Aku, FLP, dan Jihad Pena
Oleh : Joyo Juwoto
Nama
Forum Lingkar Pena (FLP) sudah saya dengar sejak saya duduk di bangku akhir Madrasah
Aliyah, kurun waktu yang sangat lama sekali tentunya jika dihitung dari jarak
dan kurun waktu saya resmi masuk menjadi anggota FLP cabang Tuban yang baru dua
tahunan. Saya mengenal FLP dari majalah favorit saya jaman itu, Annida. Dari
nama dan logonya majalah ini akhwat banget, walau demikian ternyata isinya
tidak hanya seputar masalah akhwat, banyak hal menarik yang saat itu saya baca
dan saya dapatkan dari majalah yang terbit dari jarak ratusan kilometer dari
tempat saya tinggal.
Saya
mulai mengenal majalah Annida dari teman-teman yang kuliah di LIPIA Jakarta,
waktu itu para mahasiswa LIPIA mengadakan daurah bahasa Arab beberapa minggu di
pesantren di mana saya bersekolah. Dari para mahasiswa tersebut awal mula saya
mengenal majalah Annida dan mengenal dunia tulis menulis dan dunia pemikiran
Islam. Majalah Annida yang waktu itu menarik saya adalah cerita bersambung
kalau tidak salah judulnya “Putri Kejawen.” Namun sayang, karena bersambung
saya tidak bisa menikmati ceritanya sampai tuntas, karena majalahnya juga tidak
komplit ada, jadi ya seadanya saya baca. Di kampung saya yang jauh dari kota,
agen majalah Annida tidak ada, majalah lain pun tidak ada, satu-satunya bacaan
yang dijual waktu itu hanya koran, itu pun saya tidak berlangganan, hanya
membaca sekali waktu kalau menemukan saja.
Dari
membaca Annida itulah keinginan saya untuk menulis mulai tumbuh, ya, saya ingin
menulis dan dimuat di majalah, begitu keinginan saya waktu itu. Entah karena
kemalasan saya, sampai dalam hitungan tahun keinginan untuk menulis sama sekali
tidak terealisasikan, alias mandeg total. Saya bingung mau nulis apa, dan
bagaimana caranya menulis. Di kampung saya pun tidak ada yang namanya komunitas
menulis, maklum, kampung yang jauh dari perkotaan.
Setelah
saya lulus sekolah dari sekolah, say tidak melanjutkan kuliah, saya diminta megabdi
di pesantren tempat saya menuntut ilmu, praktik saya tidak bisa keluar dari
kampung di mana saya tinggal. Di saat mengabdi di pesantren ini keinginan untuk
menulis sudah hampir terlupakan, dan akhirnya memang lupa sama sekali. Saya
tidak menulis apapun dan saya disibukkan oleh kegiatan di pesantren. Keinginan
untuk menulis dan diterbitkan di sebuah majalah sudah tidak menarik bagi saya.
Hari
dan bulan, serta tahun terus berjalan. Dengan seiringnya waktu, ada beberapa
kakak kelas dan juga adik kelas yang sudah lulus dari Madrasah Aliyah
se-almamater melanjutkan studinya ke LIPIA Jakarta. Praktis persinggungan
teman-teman saya di sana ikut mempengaruhi keinginan saya mendapatkan majalah
Annida. Karena di sana tentu banyak sekali yang jualan majalah kesukaan saya.
Wah, kesempatan bisa pesan majalah ini, batin saya. Karena saya masih penasaran
dengan “Putri Kejawen.”
Benar,
ternyata teman-teman saya yang di Jakarta bisa saya titipi majalah Annida,
walaupun edisi majalahnya bukan yang terbaru yang terbit di setiap bulannya.
Pokoknya kalau ada majalah Annida saya suruh bawa pulang ketika liburan kampus.
Saya mengoleksi banyak sekali majalah ini, namun sayang ketika majalah ini
dipinjam oleh teman-teman kesana kemari akhirnya majalah-majalah itu tidak
kembali, ada juga yang rusak, dan kebanyakan lenyap entah kemana tak tahu kubur
dan rimbanya.
Dari
Annida ini akhirnya saya banyak mengenal penulis luar biasa, seperti bunda
Helvy Tiana Rosa, bunda Pipiet Senja, bunda Asma Nadia, kemudian saya juga
membaca karya-karya dari Habiburrahman El Shirazy, dan penulis-penulis muslim
lainnya yang saya sendiri sudah lupa. Seingat saya, saya pernah membaca buku
cerpen karya antologi anggota FLP, judulnya Hingga Batu Bicara, dan beberapa
buku yang saya lupa judulnya. Selain membaca buku jenis fiksi saya juga mulai
membeli buku-buku dengan tema keislaman seperti buku Tarbiyah Dzatiyah, Brotherhood,
Pacaran Yang Islami Adakah? dan beberapa buku yang ditulis oleh Ustadz Rahmad
Abdullah.
Saya
yang memang penyuka fiksi sangat tertarik membaca karya Habiburrahman El
Shirazy, buku-bukunya banyak saya beli dan saya baca. Kadang saya membaca
novelnya Kang Abik sampai lupa waktu. Berhenti hanya untuk sholat saja, bahkan
sampai larut malam hingga menjelang pagi novelnya Kang Abik masih saya baca.
Novelnya Kang Abik juga yang paling sering mengaduk emosi dan menguras air
mata. Ayat-ayat Cinta, Pudarnya Pesona Cleopatra, Di atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta
Bertasbih, dan beberapa karya Kang Abik lainnya adalah novel yang saya baca
sampai khatam.
Kang Abik effek dengan frasa
cintanya ini sangat luar biasa mewarnai jagad pernovelan di Indonesia saat itu,
sehingga waktu itu banyak sekali penulis yang menggunakan kata “cinta.” Tidak
hanya itu saja, nama “El” juga banyak disematkan di akhir nama penulisnya.
Dari majalah Annida, novel-novel
Islami, dan sumber bacaan-bacaan yang saya dapatkan dari teman-teman di Jakarta
membangkitkan kembali niat dan keinginan saya untuk menulis. Namun sayang
beribu sayang, karena tidak adanya komunitas dan tidak adanya faktor yang
mendukung saya untuk belajar menulis saya tetap saja kesulitan mau menulis apa
dan kepada siapa berguru menulis.
Keresahan saya ini kemudian saya
sampaikan kepada salah seorang teman yang ada di Jakarta agar ia kelak kalau
pulang bisa mengajari saya untuk menulis dan membuat komunitas menulis. Karena
banyak hal dan banyak faktor tetap saja komunitas menulis yang saya impikan
tidak terwujud. Apalah daya, keinginan saya hanya tinggal keinginan semata
tanpa ada daya kekuatan untuk mewujudkannya. Walau tidak mendapati komunitas
menulis dan guru yang mengajari saya menulis, akhirnya saya berlatih menulis
secara otodidak. Pokoknya saya harus nulis dan nulis sebisa saya, begitu
prinsip saya.
Tuhan selalu baik kepada
hamba-hamba-Nya, termasuk kepada saya tentunya, setelah masa muda saya tidak
mampu mewujudkan mimpi saya menulis, eh, di umur saya yang sudah kepala tiga mendekati
kepala empat saya dipertemukan dengan komunitas menulis di Facebook, namanya
Semut (Sekolah Menulis Tuban). Kemudian saya menginbox admin Semut, saya
bertanya tentang pelatihan menulis di Semut itu bagaimana prosesnya dan
berbagai pertanyaan lainnya. Ternyata Semut ini adalah sekolah menulis yang
digagas oleh teman-teman FLP Tuban.
Bagai dicinta ulam pun tiba, jika
masa lalu saya memimpikan belajar menulis di FLP karena berkenalan lewat
majalah Annida dan novel-novel yang ditulis oleh orang-orang FLP, saat itu
sekitar tahun 2015 saya resmi menjadi anggota FLP Cabang Tuban. Suatu
kebanggaan tentunya menjadi bagian dari dunia literasi di bawah naungan bendera
FLP. Saya tersenyum senang dan bahagia.
Di dua tahun menjadi anggota FLP
saya tidak begitu aktif mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh FLP
wilayah Jawa Timur, namun kemarin di tahun 2017 saya sempat mengikuti lomba
yang diselenggarakan oleh FLP wilayah dalam rangka turnamen antar cabang FLP
se-Jawa Timur. Waktu itu saya mewakili cabang Tuban mengikuti lomba penulisan
esai. Alhamdulillah mulai dari babak awal hingga baka final tulisan saya masuk
nominasi, dan akhirnya menjadi juara satu di lomba penulisan esai tingkat FLP
Wilayah Jawa Timur.
Setelah kegiatan turnamen antar
cabang selesai FLP wilayah Jawa Timur mengadakan Muswil yang diselenggarakan di
Ngrambe Ngawi. Saya bersama satu teman ikut serta hadir. Senang rasanya bertemu
dan berkumpul dengan para anggota FLP yang datang dari berbagai cabang yang ada
di Jawa Timur. Banyak hal yang menarik yang saya dapatkan dari kegiatan Muswil
yang diadakan dua hari tersebut. Satu hal yang menyentak kesadaran saya adalah
bahwa anggota FLP menulis bukan hanya sekedar menulis, ada misi yang ingin
disampaikan kepada dunia yaitu jihad bil qolam, jihad pena, untuk
mewujudkan kebaikan dan kebermanfaatan bagi peradaban dunia. Hal ini
disampaikan oleh salah seorang narasumber yang mengisi di acara muswil tahun
2017 tersebut. Hal ini memang sesuai dengan semboyan FLP yang selalu berbakti, berkarya, dan berarti
untuk mewujudkan literasi yang berkeadaban. Salam Literasi Berkeadaban dari FLP
Cabang Tuban.
*Joyo Juwoto,
Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Anggota FLP Cabang Tuban. Telah
menulis beberapa buku : Jejak Sang Rasul (2016); Secercah Cahaya Hikmah (2016),
Dalang Kentrung Terakhir (2017,) Cerita Dari Desa (Proses) dan menulis beberapa
buku antologi dengan berbagai komunitas menulis. Penulis dapat dihubungi via
email : joyojuwoto@gmail.com atau di 085258611993.
Barokah tadz, sukses selalu jihad bil qolam-nya..
BalasHapusSukses pak joyo, semangat menulisnya luar biasa
BalasHapusBangga sekali punya ustad penulis
BalasHapus