Oleh
: Joyo Juwoto
Hutan
jati di lembah bukit Lodito itu cukup sepi, pohon-pohon besar nan lebat serta
semak-semak liar dan rimbun membentang luas.
Selain ditumbuhi pohon jati, hutan itu juga menyimpan berbagai ragam
flora dan fauna. Ada pohon mahoni, trembesi, kelor, randu, klanding, gedrek, kenitu,
ploso, asem jawa, dan berbagai macam tanaman perdu lainnya seperti secang, serut,
kloya-klayu, sidomabur, wangon, dan juga klorak. Di hutan itu juga berdiam
binatang-binatang liar seperti Kijang, Celeng, monyet, trenggiling, landak,
musang, ayam hutan, merak, burung kutilang, kepodang, cendet, betet, elang, dan
berbagai ragam burung lainnya. Selain penghuni yang kelihatan oleh mata, tentu
hutan juga memiliki penghuni yang tidak kasat mata, tersembunyi di dalam palung
misteri diantara semak-semak dan belukar hutan.
Di
sebuah lembah di kaki bukit sebelah timur di tengah belantara hutan, teradapat
sebuah gubuk yang tersembunyi. Gubuk itu dikelilingi pagar tanaman hidup,
kebanyakan adalah tanaman klanding, kares, residi, kelor dan jaranan. Gubuk itu cukup sederhana, beratapkan ilalang
kering yang dianyam dan ditata sedemikian rupa, melindungi dari terik matahari
dan hujan. Di depan gubuk terdapat dingklik bambu dan sebuah meja kecil dari
pohon gembol yang banyak tumbuh di sekitar hutan.
Di
belakang gubuk terdapat sebuah sendang kecil, airnya sangat jernih. Sendang itu
dikelilingi beberapa pohon gayam, sehingga membuat suasana menjadi rindang dan
sejuk. Di dalam sendang terdapat ikan-ikan yang bebas berkeliaran tanpa takut
disakiti oleh makhluk Tuhan yang lainnya.
Di
pekarangan gubuk tumbuh tanaman jagung, ketela pohon, ketela rambat, tomat,
lombok, terong dan aneka sayur-sayuran. Hal itu menandakan gubuk itu tidak
kosong, namun dihuni oleh seseorang yang sengaja hidup jauh dari keramaian
pedesaan, memilih menyendiri di tengah hutan belantara.
Entah
sebab apa di hari seperti ini ada orang yang memilih menepi dari kehidupan,
bersunyi seorang diri hidup jauh dari hiruk-pikuk dunia, apakah dia seorang
pertapa? ataukah seorang pengembara yang tersesat kemudian menetap di sana?
atau mungkin memang ia serta merta ingin berada di tengah hutan tanpa alasan
apapun? tentu semua pertanyaan itu adalah misteri, dan saya tidak mengetahui
jawabannya.
Pagi itu, saat saya mencari rumput
tidak sengaja saya jauh masuk ke tengah hutan. Ceritanya saya mengejar seekor
burung yang saya pelet dengan getah pohon nangka. Sayang daya lekatnya kurang
kuat sehingga burung yang telah kena pelet berhasil meloloskan diri. Saya pun
mengejarnya hingga jauh masuk ke hutan.
Ketika
menyusuri semak-semak di hutan itulah, saya tidak sengaja melihat gubuk tua di
lembah sebelah timur bukit Lodito. “Itu ada gubuk, siapa kira-kira yang
menempatinya ya? batinku, sambil mendekat perlahan ke arah gubuk yang
beratapkan rumbai-rumbai ilalang.
“Guk...guk...guk!
tiba-tiba saya dikejutkan oleh gonggongan seekor anjing besar berwarna hitam. Anjing
itu berjarak beberapa tombak dari semak-semak tempat saya berdiri. Hampir saja
saya lari ketika anjing itu menunjukkan taringnya dan bersiap melompat ke arah
persembunyian saya. Saya gemetar, tubuh saya seakan lekat dengan tanah, mau
lari namun tidak bisa.
Di
tengah situasi yang genting, tiba-tiba terdengar suara seseorang memecahkan
keheningan. “Hai Gogor, diam jangan ganggu orang yang sedang lewat” Seperti
kena daya kekuatan mantra pembungkam, anjing hitam yang menyalak galak dan siap
menerkam itu kemudian terdiam. Anjing itu membalikkan badannya, sambil
mengibas-kibaskan ekornya anjing itu kemudian pergi meninggalkan saya yang
masih diam terpaku di antara semak-semak sidomabur.
Dari
dalam gubuk keluar seorang kakek tua dengan membawa cangkul di pundaknya,
sedang tangan kanannya menggenggam sabit. Kemudian saya pun keluar dari semak
dan mendekati kakek tadi. Dengan agak takut saya pun menyapa kakek tua itu. “Kek,
Kek...terima kasih ya, hampir saja lepas jantung saya, gara-gara anjing hitam
itu” Kata saya sambil menunjuk seekor anjing yang berada di sisi kaki sang
kakek.
“Hehe...tidak
apa-apa ngger, memangnya kamu sedang apa berada di rerimbunan semak itu? “Tadi
saya mengejar burung Kek, larinya ke arah sini” jawabku. “Apa burung itu yang
kamu kejar? tanya kakek sambil menunjuk ke arah dahan pohon kares yang tidak
begitu tinggi dengan buah yang menggoda selera. Pohon Kares memang pohon
kesukaan anak-anak desa, jika musimnya berbuah anak-anak desa akan suka menghabiskan
waktunya di atas pohon. Walaupun buahnya kecil-kecil, tetapi anak-anak tergiur
dengan warna merah dan manisnya buah kares.
Saya
menoleh mengikuti arah jari kakek itu, benar di sebuah dahan pohon kares
bertengger dengan tenangnya seekor burung dengan bulu keemasan, ya burung itu
yang terkena pelet saya, namun sayang, burung itu bisa melepaskan diri kemudian
terbang, dan kukejar sampai di sebuah gubug tua yang kemudian mempertemukan saya
dengan kakek yang misterius ini.
“Ke sini cucuku, duduklah! Kata kakek
sambil mengajak saya duduk disebuah dingklik dari bambu. Di depan kursi terdapat meja dari pohon
gembol. Saya pun duduk menuruti ajakan kakek yang rambutnya sudah hampir memutih semua. Warna rambut kakek itu seperti
cahaya keperakan ditimpa matahari sore yang lembut.
“Dengar
cucuku, kalau kamu mau, ambillah burung itu, tidak perlu kau memeletnya burung
itu akan ikut bersamamu jika engkau mau.” Jawab kakek itu.
“Benarkah
Kek, burung itu bisa saya bawa pulang? sambut saya penuh kegirangan.
“Iya,
cucuku. Ketahuilah bahwa burung itu bukan burung biasa, warna kuning pada
bulu-bulu burung itu adalah emas murni, dan kau bisa memiliki burung emas di
pohon itu jika cucuku juga memiliki sangkar dari emas murni pula. Karena burung
itu hanya mau berada di sangkar yang menjadi takdir dan jodohnya.”
Suasana
menjadi hening, saya tertunduk memikirkan perkataan kakek pemilik gubug di
tengah hutan. Bayangan untuk memiliki burung dengan warna emas berkelebat di
dalam pikiran saya, bayangan apakah saya sanggup mendatangkan sangkar emas
menghapus bayangan burung itu. Bayangan
satu dengan bayangan yang kedua saling berganti-ganti memenuhi pikiran, hingga
tidak sadar suasana sudah semakin gelap.
“Wah berat sekali Kek syaratnya? Sangkar emas, dari
mana saya bisa mendapatkannya? Tanya saya lirih, sebagai tanda saya sedang
pesimis untuk mendapatkan apa yang saya inginkan.
“Heuheue, heuheue… cucuku, burung dan sangkar emas itu
sebenarnya pralambang saja. Ketahuilah, sangkar itu ibarat badan wadagmu, jika
engkau mampu membersihkan kotoran-kotoran dari babahan hawa sanga
yang ada di tubuhmu, maka dirimu bagaikan emas murni, maka dengan sendirinya
burung itu akan bersarang di dalam tubuh dan jiwamu. Sedangkan burung emas itu
adalah ndaru keberuntungan, dengan tanpa kau cari ia akan datang sendiri
jika jiwa dan ragamu suci dari debu-debu duniawi. Maka pulanglah, tak usah kau
kejar burung itu, persiapkan saja sangkarnya, ia akan datang seiring dengan
takdir dan jodohmu.”
“Cucuku, kau tak perlu tergesa memahami apa yang saya
omongkan ini, waktu yang akan mengabarimu akan pralambang burung emas beserta
sangkarnya.”
Saya
tercenung bingung mendengar
penuturan kakek mengenai filosofi burung
emas, dan mengenai sangkar emas yang menjadi rumah bagi burung itu. Apalagi tentang pralambang-pralambang yang sulit untuk
saya mengerti diusia saya yang masih muda. Tapi kata-kata kakek itu seperti
dituliskan begitu saja di lempengan batin saya. Semakin saya memikirkan kata-kata
sang kakek semakin pikiran ini menjadi buntu. Suasana menjadi bisu dan sunyi.
“Guk…guk..guk…aauu, guk…guk!!!”
Entah
berapa lama saya diam merenung, tenggelam dalam telaga keheningan, saya baru kembali
di ruang sadar ketika suara longgongan suara anjing terdengar seram di
pedalaman hutan. Nun jauh di sana, adzan magrib terdengar dari langgar perkampungan.
Saya celingukan ke kiri dan ke kanan, entah
sedang berada di mana, semua gelap, semua lenyap, hanya rerimbunan
ilalang dan sebongkah batu hitam tempat saya duduk bersila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar