“Makna Ritual Menyiram Pelataran Rumah Dengan Air
Kembang”
Sabdalangit.wordpress.com |
Masyarakat Jawa memiliki banyak ajaran
adiluhung dan ritual yang kadang kita perlu mengerutkan dahi untuk mencernanya.
Bahkan mungkin tidak jarang ajaran dan ritual tersebut dianggap primitif, bid’ah,
tahayul, dan khurafat. Itu semua bersumber dari ketidaktahuan dan kurang
fahamnya kita akan warisan leluhur nenek moyang kita. Mungkin juga karena sikap
masa bodoh dan tidak ingin tahu akan apa yang sebenarnya ingin disampaikan
leluhur kita kepada anak cucunya. Dan lebih ironi rasa minder akan adat-istiadat yang dianggap ndeso serta
ketinggalan jaman serta lebih silau dengan segala sesuatu yang berasal dari
luar.
Padahal jika kita mengaku sebagai kaum
terpelajar dan berfikiran maju, sesungguhnya tidaklah elok dan tak pantas kita menjustifikasikan
sesuatu tanpa tahu secara mendalam apa yang kita tuding sebagai perbuatan sesat
bin khurafat. Ingat apa yang disampaikan oleh Pramodya Ananta Toer bahwa
seorang terpelajar hendaknya bisa adil dalam menilai sesuatu sejak dalam
pikiran. Dan jangan hanya mengandalkan prasangka dan opo jare wong (apa
kata manusia). Sebagai generasi yang terpelajar kita harus terlebih dahulu
melakukan studi kasus dan tabayyun terhadap hal-hal yang kita belum
mengetahuinya secara jelas.
Semisal ritual menyiram air kembang yang
sering kita temui di perempatan jalan ataupun di pelataran rumah seseorang yang
masih ngugemi (memegang teguh) ajaran Jawanya. Biasanya ritual itu dilaksanakan
pada hari Jumat Kliwon, atau Selasa Kliwon. Dan dulu saya sering mendapati hal
semisal itu ketika saya lewat di jalan atau di pelataran rumah seseorang. Dulu
saya mengira bahwa orang yang melakukan ritual siram kembang di pelataran
rumahnya adalah pelaku ilmu hitam, atau setidaknya mereka bersekutu dengan
gendruwo maupun jenis makhul halus lainnya.
Saya maklum dengan anggapan tersebut, karena
memang saya tidak tahu. Dan saya rasa banyak pula masyarakat kita yang
melakukan ritual itu juga kurang memahami makna yang terkandung dari ritual
siram kembang tersebut. Mereka biasanya kalau kita tanya hanya menjawab kata
mbah-mbah dulu seperti itu. Dan mereka hanya melakukan karena latah terhadap tradisi
yang mereka lihat dan mereka anut tanpa didasari ilmu yang memadai. Inilah susahnya
jika masyarakat telah kehilangan jati diri dan ilang jawane.
Berawal dari ketidak pahaman inilah nantinya
akan melahirkan suatu persepsi dan tindakan yang salah juga. Sehingga tidak
heran jika ajaran dan ritual kejawen yang adiluhung itu dianggap sesuatu yang
muspro dan dekat dengan ajaran sesat.
Ini yang menjadi PR kita bersama, menjembatani
masyarakat awam dengan orang-orang yang mempertanyakan identitas dan ajaran
Jawa. Semisal ritual menyiram air kembang di pelataran rumah atau jalan raya tadi
kalau kita mau merenungi makna yang terkandung di dalamnya sangatlah luar
biasa. Coba perhatikan mantra yang dibaca saat menyiramkan air kembang ke
pelataran :
“Ora nyebar kembang, nanging nyebar kabecikan,
Gusti Kang Maha Kuwasa keparengana paduka paring kawilujengan lan karahayon
dhumateng sedaya titah Paduka ingkang langkung ing prapatan/pelataran punika”
Artinya : “Tidak menyebarkan bunga, tetapi
menyebarkan kebajikan, wahai Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga Engkau memberikan
kesejahteraan dan keselamatan kepada semua makhluk Engkau yang melewati jalan/
halaman rumah ini”.
Begitu luar biasa seja dan karep
orang Jawa terhadap segala titah dan makhluk Tuhan di muka bumi. Mereka
menginginkan kebaikan dan keselamatan untuk semua makhluk Tuhan tanpa
membeda-bedakan, kenal atau tidak, dari jenis manusia ataukah jenis hewan, atau
bahkan dari jenis gendruwo dan setan sekalipun semua mendapat berkah do’a dari
orang Jawa.
Sikap yang sedemikian ini mencerminkan akan
keluhuran manusia Jawa yang ingin membangun harmoni dan cinta untuk semua makhluk
di muka bumi. Ini adalah perwujudan dari ajaran Jawa yang luhur tentang konsep “Memayu
Hayuning Bawana”, menjadi khalifah fil ardhi, dan manifestasi dari sifat
rahmatan lil ‘alamin. Dan inilah inti dari ajaran Tuhan dalam menciptakan
manusia di muka bumi.
Bukankah setiap kebaikan berarti ada nilai
shadaqah di dalamnya ?, bukankah menyingkirkan sesuatu rintangan di jalan juga
dihitung sebagai pahala sedekah ?, sebagaimana yang terkandung dalam kitab
hadits ‘Arba’in yang menjadi menu wajib di pesantren tersuratkan :
وتميط الأذى عن الطّريق صدقة (رواه البخارى ومسلم)
“Dan menyingkirkan
sesuatu rintangan dari jalan adalah shodaqah...” (HR. Bukhori dan Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar