Jumat, 11 Mei 2018

Aku, FLP, dan Jihad Pena

Aku, FLP, dan Jihad Pena
Oleh : Joyo Juwoto

Nama Forum Lingkar Pena (FLP) sudah saya dengar sejak saya duduk di bangku akhir Madrasah Aliyah, kurun waktu yang sangat lama sekali tentunya jika dihitung dari jarak dan kurun waktu saya resmi masuk menjadi anggota FLP cabang Tuban yang baru dua tahunan. Saya mengenal FLP dari majalah favorit saya jaman itu, Annida. Dari nama dan logonya majalah ini akhwat banget, walau demikian ternyata isinya tidak hanya seputar masalah akhwat, banyak hal menarik yang saat itu saya baca dan saya dapatkan dari majalah yang terbit dari jarak ratusan kilometer dari tempat saya tinggal.

Saya mulai mengenal majalah Annida dari teman-teman yang kuliah di LIPIA Jakarta, waktu itu para mahasiswa LIPIA mengadakan daurah bahasa Arab beberapa minggu di pesantren di mana saya bersekolah. Dari para mahasiswa tersebut awal mula saya mengenal majalah Annida dan mengenal dunia tulis menulis dan dunia pemikiran Islam. Majalah Annida yang waktu itu menarik saya adalah cerita bersambung kalau tidak salah judulnya “Putri Kejawen.” Namun sayang, karena bersambung saya tidak bisa menikmati ceritanya sampai tuntas, karena majalahnya juga tidak komplit ada, jadi ya seadanya saya baca. Di kampung saya yang jauh dari kota, agen majalah Annida tidak ada, majalah lain pun tidak ada, satu-satunya bacaan yang dijual waktu itu hanya koran, itu pun saya tidak berlangganan, hanya membaca sekali waktu kalau menemukan saja.

Dari membaca Annida itulah keinginan saya untuk menulis mulai tumbuh, ya, saya ingin menulis dan dimuat di majalah, begitu keinginan saya waktu itu. Entah karena kemalasan saya, sampai dalam hitungan tahun keinginan untuk menulis sama sekali tidak terealisasikan, alias mandeg total. Saya bingung mau nulis apa, dan bagaimana caranya menulis. Di kampung saya pun tidak ada yang namanya komunitas menulis, maklum, kampung yang jauh dari perkotaan.

Setelah saya lulus sekolah dari sekolah, say tidak melanjutkan kuliah, saya diminta megabdi di pesantren tempat saya menuntut ilmu, praktik saya tidak bisa keluar dari kampung di mana saya tinggal. Di saat mengabdi di pesantren ini keinginan untuk menulis sudah hampir terlupakan, dan akhirnya memang lupa sama sekali. Saya tidak menulis apapun dan saya disibukkan oleh kegiatan di pesantren. Keinginan untuk menulis dan diterbitkan di sebuah majalah sudah tidak menarik bagi saya.

Hari dan bulan, serta tahun terus berjalan. Dengan seiringnya waktu, ada beberapa kakak kelas dan juga adik kelas yang sudah lulus dari Madrasah Aliyah se-almamater melanjutkan studinya ke LIPIA Jakarta. Praktis persinggungan teman-teman saya di sana ikut mempengaruhi keinginan saya mendapatkan majalah Annida. Karena di sana tentu banyak sekali yang jualan majalah kesukaan saya. Wah, kesempatan bisa pesan majalah ini, batin saya. Karena saya masih penasaran dengan “Putri Kejawen.”

Benar, ternyata teman-teman saya yang di Jakarta bisa saya titipi majalah Annida, walaupun edisi majalahnya bukan yang terbaru yang terbit di setiap bulannya. Pokoknya kalau ada majalah Annida saya suruh bawa pulang ketika liburan kampus. Saya mengoleksi banyak sekali majalah ini, namun sayang ketika majalah ini dipinjam oleh teman-teman kesana kemari akhirnya majalah-majalah itu tidak kembali, ada juga yang rusak, dan kebanyakan lenyap entah kemana tak tahu kubur dan rimbanya.

Dari Annida ini akhirnya saya banyak mengenal penulis luar biasa, seperti bunda Helvy Tiana Rosa, bunda Pipiet Senja, bunda Asma Nadia, kemudian saya juga membaca karya-karya dari Habiburrahman El Shirazy, dan penulis-penulis muslim lainnya yang saya sendiri sudah lupa. Seingat saya, saya pernah membaca buku cerpen karya antologi anggota FLP, judulnya Hingga Batu Bicara, dan beberapa buku yang saya lupa judulnya. Selain membaca buku jenis fiksi saya juga mulai membeli buku-buku dengan tema keislaman seperti buku Tarbiyah Dzatiyah, Brotherhood, Pacaran Yang Islami Adakah? dan beberapa buku yang ditulis oleh Ustadz Rahmad Abdullah.

Saya yang memang penyuka fiksi sangat tertarik membaca karya Habiburrahman El Shirazy, buku-bukunya banyak saya beli dan saya baca. Kadang saya membaca novelnya Kang Abik sampai lupa waktu. Berhenti hanya untuk sholat saja, bahkan sampai larut malam hingga menjelang pagi novelnya Kang Abik masih saya baca. Novelnya Kang Abik juga yang paling sering mengaduk emosi dan menguras air mata. Ayat-ayat Cinta, Pudarnya Pesona Cleopatra,  Di atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan beberapa karya Kang Abik lainnya adalah novel yang saya baca sampai khatam.

            Kang Abik effek dengan frasa cintanya ini sangat luar biasa mewarnai jagad pernovelan di Indonesia saat itu, sehingga waktu itu banyak sekali penulis yang menggunakan kata “cinta.” Tidak hanya itu saja, nama “El” juga banyak disematkan di akhir nama penulisnya.

            Dari majalah Annida, novel-novel Islami, dan sumber bacaan-bacaan yang saya dapatkan dari teman-teman di Jakarta membangkitkan kembali niat dan keinginan saya untuk menulis. Namun sayang beribu sayang, karena tidak adanya komunitas dan tidak adanya faktor yang mendukung saya untuk belajar menulis saya tetap saja kesulitan mau menulis apa dan kepada siapa berguru menulis.

            Keresahan saya ini kemudian saya sampaikan kepada salah seorang teman yang ada di Jakarta agar ia kelak kalau pulang bisa mengajari saya untuk menulis dan membuat komunitas menulis. Karena banyak hal dan banyak faktor tetap saja komunitas menulis yang saya impikan tidak terwujud. Apalah daya, keinginan saya hanya tinggal keinginan semata tanpa ada daya kekuatan untuk mewujudkannya. Walau tidak mendapati komunitas menulis dan guru yang mengajari saya menulis, akhirnya saya berlatih menulis secara otodidak. Pokoknya saya harus nulis dan nulis sebisa saya, begitu prinsip saya.

            Tuhan selalu baik kepada hamba-hamba-Nya, termasuk kepada saya tentunya, setelah masa muda saya tidak mampu mewujudkan mimpi saya menulis, eh, di umur saya yang sudah kepala tiga mendekati kepala empat saya dipertemukan dengan komunitas menulis di Facebook, namanya Semut (Sekolah Menulis Tuban). Kemudian saya menginbox admin Semut, saya bertanya tentang pelatihan menulis di Semut itu bagaimana prosesnya dan berbagai pertanyaan lainnya. Ternyata Semut ini adalah sekolah menulis yang digagas oleh teman-teman FLP Tuban.

            Bagai dicinta ulam pun tiba, jika masa lalu saya memimpikan belajar menulis di FLP karena berkenalan lewat majalah Annida dan novel-novel yang ditulis oleh orang-orang FLP, saat itu sekitar tahun 2015 saya resmi menjadi anggota FLP Cabang Tuban. Suatu kebanggaan tentunya menjadi bagian dari dunia literasi di bawah naungan bendera FLP. Saya tersenyum senang dan bahagia.

            Di dua tahun menjadi anggota FLP saya tidak begitu aktif mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh FLP wilayah Jawa Timur, namun kemarin di tahun 2017 saya sempat mengikuti lomba yang diselenggarakan oleh FLP wilayah dalam rangka turnamen antar cabang FLP se-Jawa Timur. Waktu itu saya mewakili cabang Tuban mengikuti lomba penulisan esai. Alhamdulillah mulai dari babak awal hingga baka final tulisan saya masuk nominasi, dan akhirnya menjadi juara satu di lomba penulisan esai tingkat FLP Wilayah Jawa Timur.

            Setelah kegiatan turnamen antar cabang selesai FLP wilayah Jawa Timur mengadakan Muswil yang diselenggarakan di Ngrambe Ngawi. Saya bersama satu teman ikut serta hadir. Senang rasanya bertemu dan berkumpul dengan para anggota FLP yang datang dari berbagai cabang yang ada di Jawa Timur. Banyak hal yang menarik yang saya dapatkan dari kegiatan Muswil yang diadakan dua hari tersebut. Satu hal yang menyentak kesadaran saya adalah bahwa anggota FLP menulis bukan hanya sekedar menulis, ada misi yang ingin disampaikan kepada dunia yaitu jihad bil qolam, jihad pena, untuk mewujudkan kebaikan dan kebermanfaatan bagi peradaban dunia. Hal ini disampaikan oleh salah seorang narasumber yang mengisi di acara muswil tahun 2017 tersebut. Hal ini memang sesuai dengan semboyan  FLP yang selalu berbakti, berkarya, dan berarti untuk mewujudkan literasi yang berkeadaban. Salam Literasi Berkeadaban dari FLP Cabang Tuban.




*Joyo Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Anggota FLP Cabang Tuban. Telah menulis beberapa buku : Jejak Sang Rasul (2016); Secercah Cahaya Hikmah (2016), Dalang Kentrung Terakhir (2017,) Cerita Dari Desa (Proses) dan menulis beberapa buku antologi dengan berbagai komunitas menulis. Penulis dapat dihubungi via email : joyojuwoto@gmail.com atau di 085258611993.



3 komentar:

  1. Barokah tadz, sukses selalu jihad bil qolam-nya..

    BalasHapus
  2. Sukses pak joyo, semangat menulisnya luar biasa

    BalasHapus
  3. Bangga sekali punya ustad penulis

    BalasHapus