Mewariskan
Wisdom Lokal di Era Modernitas Zaman
Sumber : Infoblora.com |
Keragaman budaya
di bentangan bumi Nusantara kita ini merupakan warisan budaya leluhur yang
perlu kita lestarikan dan layak untuk kita abadikan. Sekecil apapun
mutiara-mutiara kebudayaan yang ada di tengah masyarakat perlu mendapatkan
perhatian yang serius khususnya di kalangan generasi muda sebagai penerus peradapan
bangsa agar kelak tidak kehilangan jatidiri.
Di lingkungan
sekitar kita mungkin masih banyak kearifan lokal yang luput dari perhatian
kita, baik itu berupa pamali, cerita-cerita, legenda, permainan tradisional dan
lain sebagainya. Ini menjadi tugas kita semua untuk menyelamatkan dan
mewariskan kembali wisdom lokal itu kepada generasi sesudah kita. Jangan sampai
terjadi lost civilisation sehingga anak cucu kita tidak mengenali budayanya
sendiri.
Salah satu cara
yang dapat kita lakukan untuk melindungi dan mengkonservasi nilai-nilai budaya
adalah dengan menggiatkan budaya literasi di tengah-tengah masyarakat khususnya
kaum terpelajar guna mengikat makna dan mengabadikan khasanah kebudayaan
bangsa. Cara lain yang lebih efektif adalah dengan membuat desa budaya pada
masing-masing daerah yang menjadi pusat dari kebudayaan itu. Namun cara kedua
ini saya agak pesimis karena ini tentu melibatkan banyak komponen khususnya
peran langsung yang berkesinambunan dan
terarah dari banyak pihak khususnya pemerintah daerah tentunya.
Contoh
kongkritnya semisal di daerah pegunungan Kendeng yang meliputi
Tuban-Bojonegoro, dan Blora dulu kita mengenal peradapan Samin yang dipelopori
oleh Eyang Samin Surosentiko. Sebuah kelompok masyarakat yang berusaha
mempertahankan nilai-nilai agung warisan nenek moyang di Kab. Blora.
Untuk melindungi
dan melestarikan ajaran Saminisme ini pemerintah perlu menetapkan satu wilayah
sebagai laboratorium budaya dari masyarakat Samin. Semisal Perkampungan Karang
Pace di Blora, di mana adat dan budaya masyarakat Sedulur Tunggal Sikep ini
dilestarikan oleh para penganutnya. Pemegang kebijakan di wilayah yang dihuni
oleh masyarakat Samin tentu dituntut untuk memahami karakter dan budaya
masyarakat sehingga dalam mengambil kebijakan tidak berseberangan dengan nilai-nilai
lokal masyarakat.
Bukan berarti
dengan membangun laboratorium budaya di suatu wilayah menjadikan masyarakat
stagnan dan anti kemajuan. Masyarakat budaya harus tetap ditransformasikan
menjadi masyarakat yang modern tanpa kehilangan jatidirinya. Ini menjadi tugas
besar bagi para pemikir dan para ilmuan untuk mengawinkan dua variabel yang
kelihatannya saling berlawanan. Antara masyarakat budaya yang dianggap udik
dengan masyarakat yang telah disentuh oleh warna modernitas zaman.
Kasus penolakan
pembangunan pabrik semen di Pati dan Rembang menjadi bukti yang tidak
terbantahkan bahwa pemerintah tidak peka dan kurang memahami sosiokultural yang ada di tengah-tengah
masyarakat.
Kadang kebijakan
pemerintah memang bukan terlahir dari rahim kerakyatan, namun lebih mengikuti
selera kaum borju sehingga mengabaikan nilai-nilai kerakyaatan itu sendiri.
Tidak aneh memang kebijakannya jauh dari akar rumput dan bumi di mana dipijak.
Padahal jika pemerintah memahami potensi kearifan lokal suatu masyarakat tentu
pemerintah lebih arif dan bijaksana
dalam mengatur, mengelola, dan membuat kebijaksanaan yang menyangkut hajat
kerakyatan.
Kita berharap
wisdom lokal masyarakat di manapun berada di bumi Nusantara ini mendapat
perhatian dari pemerintah dan masyarakat penyangga kebudayaan itu sendiri, sehingga
kelak mata rantai kebudayaan bangsa tidak terputus dan dapat kita wariskan
kepada generasi selanjutnya. Karena pada dasarnya eksistensi dan kebesaran
suatu bangsa bersumber dan berpijak pada nilai-nilai lokalitas kemasyarakatan
itu. Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar