Pak
Soes Sang Rektor
Pak Soes adalah
seorang kakek tua yang membara, berambut putih, kumis dan cambangnya pun sama
putihnya. Umurnya sekitar tujuh puluh sembilan tahunan, namun semangatnya tak
pernah padam. Semangat untuk terus berkarya walau ia harus menempuh jalan
kesunyian. Ia tak memiliki cita-cita dan keinginan yang macam-macam, cukup
menulis, menulis, dan menulis. Tidak lebih dan tidak kurang. Menulis adalah
jiwanya, menulis adalah semangat hidupnya, dan menulis adalah salah satu alasan
ia untuk terus ada.
Soesilo Toer, adik
dari penulis Pramodya Ananta Toer yang juga seorang doktor lulusan Institut
Plekhanov Uni Soviet yang sekarang tinggal di rumah warisan keluarga besar
Mastoer dan mengelola perpustakaan PATABA (Pramodya Ananta Toer Anak Semua
Bangsa) adalah seorang pribadi yang hangat, terbuka, apa adanya, tidak
dibuat-buat dan sangat original. Kemarin saat liburan sekolah saya bersaya
teman-teman menyempatkan diri dolan ke kediaman beliau yang berada di Jalan
Sumbawa No. 40. Karena baru pertama kalinya kami ke PATABA, kami sempat
bertanya-tanya kepada orang-orang yang saya temui. Namun sayang dari beberapa orang yang saya tanya ternyata
tidak kenal yang namanya Soesilo Toer. Padahal menurut perkiraan saya pasti
orang seluruh Blora atau setidaknya masyarakat sekitar alun-alun Blora kenal
dengan yang namanya perpustakaan dan rumah dari keluarga besar Mastoer.
Lha gaung Pram
saja tidak hanya selevel nasional bahkan sudah dikenal dari lima benua masak
tetangganya saja kok tidak kenal. Kayaknya faktor ideologi yang menjadikan Pram
tidak begitu populer di tanah kelahirannya sendiri. Pemerintah daerah
kelihatannya juga tidak memiliki perhatian terhadap apa yang diwariskan oleh
anak biologisnya itu. Namun penilaian saya ini pun hanya sepintas lintas saja,
karena saya di situ juga hanya beberapa jam saja, tentu terlalu dini jika
digunakan sebagai acuan penilaian.
Kembali kepada
Pak Soes panggilan akrab Pak Soesilo Toer, adalah pribadi yang kuat dan tegar.
Beliau juga sosok yang sangat menyenangkan. Di usia yang boleh dikatakan senja
beliau masih sangat giat menulis. Banyak buku yang telah ditulisnya disela-sela
kesibukannya berternak kambing dan mengurusi pekarangan rumah yang digunakan
untuk menghidupi keluarganya. Diantara karya-karya beliau banyak mengulas
mengenai sosok kakaknya semisal buku yang berjudul Pram dari Dalam, Pram dalam
Kelambu, Pram dalam Bubu, Pram dalam Belenggu, dan Pram dalam Tungku. Selain
sibuk menulis dan beternak beliau juga yang mengurusi PATABA. Jika ada pengunjung beliaulah yang menemani
para pengunjung untuk menikmati buku-buku yang ada di perpustkaan itu. Bahkan
kita akan dibuat betah dan senang dengan cerita-cerita beliau tentang Pram,
tentang Indonesia, dan tentang berbagai hal yang sangat menyenangkan.
Pak Soes ibarat
ember kata beliau. Sekali dipukul akan berbunyi berkali-kali. Pak Soes sangat
antusias dan sangat senang sekali jika ada orang yang mengunjungi
perpustakannya. Ini terlihat dari sambutan beliau kepada kami yang sangat luar
biasa. Pancaran wajah beliau sumringah, tawanya renyah, dan senyumnya merekah.
Kami yang baru kenal merasa sudah sangat akrab dengan beliaunya. Seakan-akan
kedatangan kami ibarat kedatangan seorang cucu yang datang bertandang ke rumah
kakeknya. Sungguh-sungguh sangat menyenangkan.
Pak Soes akan
sangat senang menceritakan sejarah-sejarah bangsa kita masa silam. Ada banyak
hal yang beliau ceritakan dan dijamin kita akan dibuat tertawa ngakak, kadang
pula kita akan dibuat terheran-heran dengan cerita beliau yang belum pernah
kita dapati di buku-buku. Dan kadang kita juga akan dibuat terbengong-bengong
dengan pengetahuannya yang lintas negara. maklum selain pernah sebelas tahun di
Rusia beliau juga memiliki referensi buku yang sangat banyak dan beragam jenisnya.
Selain sibuk
menulis Pak Soes ternyata adalah seorang “rektor” dan ini adalah hobi yang dijalaninya semenjak
kecil. Dengan status kerektorannya ini beliau merelakan waktu malamnya untuk
keliling kota Blora mencari sisa-sisa sampah hotel atau restoran untuk di
rektorinya. Korek-korek barang kotor itu adalah salah satu hobi beliau. Hingga
meminjam istilah dari Rene Descartes “egito ergo sum” Saya berfikir maka saya
ada. Sedang Pak Soes bilang “Lelesa Ergo Sum” Saya memulung maka saya ada.
Itulah sedikit kesan yang saya dapatkan dari seorang
Pak Soes yang memiliki ketegaran dan kekuatan untuk memilih jalan kesunyian.
Jalan yang hanya mampu ditempuh oleh orang-orang yang memiliki komitmen dan kebesaran
jiwa. Saya turut mendo’akan semoga beliau diberi kesehatan dan umur yang panjang,
agar salah satu dari cita-cita beliau terkabulkan yaitu mengalahkan kakaknya
Pram dalam umur, walau mungkin itu hanya sehari saja. Sekian. Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar