Kepada Pemilik Rasa
Oleh : Joyo Juwoto
Pernahkan mencicipi menu lontong gado-gado
yang rasanya nano-nona? atau menikmati semangkok es campur di siang hari yang
panas? jika pembaca bisa menghadirkan kembali citarasa lezatnya menu yang saya
sebutkan di atas, maka saya rasa begitu pula yang akan pembaca rasakan saat
menikmati sajian hati, makanan otak, sebuah buku antologi kembang Aksara, “Kepada
Pemilik Rasa.”
Di sampul belakang buku ini saya
cuplikkan sebuah puisi yang cukup bagus menurut saya, judulnya “Pemilik Rindu”
:
Selamat malam sang perindu
malam terasa membeku
menunggu dalam hati yang bisu
duhai engkau sang pemilik rindu
di manakah kini kau berlabuh
kepada janji aku berteguh
dalam sunyi aku berteduh
sungguh...,
Hanya padamu seorang yang jauh
rinduku tertancap pada hati yang lepuh
Membaca puisi di atas saya ikut
merasakan sebuah rasa yang dikemas dalam bait-bait puisi tadi, diksi dan
rimanya menjelaskan beratnya sebuah kerinduan. “Rindu itu berat. Kamu jangan,
saya saja” begitu dialog di dalam sebuah novel yang ditulis oleh Kang Pidi Baiq.
Buku ini memang tidak ditulis oleh
penulis profesional, buku ini adalah buku perdana yang ditulis secara berjama’ah
oleh santri-santri pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, tapi soal rasa bisa
dicoba. Buku ini berisi gado-gado, ada untaian puisi yang kontemplatif, ada rasa
cinta khas generasi muda-mudi, dan ada pula puisi-puisi kerinduan. Buku ini
juga semangkok cerpen yang dihidangkan dengan penuh semangat dan cinta, juga prosa-prosa,
serta lembaran surat-surat yang ditulis secara apik.
Hari ini mungkin anak-anak muda tidak
merasakan sensasi menulis surat, tidak pernah tahu kode dan gaya menempelkan perangko,
ataupun bersabar menunggu sepucuk surat yang dikirimkan oleh tukang pos kepada
kita. Budaya menulis surat kalah dengan budaya SMS, Chatingan, video call, dan
seabrek fasilitas gadget lainnya. Kemudahan-kemudahan komunikasi modern memang hampir
menggerus habis budaya surat-suratan lewat kantor pos.
Saya secara pribadi terkejut sekaligus
senang dan bangga melihat santri-santri kelas V KMI ASSALAM Bangilan telah
sampai pada tahapan yang bagus di dalam dunia literasi. Menulis. Walau di
pondok tidak ada materi khusus tentang dunia tulis menulis, namun banyak santri
yang memiliki pinter menulis. Saya tidak tahu apa ini yang disebut sebagai ilmu
laduni, sebagaimana khasanah yang lazim disebut di dunia pesantren. barakah.
Jika pemerintah melalui kementerian
pendidikan mencanangkan GLS (Gerakan Literasi Sekolah) dengan membaca 15 menit
sebelum jam pelajaran dimulai, maka santri ASSALAM bukan hanya membaca 15
menit, tapi di setiap menitnya Santri-santri ASSALAM harus membaca. Dan kegiatan
ini sudah dilakukan sejak dalam pikiran menjadi santri ASSALAM. “Nak, Jangan
mengaku menjadi santri ASSALAM kalau belum cinta membaca” begitu dawuhnya Mbah
Yai Abd. Moehaimin Tamam kepada santri-santrinya.
Dengan terbitnya buku antologi kembang
aksara ini perlu kita syukuri dan kita apresiasi, semoga hal ini menjadi
tonggak inspirasi bagi santri-santri yang lain agar cinta membaca, akrab dengan
buku dan akhirnya nanti mampu menulis buku. Sedang yang sudah latihan di
tahapan menulis agar meninggkatkan kemampuan menulisnya sehingga kelak
tulisannya menjadi karya yang baik dan bermanfaat untuk peradaban umat.
Selamat bagi anak-anakku santri-santri
kelas V yang baru saja menuliskan sejarahnya di lembaran-lembaran buku, semoga
mengabadi dan tidak hilang dari lingkaran sejarah. Menulislah “Orang boleh
pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam
amsyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”-Pramoedya
Ananta Toer. Salam Santri Literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar