Bumi
Ibu Pertiwi
Bumi yang
terhampar luas ini, yang terdiri dari gunung-gunung yang menjulang tinggi,
lembah dan ngarai, bentangan padang rumput, hutan-hutan, sungai-sungai, danau,
dan lautan diciptakan oleh Allah SWT dalam rangka untuk mencukupi kebutuhan
manusia. Sebelum Allah menciptakan bapak moyang manusia yaitu Adam, Allah telah
terlebih dahulu menciptakan alam semesta ini.
Dengan segala
rahasia-Nya, Allah Swt menciptakan segala jenis makhluknya di jagad raya dengan
keseimbangan dan berpasang-pasangan. Ada siang ada malam, ada daratan ada
lautan, kiri berpasangan dengan kanan, laki-laki berpasangan dengan perempuan,
begitu juga bumi berpasangan dengan langit. Bahkan yang unik di dalam Al Qur’an
penyebutan pasangan-pasangan tersebut biasanya memiliki jumlah penyebutan yang
sama.
Allah Swt
sebenarnya telah mempersiapkan penciptaan bumi untuk dihuni makhluk-Nya yang
bernama manusia. Manusia diberi tugas menjadi khalifah fil Ardhi, sebagai
pemimpin di muka bumi, agar senantiasa menjaga kelestarian dan kemakmuran bumi,
menjadi rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana gelar yang disematkan oleh Allah Swt
kepada Nabi akhir zaman nabi Muhammad SAW. Walaupun saat itu penciptaan manusia
ditentang oleh golongan malaikat, bahkan ditentang oleh Azazil panglima
besarnya para malaikat yang selalu taat bertasbih
kepada Allah dan berbakti kepada Allah dan selalu menyucikan-Nya. Jadi untuk
apa membuat makluk yang nantinya hanya akan
menjadi sumber kerusakan dan bencana di jagad mayapada.
Diantara
sifatnya Allah adalah Al Ahadu, Maha Tunggal, Maha Perkasa dengan segala
eksistensinya. Allah Swt bergeming dengan protesnya malaikat, Allah ciptakan
manusia Adam dari tanah liat. Kemudian Allah perintahkan malaikat untuk
bersujud kepada Adam. Semua malaikat tunduk dan patuh untuk bersujud kepada Adam
kecuali Azazil tadi. Menurut Azazil tidak layak makhluk yang derajadnya lebih
tinggi dari Adam yang terbuat dari api harus sujud di hadapan Adam yang terbuat
dari tanah liat. Karena kesombongan inilah Azazil diusir oleh Allah dari surga
dan kemudian dikenal dengan nama Iblis.
Setelah iblis
terusir dari surga ia berusaha agar Adam yang saat itu telah ditemani oleh Siti
Hawa agar keduanya merasakan hal yang sama terusir dari surga. Dengan segala
muslihatnya akhirnya iblis berhasil menggoda Adam dan Hawa untuk melanggar
larangan Allah sehingga keduanya terusir dari surga dan menempati alam baru
yang dikenal dengan sebutan bumi.
Di bumi inilah
akhirnya keturunan Adam mendapat amanah agar menjaga harmonisasi dan
keseimbangan bumi. Allah Maha cinta, Maha baik yang mencukupi rizki serta
keseluruhan kebutuhan hamba-hamba-Nya. Di bumi tumbuh berbagai macam tanaman,
berbagai macam satwa baik di daratan maupun di lautan guna dimanfaatkan dan
digunakan untuk mencukupi kebutuhan manusia. Air, mineral, bahan tambang disediakan
baik yang bertebaran di muka bumi maupun yang terpendam di dalamnya, agar
dimanfaatkan dan dipakai untuk menbangun peradapan manusia di muka bumi.
Sungguh Allah Maha Rohman dan Maha Rohim kepada seluruh makhluk-Nya.
Di dalam Al
Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menyebut mengenai bumi. Tentang proses
penciptaannya, tentang berapa lama bumi diciptakan Tuhan, hingga tentang
tanggung jawab manusia akan bumi dengan segala isinya. Dan penyebutan bumi
dalam Al Qur’an hampir selalu diikuti penyebutan langit sebagai pasangannya.
Menurut ma’rifat Jawa bumi diibaratkan sebagai Ibu sedang langit adalah bapa.
Sering kita dengar istilah “Ibu bumi bapa angkasa”. Pengistilahan ini
bukan tanpa alasan, karena memang bumi dianggap mewakili sifat ibu, sedang
langit mewakili sifat bapa atau ayah.
Bumi mengasuh
segala kehidupan yang terbentang di atasnya, ia tidak membeda-bedakan semua
diasuh dengan sepenuh jiwa dengan penuh cinta dan kelapangan jiwa. Bumi
memberikan tempat tinggal bagi seluruh makhluk hidup baik manusia, hewan, dan
tumbuhan. Bumi memberikan airnya, memberikan sari-sari hidupnya untuk seluruh
makhluk. Tumbuhan menyerap sari bumi melalui akarnya, hewan memakan
tumbuh-tumbuhan, manusia memakan hewan dan tumbuhan yang juga berasal dari sari
bumi.
Bumi mewakili
sifat rendah hati dan penuh pengorbanan tanpa batas. Oleh karena itu di mana
bumi kita pijak di situ kita harus membaktikan diri kita untuk Ibu bumi atau ibu pertiwi kita. Karena jiwa dan
ruh bumi berada dalam badan kita. Dalam falsafah Jawa disebutkan :
“Manungsa iku
asala sokolemah, mangan soko hasile lemah, ngadeg nang nduwur lemah, lan bakal
bali nang lemah, mulo ojo podho duweni sifat langit.”
Artinya :
“Manusia itu berasal dari tanah, makan dari hasil tanah, bertempat tinggal juga
di tanah, dan akhirnya ketika mati juga kembali ke tanah, maka jangan sampai
memiliki sifat langit.”
Yang dimaksud
sifat langit di sini adalah sifat tinggi, sifat gumedhe (merasa mulia) dan juga
bersifat sombong. Karena pada dasarnya itu bukanlah unsur pembentuk manusia.
Manusia harus ingat bahwa ia berasal dari tanah, dan akan kembali ke tanah.
Sifat tinggi juga merupakan sifat Allah, maka jangan sampai dikenakan oleh
seorang hamba. Ingatlah sebuah kisah pengusiran Azazil dari surga juga karena
kesombongan. Bukan berarti ketika kita berasal dari tanah tidak bisa memiliki
kemuliaan dan derajad yang tinggi. Manusia sekalipun berasal dari tanah juga
bisa mencapai maqam yang luhur dan tinggi. Cara untuk menjangkau langit bukan
dengan kita mendongak-dongakkan kepala untuk mencapai singgahsana langit.
Ketika manusia ingin mencapai maqam langit justru ia harus merendahkan
kepalanya serendah-rendahnya dengan cara bersujud di atas bumi. Dengan
memperbanyak sujud di bumi itulah Allah akan melangitkan diri manusia.
Kelihatannya paradok namun begitulah cara Allah meningkatkan derajad hamba-Nya.
Oleh karena itu
dalam budaya kejawen untuk menghormati ibu bumi masyarakat Jawa mengadakan
upacara yang dikenal dengan berbagai istilah seperti Nyadran, Manganan, Bersih
Desa, Sedekah Bumi dan lain sebagainya. Jika kita mengarifi wisdom lokal budaya
tersebut sebenarnya praktek-praktek budaya itu adalah bentuk syukur dan wujud
terima kasihnya manusia kepada Sang Pencipta. Mereka merasa bersyukur telah
diperkenankan tinggal di bumi yang mereka tempati, mereka merasa berhutang budi
kepada tanah yang mereka pijak. Hanya kadang-kadang praktek sedemikian itu kita
sikapi dengan penuh penghakiman. Kita membutuhkan teladan dan sikap ibu asal
kita ibu bumi yang mengasuh kita dengan keikhlasan dan kemurnian cinta.
Dengan
penciptaan bumi dengan segala watak dan karakternya ini Allah ingin menta’dib
kita agar kita jangan lupa dari mana kita berasal, apa yang kita makan dan
minum, serta ke mana akhir dari kehidupan ini. Sebagaimana hukum asal kejadian
bahwa yang dari tanah akan kembali ke tanah, yang dari air akan kembali ke air,
yang dari api akan kembali menjadi api, yang dari udara akan kembali menjadi
udara. Manusia sejati adalah manusia yang mengerti dari mana dulu ia berasal
dan kemana akhir tujuannya, orang Jawa bilang mengerti sangkan paraning
dumadi.
“Ibu bumi, bapa angkasa Ingsun Sujud marang Gusti Kang
Murbeng Dumadi.” Joyojuwoto
Izin share mas.e
BalasHapus