Santri Kreweng
Syahdan di
sebuah pesantren di pelosok desa Bangilan, hiduplah santri-santri di lingkungan
pesantren nan asri. Pohon-pohon kelapa melambai-lambai, matahari sore terasa
ramah menyapa, desir angin turut serta menyegarkan suasana senja.
Di pojok belakang
gotha’an pesantren, tampak seorang santri sedang mengaduk-aduk panci di atas
tungku yang menyala-nyala. Dul, santri baru sore itu mendapat giliran memasak
nasi liwet untuk teman-teman gotha’annya. Di dekatnya Mad sibuk memarut kelapa
yang akan dibuat sambel kreweng.
Sambel kreweng
adalah paduan dari parutan kelapa yang dicampur dengan sambel pada umumnya,
sambel itu tidak digoreng memakai minyak tetapi cukup dengan membakar pecahan
genting (kreweng) hingga membara. Setelah itu kreweng dibaurkan dengan parutan
kelapa tadi. Rasanya nyam...nyam... boleh dicoba.
“Sebentar lagi
adzan magrib Dul”
Kata Mad kepada Dul yang sedang asyik mengaduk-aduk masakannya.
“Iya Mad, ayo kita
segera mandi, nanti terlambat jamaah lho !” Jawab Dul.
Mereka berdua
bergegas menuju sungai tempat mandi para santri putra. Di sana telah ada
beberapa santri lain yang lebih dulu mandi. Ada juga yang hanya mengambil air
wudlu atau sekedar ngobrol di tepi sungai dengan santri-santri lainnya sambil
menunggu bedug magrib tiba.
Sungai yang berada
di sisi barat pesantren itu jerih, walau tidak terlalu lebar dan dalam sungai
itu mengalir sepanjang waktu. Apalagi dimusim penghujan. Jika kemarau datang
air sungai sedikit surut, namun kedungnya masih menyimpan cadangan air yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan santri untuk mandi dan mencuci.
Dul adalah
santri baru di pesantren itu. Ia datang dari kota. Kedua orang tuanya
mengirimkannya ke pesantren agar Dul bisa berlatih hidup sederhana, apa adanya,
dan jauh dari kedua orang tuanya, sehingga membentuk watak dan karakter yang
mandiri tanpa tergantung dengan kedua orang tuanya, walau tentu tiap bulan Dul
masih mendapat kiriman uang dari orang tuanya guna memenuhi kebutuhannya
sehari-hari.
Di rumah Dul
adalah anak yang manja, semua serba mudah, fasilitas lengkap, mulai dari kamar
mandi yang bagus, kamar tidur yang be AC, ada televisi, bantal, guling dan kasur
yang empuk, makan yang serba enak dan lain sebagainya. Tak perlu mencuci baju,
tak perlu bersih-bersih kamar mandi, tempat tidur karena itu sudah dikerjakan
oleh ibunya.
Tentu kondisi itu
sangat kontras dengan kehidupan santri di pesantren. Santri hidup dengan sederhana,
menempati gotha’an yang apa adanya, tidur beralaskan tikar atau bahkan tidur di
lantai, mandinya di kali, mencuci baju sendiri, bersih-bersih kamar sendiri, belum
seabrek kegiatan yang meemras keringat dan otak. Namun begitulah pesantren
mengajarkan kemandirian kepada anak didiknya. Karena alasan-alasan itulah Dul
dikirim oleh kedua orang tuanya yang sadar akan pendidikan anak.
Sedang Mad
adalah anak kampung dekat pesantren. Ia di pondokkan karena sudah menjadi
tradisi dalam keluarganya bahwa anak laki-laki yang sudah menginjak akil baligh
harus mondok. Atau setidaknya dikirim ke surau untuk belajar mengaji. Walau Dul
dan Mad baru bertemu namun mereka telah akrab kayak saudara layaknya.
Dul dan Mad
masih menikmati kesegaran air sungai, mereka bergabung dengan santri-santri
lain bergurau di sungai, bermain semprot-semptotan air, menyelam, berenang dan
lain sebagainya. Untung sungainya tidak dalam sehingga santri yang tidak bisa
berenang macam Dul bisa ikut mandi tanpa harus khawatir tenggelam.
Lamat-lamat
dari arah pesantren adzan magrib berkumandang. Santri-santri yang mandi
bergegas meninggalkan sungai yang tidak seberapa jauh dari pesantren. Begitu juga
dengan Dul dan Mad.
“Mad ayo
buruan, adzan magrib telah dikumandangkan” teriak Dul dari
pinggir sungai.
Setelah
mengambil air wudlu, mereka berdua segera menuju gotha’an, berganti pakaian ala
santri. Sarungan, memakai kemeja dan berpeci. Setelah itu mereka menuju mushola
pesantren untuk menunaikan ibadah sholat magrib.
Di mushola
telah banyak santri yang sama duduk berbaris rapi membentuk shof-shof menghadap
kiblat. Mereka dengan khusu’ melantunkan puji-pujian kepada Tuhan. Syair Abu Nawas
yang sering dipakai untuk pujian di mushola itu. Seperti paduan suara yang
menggetarkan dinding-dinding pesantren, hingga menembus langit-langit di
sidrotul muntaha. Lembut, syahdu, dan menggetarkan jiwa siapa saja yang
mendengarkannya.
Ilahi lastu lilfirdausi ahla
Walaa aqwa ‘ala naaril jahiimi
Fahabli taubataan wagfir dzunubi
Fainaka ghafirudz dzanbil azhimi
Dzunubi mitslu a’daadir rimali
Fahabli taubata ya dzal jalaali
Wa ‘umri naqishu fi kulli yaumi
Wa dzanbi zaaidun kaifa –htimali
Ilahi ‘abdukal ‘aashi ataaka
Muqirran bi dzunubi wa qa da’aaka
Fain taghfir fa anta lidzaka ahlun
Wa in tadrud faman narju siwaaka
Walau belum begitu hafal dengan syair-syair pujian itu, namun tetap saja Dul bergetar hatinya. Ia sendiri tidak tahu entah karena apa. Sedang Mad yang sudah terbiasa melafalkan pujian itu tampak begitu khusu’ menikmati dan meresapi makna-makna yang terkandung dalam setiap bait-bait syair Abu Nawas itu.
Setelah
menuaikan sholat magrib Dul dan Mad bersama-sama santri lainnya tadarus Al Qur’an.
Para santri dibagi menjadi beberapa kelompok menurut kemampuannya membaca
huruf-huruf hijaiyyah.
Setelah
bertadarus Al Qur’an para santri bergegas meninggalkan mushola menuju gotha’an.
Dul mencari Mad yang sudah selesai dan menunggunya di luar mushola. Ini adalah
saat yang ditunggu oleh para santri. Selesai tadarus mereka akan menikmati
makan malam yang mereka masak sendiri. Begitu juga Dul dan Mad, mereka berdua
segera kembali ke gotha’an dan mempersiapkan pesta makan malam.
Selembar
daun pisang yang diambil dari belakang pesantren telah digelar. Nasi liwet yang
mereka masak tadi sore dihidangkan dengan lauk sambel kreweng. Dul dan Mad
serta beberapa santri lainnya segera mengerubuti jamuan makan malam. Mereka makan
dengan lahap, dan wajah-wajah polos para santri itu tampak puas menikmati pesta
ala santri. Joyojuwoto.
Bagus tadz.. matoh !
BalasHapuslatihan Nda :)
HapusAh jadi inget pondok nurul jadid merakurak :-D walaupun cuma mukim pas romadhon doang, tapi berasa banget serunya nyantren... Ojo lali terong bakare kang.
BalasHapushehe...Santri Terong gosong, mantep Kang Rudi, web njenengan jos Kang http://www.kangrudi.com/
BalasHapus