.
Lalu apa yang menjadi penting dari sebuah peristiwa
sejarah dan apa yang perlu kita ingat jika sejarah bangsa ini dibangun diatas kebohongan dan kepentingan-kepentingan
kelompok tertentu saja, banyak contoh peristiwa sejarah yang menuai kontrovensi
karena distorsi. Salah satu contoh saja tentang penetapan Hari Kebangkitan
Nasional yang jatuh pada tanggal 20 Mei. Pemerintah menetapkan hari lahirnya
Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908 sebagai tonggak kebangkitan Nasional,
penetapan ini atas usul dari Ki Hajar Dewantoro ketika beliau melihat kondisi
bangsa yang terpecah-belah dan mengalami ancaman disintegrasi akibat agresi
militer Belanda. Tentu tujuan dari penetapan Hakitnas yang ditetapkan oleh
Presiden Soekarno dan wakilnya yaitu Bung Hatta pada tahun 1948 ini memiliki
tujuan yang mulia. Namun sayang tidak ada titik temu antara semangat
kebangkitan dan persatuan nasional dengan simbol yang dipakai yaitu organisasi
kedaerahan Boedi Oetomo.
Boedi Oetomo (BO) yang didirikan oleh Soetomo sendiri
sebenarnya hanya diperuntukkan bagi kalangan priyayi Jawa dan Madura serta para
pengreh praja yang bekerja kepada pemerintah Belanda. Hal ini terbukti pada
konggres pertama Boedi Oetomo di Jogjakarta pada 3 Oktober 1908 M, pimpinan organisasi dipegang oleh Bupati Karang Anyar,
R. Adipati Tirtokoesoemo sebagai Presiden Boedi Oetomo periode 1908-1911 M. Pada
saat itu jabatan Bupati merupakan Indirec Rule System dari pemerintah kolonial
Belanda.
Begitu pula dalam Algemene Vergradering Boedi Oetomo di
Bandung, 1915 M, sikap Djawaismenya semakin dipertegas dengan terpilihnya R.
Sastrowidjono terpilih sebagai Hoofdbestuur (ketua), ia meminta kepada hadirin
yang hadir untuk berdiri dan bersama-sama meneriakkan yel-yel : “Leve Pulau
Jawa, Leve Bangsa Jawa, Leve Boedi Oetomo” (Hidup Pulau Jawa, Hidup Bangsa
Jawa, Hidup Boedi Oetomo).
Jadi bagaimana mungkin Boedi Oetomo yang berorientasi
pada kedaerahan suku Jawa dan Madura serta para anggotanya adalah para pejabat
yang digaji Belanda dianggap sebagai lokomotif kebangkitan Nasional, sedang
mereka berada dalam satu gerbong kooperatif dengan gerakan kolonialisme,
keputusan ini tentu wajar dan layak jika dipertanyakan bukan ?
Menurut Asvi Warman pemantik nasionalisme sejati adalah
Syarikat Islam, sebuah organisasi yang didirikan pada tahun 1905. Organisasi yang
lahir dari gua garba SDI yang didirikan oleh H. Samanhudi ini memiliki spektrum
gerakan yang lebih luas. Berbeda dengan Boedi Oetomo yang cenderung
promordialis dan kesukuan, keanggotaan SI relatif terbuka dan tidak ada
diskriminasi suku, ras, dan antar agama, walau syarat keanggotaan SI adalah
orang yang beragama Islam namun faktanya siapapun bisa masuk menjadi anggota
SI.
Tidak hanya dalam soal prinsip saja, keanggotaan SI secara
masa pun lebih besar dibanding dengan kkeanggotaan BO yang hanya mencapai 10.
000 anggota, sedang SI anggotanya pada tahun 1916 mencapai 700.000 anggota di
181 cabang seluruh Indonesia. Pada tahun 1919 melonjak drastis menjadi sekitar
2 juta anggota angka yang sangat fantantis kala itu.
Umur organisasi SI pun lebih lama dibanding dengan masa
berdirinya BO yang akhirnya bubar pada tahun 1935, jadi BO tidak sempat
mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan karena telah non aktif sebelum
fajar kemerdekaan itu bersinar. Walau demikian kita tidak hendak mengabaikan
peran BO dalam pentas sejarah bangsa ini, namun hendaknya kita juga jangan
sampai menutup mata bahkan menghilangkan fakta akan peran organisasi lain yang
ternyata memiliki peran lebih dibanding organisasi yang lainnya. Apalagi organisasi
itu ternyata lebih dahulu hadir memberikan kontribusi terhadap bangsa ini.
Sejarah
tidak berlaku surut dan berjalan mundur kebelakang, namun rekontruksi sejarah
yang menyimpang perlu dilakukan agar kita tidak berpijak pada kebohongan
sejarah itu sendiri. Sebagi bangsa yang besar, sebagai bangsa yang tahu arti
jasa-jasa pahlawan terdahulu hendaknya kita perlu bersikap adil dan bijak,
sebagaimana yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer : “Seorang terpelajar
harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran.” Kata-kata ini hendaknya kita
fikirkan dan kita nyatakan dalam ke-Indonesiaan kita demi melunasi janji
kemerdekaan bersama, menjadi bangsa yang adil makmur dan bermartabat. Sekian. Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar