Wujil
Pic : khilafi.wordpress.com |
Dikisahkan pada suatu hari Sunan Mbonang didatangi seorang
yang bertubuh kerdil namanya Wujil. Ia awalnya adalah abdi dalem keraton
Majapahit, setelah agama Islam mulai masuk tanah Jawa ia ingin berguru kepada
Sunan Mbonang yang konon memiliki kemampuan lebih dibanding manusia kebanyakan.
Walau di istana keraton Majapahit Wujil dimuliakan serta mendapat kehormatan
sebagai aji-ajining keraton, namun hatinya gundah. Dahaga jiwanya menuntunnya
untuk mencari-cari jawaban tentang apa yang menjadikan hatinya gelisah.
Wujil yang awalnya adalah penganut agama Syiwabodja selalu
merasakan kekeringan nurani, tentang tata cara peribadatan dan penyembahan
kepada Tuhan. Ia selalu bertanya-tanya dan tidak mendapatkan jawaban apapun
yang memuaskan dahaga batinnya. Selama ini di dalam agama yang dipeluknya ia
hanya mendapat jawaban bahwa peribadatan dan penyembahan kepada Tuhan harus
sesuai dengan adat-istiadat yang telah diajarkan oleh nenek moyang tanpa dasar
yang otentik.
Mendengar akan datangnya agama baru, agama yang datang dari negeri
Arab yang dibawa oleh para Sunan, Wujil kemudian keluar dari lingkungan keraton
ia pergi melanglang buana, njajah
desa milang kori mencari guru
yang bisa menuntaskan dahaga ruhiyahnya. Hingga sampailah Wujil di tlatah
kadipaten Tuban, tempat di mana ia ingin berguru kepada Sunan Bonang.
Di siang yang terik saat matahari tepat berada di garis langit
tengah, Wujil yang berjalan di jalanan setapak merasa bahwa perjalanannya
hampir sampai tujuan. Di kiri-kanan jalan tampak pohon-pohon Tal
berdiri tegak memayungi dirinya dari cahaya matahari yang sedang pada titik
panasnya. Dilihatnya sebuah gubuk di tegalan, karena merasa haus dan kelelahan
Wujil berniat meminta tumpangan istirahat barang sejenak, untuk melepas lelah
dan penatnya perjalanan yang ditempuhnya.
“Kulo Nuwun kisanak, bolehkah saya singgah di sini barang sebentar
? tanya Wujil kepada seorang petani yang sedang beristirahat di gubuknya.
“Monggo-monggo,
silahkan mampir. Kisanak kelihatannya dari jauh bukan orang Tuban sini ? jawab
sang petani dengan ramah.
“Benar kisanak, saya datang dari jauh, dari kota raja Majapahit,
nama saya Wujil” jawab Wujil sambil memperkenalkan diri.
“Bolehkah saya meminta barang seteguk air untuk membasahi dahaga
saya kisanak ? pinta Wujil
Petani itu kemudian mengambilkan bumbung di pojok gubuk, kemudian
menyodorkan centak, gelas yang terbuat dari bambu, ia tuangkan minuman ke dalam
centak itu lalu ia sodorkan kepada Wujil. “Silahkan diminum kisanak”.
Wujil pun menerima centak itu kemudian mereguknya. Minuman yang
diberikan petani Tuban itu terasa segar membasahi kerongkongannya. Tak
berselang lama minuman itu habis ditenggaknya. “Terima kasih kisanak, itu tadi
minuman apa, kok segar sekali” tanya Wujil.
“Namanya legen kisanak, minuman itu dari hasil derasan pohon-pohon
Tal yang banyak tumbuh di tegalan ini, aku sendiri yang menderas dan
mengambilnya langsung dari pohon” kata petani sambil menunjuk pohon tal yang
berada di depannya.
Setelah menghabiskan secentak legen, Wujil mengucapkan terima
kasih kepada petani yang baik itu, kemudian ia berpamitan dan melanjutkan
perjalanannya ke pesantren Sunan MBonang. Menurut perkiraannya sebelum matahari
tenggelam ia tentu sudah sampai di tempat tujuan. Wujil terus berjalan ke arah
barat mengikuti arah matahari tenggelam.
Senja mulai bersolek, temaram jingga di ufuk barat tampak indah
mempesona, angin sore bertiup sepoi-sepoi membawa aroma air laut. Debur ombak
terdengar perlahan, cericit camar bersahutan dari atas langit yang mulai gelap.
Sayup-sayup dari arah dermaga Tuban terdengar senandung tembang-tembangan yang
dinyanyikan dengan nada-nada kekhusyuan.
Tombo ati iku lima sak wernane
Kaping pisan moco Qur'an sak maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat weteng iro ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Insyaallah Gusti Allah nyembadani
Wujil merasa
lega karena ia telah sampai di pesantrennya Sunan Mbonang, dengan bergegas
Wujil melangkah menuju tempat yang mirip dengan sanggar pamujaan. Di dalam
bangunan itu tampak orang-orang sama berkumpul dengan berjajar rapi dan duduk
bersila menghadap barat. Setelah agak dekat, Wujil tampak ragu dan bingung
dengann apa yang akan dilakukannya. Namun hal itu tak berlangsung lama, ada
seorang yang menghampirinya dan menyalaminya dengan sopan.
“Owh ada tamu
dari jauh nampaknya, silahkan-silahkan, monggo saya antar saudara ke
gothakan tamu.” Sapa salah seorang dengan ramah.
“Terima kasih
Kisanak” Jawab Wujil
Sesampai di
gothakan tamu Wujil disuruh menunggu hingga nanti Sunan Mbonang selesai
mengerjakan sholat magrib. Wujil hanya menurut, ia duduk bersila di sebuah
ruangan yang tidak begitu lebar, namun bersih dan harum bau gaharu
memenuhi ruangan itu. Sambil menunggu seperti apa yang diberitahukan oleh salah
orang yang menemuinya tadi, Wujil bersemadi, mengosongkan hati dan pikiran
berkontemplasi menuju kepada Sang Hyang Suci.
Hati wujil
terasa tenang apa yang menjadi impiannya untuk berguru kepada salah satu
begawan di tanah Jawa sebentar lagi kesampaian, suara tembang-tembangan yang
tadi didengarnya mulai menghilang berganti kesunyian. Senyap, kosong dan seakan
alam berhenti berputar. Wujil merasakan energi kema’rifatan melingkupi diri dan
alam di sekitarnya. Seakan pintu-pintu langit terbuka dan rahasia-rahasia
keTuhanan terbabarkan.
“Wujil untuk apa
engkau kemari Ngger ?” bukankah kau telah banyak menikmati indahnya kehidupan
istana ?, hidupmu telah bergelimang gemerlapnya kesenangan yang tidak semua
orang mendapatkannya bukan ?” Sapa seorang kakek tua berjubah putih yang
tiba-tiba telah duduk di depannya.
“Ampun Kanjeng
Sunan, hamba datang jauh-jauh dari Majapahit, ingin mengerti dan memahami
kesejatian hidup dan kebahagiaan yang sejati, bukan kebahagiaan yang hanya
tertumpu pada hal-hal materi belaka, hamba juga ingin mengerti dengan
sedalam-dalamnya tentang rahasia ajaran-ajaran yang Kanjeng Sunan bawa.”
“Wujil terlalu
jauh apa yang engkau angan-angankan Ngger !, engkau jangan pernah berfikir akan
menemukan kesejatian itu di sini atau di manapun, engkau tak perlu jauh-jauh
dan ke sana-kemari mencari kesejatian, karena pada dasarnya kesejatian itu ada
pada dirimu sendiri. MAN “AFARA NAFSAHU FAQODA “ARAFA RABBAHU, barang siapa
mengenal kesejatian dirinya, maka ia telah mengenal kesejatian Tuhannya.
Manusia sejati
adalah manusia yang kenal diri dan kenal Tuhan, mengenali diri dengan cara
dzikrullah, mengenal Tuhan dengan selalu bersembahyang sepanjang waktu atau
shalat daim namanya. Tetapi Wujil ingatlah jangan pernah menyembah tetapi tidak
mengetahui siapa yang engkau sembah. Tapi jangan pula kau sembah apa-apa yang
terlihat.
Sholat Isya,
Shubuh, dan sholat-sholat lainnya bukanlah sholat yang sebenarnya itu hanya
sekedar bunganya sholat, hanya sekedar rangkaian sholat syariat. Sedang sholat
yang sebenarnya adalah sholat daim tadi, yaitu sholat yang tanpa perlu hitungan
rakaat, tanpa rukuk, dan tanpa sujud. Namun demikian jangan pernah meninggalkan
sholat syariat Wujil karena itu telah menjadi ketetapan Gusti Allah di dalam
firman-Nya.
Wujil hanya diam
merenungi setiap kata dan ucapan dari Kanjeng Sunan. Dia berfikir disetiap
untaian kata sang Sunan yang penuh hikmah. Wujil berusaha mencerna setiap
wejangan Kanjeng Sunan dengan kemurnian dan kesunyian jiwanya, hingga terbuka
rahasia langit Ketuhanan yang selama ini terhijab dari batinnya.
“Kanjeng Sunan
lalu ketika kita menjalankan sholat kepada siapa sholat itu kita persembahkan
?” sedang saya sendiri tidak tahu di mana Tuhan sesembahan saya itu ? Tanya
Wujil kemudian.
Kanjeng Sunan
pun berdiri dengan tersenyum ia mengelus-elus rambut Wujil, kemudian berjalan
mengitari Wujil yang duduk bersila di hadapannya. “Dengarkan Ngger !
Gusti Kanjeng Rosul telah memberitahukan dalam Sabdanya bahwa ketika kita
beribadah sholat kepada Allah, hendaknya kita dalam keadaan melihat-Nya, dan
jika kita tidak melihat-Nya hendaknya kita berkeyakinan bahwa Gusti Allah itu
sedang melihat kita.”
“Dan perlu kau
ketahui Wujil agar sholatmu sempurna dalam menyembah Allah, maka
fahamilah hakekat sholat itu sendiri.”
“Lalu apa
sebenarnya hakekat sholat itu kanjeng Sunan ?”
“Ingat-ingatlah
Wujil, hakekat sholat itu empat perkara, yaitu Berdiri, Ruku’, Sujud, dan Duduk.
“Berdiri adalah
lambang dari huruf Alif, ruku’ perlambang dari huruf Lam awal, sujud adalah
perlambang dari huruf Lam akhir, sedang duduk dalam tahiyyat adalah perlambang
dari huruf Ha. Jika digabungkan huruf-huruf tadi membentuk kata Allah. Jadi
pada hakekat sholat adalah cara hamba untuk bertemu langsung dengan Allah tanpa
hijab. Sebagaimana dalam sabda Kanjeng Nabi bahwa sholat adalah mi’rajnya orang
mu’min. ASSHOLAATU MI’RAAJUL MU’MIN.”
Wujil terdiam
makin dalam, meresapi seluruh wejangan dari Kanjeng Sunan, ia seakan terlempar
ke dalam luasnya samudra ma’rifat, jiwanya menjadi tenang, hijab-hijab batinnya
tersingkap, pendar-pendar cahaya rahmat Tuhan menyirami kegersangan jiwanya,
dan dahaga ruhaniyahnya pun terpuaskan sudah. Wujil pun tenggelam dalam
samudra ma’rifat, samudra penghambaan kepada Dzat Tuhan yang Maha Tunggal.
Wujil tersentak
dari duduknya, mesin waktu seakan berhenti, entah berapa lama Wujil berada di
ruangan itu. Kemudian ia membuka matanya, dari arah pintu ruangan muncullah
sosok kakek tua berjubah putih menghampirinya, Wujil seolah telah mengenali
orang tua itu. Kemudian ia melangkah dan menghaturkan sembah kepada sang kakek.
“Selamat datang
Wujil, semoga engkau betah nyantri di sini.” Kata sang kakek berjubah putih
yang langsung menjawab pertanyaan yang belum sempat diajukan olehnya. Joyojuwoto,
Karna pada dasarnya agama yg baik itu membuat kita menjadi lwbih baik, bukan buruk...
BalasHapusDibalik cerita wujil ini misalnya, kisah sunan bonang yg orang jarang tau :)