Memodusi Tuhan
Siang yang
garang, matahari membara membakar apa saja. Daun-daun jati belumlah bersemi dan
musim ungker yang menjadi semacam pesta tahunan di bulan November yang ada di
kampung saya masih tampak sepi. November rain menjadi semacam hantu candik kala
yang tak pernah datang guna menakuti anak-anak jelang senja. Hujan yang
dirindukan banyak orang datang terlambat, hanya kadang sedikit rintik-rintik
sempat menyapa, udan uyoh wewe kata tetangga-tetangga desa saya.
Di sebuah warung
kopi dipinggir jalan, di pinggirnya tumbuh pohon yang rindang. Sebatang pohon
asem rimbun peninggalan zaman Belanda
menaungi sebuah warung bambu yang telah renta. Orang-orang tampak asyik
mengobrol ngalor-ngidul. Menghabiskan siang yang panas dengan secangkir kopi
dan cemilan.
Di depan warung
terdapat dingklik-dingklik bambu yang kusam, di salah satu saya dan Parmin
duduk nyangkruk di atasnya sambil gayeng menyeruput kopi yang masih panas
mengepul.
“Kang, apa
ini salah mongso ya, sampai hari ini hujannya kok tak kunjung tiba” Tanya Parmin
kepada saya saat kami ngobrol di dingklik
warung kopi di bawah pohon asem.
“Mbuh ya Min,
Biasanya dibulan seperti ini sudah musim hujan, Tak tahu kenapa tahun ini kok
tidak seperti biasanya. Panasnya ini lho seperti neraka bocor saja” jawab
saya sekenanya.
“Apa Tuhan
marah ya sama manusia, sekarang kan orang sama berlomba menumpuk dosa. Mumpung
masih muda katanya” Tebak Parmin berusaha mengurai rahasia Tuhan.
“Katanya sih,
mumpung masih muda hidup dipakai foya-foya, nanti dewasa menjadi kaya-raya,
baru deh saat umur menjelang senja bertobat dan akhirnya masuk surga”
begitu kata Parmin melanjutkan celotehnya.
Saya yang saat
itu sedang menyeruput secangkir kopi kotok yang ada di meja warung hanya diam.
Sensasi kopi yang wangi saya hirup dalam-dalam. Kelembutan dan kehangatan
kopinya mengingatkanku tentang sebuah buku kecil yang pernah saya baca
“Filosofi Kopi”karya Dee. Yah ! memang sebenarnya saya lebih mencintai romantisme
minum kopi dari segi filosofinya, saya lebih berasa mencecap makna-makna
simbolis dari sebuah aktifitas minum kopi dibanding minum dzatnya kopi itu
sendiri. Walau begitu saya masih sadar antara yang saya minum kopi beneran atau
sekedar memuaskan hayalan.
“Memang Kang Dunyo wis tuwo,
aneh-aneh saja tingkah orang sekarang” sahut saya.
“Lha iya, sekarang orang
nglakuin dosa tu terang-terangan dan bangga, katanya sich cari yang haram saja
susah, apalagi yang halal. Itu kan namanya kan membanggakan dosa kang.”
“Terang saja Tuhan murka,
hujan gk turun-turun.” Lanjut Parmin penuh move on.
“Ya gak tahu
Min, itu suka-suka Tuhan, mau marah atau tidak, mau menurunkan hujan atau
tetap kemarau ya hak-hak Tuhan Kang” sahut saya.
Parmin tampak
diam, tidak tahu apa dia sedang ia pikirkan. Merenungi kata-kata saya atau
sedang merangkai kata untuk membalas ucapan saya. Sesekali ia menyedot kretek
yang terselip diantara jari telunjuk dan jari tengahnya. Khusu’ dan sangat
tuma’ninah sekali. Parmin dengan penuh penghayatan meniupkan asap-asapnya ke
udara, wushh... asap-asap itu membentuk gambar-gambar imaji tidak jelas. Saya
yang memang tidak merokok hanya menikmati gelas kopi yang hampir habis dan nglethik
beberapa butir kacang goreng yang ada dipiring di meja warung.
“Ya memang bener
Kang itu hak Tuhan, Qudrate Pengeran. Tapi kan Tuhan sudah menyerahkan semua
ini pada mekanisme alam. Hukum Sunnatullah katanya” Sergah Parmin.
Lha itu kamu
tahu Min, manusia hanyalah hamba. Sakdermo nglakoni, tidak punya wewenang
merintah Tuhan, Tuhan kok diperintah. Mau hujan di musim kemarau mau panas di
musim hujan ya terserah yang di atas Min”
“Kalau mau
berdo’a ya berdo’a aja, tidak usah pakai gaya memerintah. Hehe... Sambung
saya.
“Iya Kang,
namun sekarang itu manusia itu banyak modusnya. Jangankan sesama manusia, Tuhan
saja dimodusi..hehe.” kekeh Parmin seperti tertawa dengan dirinya sediri.
“Lha emang
kenapa Min, kok modus segala ?” tanya saya sambil menyeruput kopi yang
penghabisan.
“Lha gimana gak
modus, antara kebaikan dan perbuatan jahat kok bisa berdampingan. Pagi ini
maksiat, nanti siang tobat. Dan itu dilakukan berulang-ulang. Kapok lombok kata
orang Jawa. Apa tidak modus itu”.
“Belum lagi
apa-apa yang dikerjakan seseorang itu butuh pengakuan dan pencitraan. Amal
sedekah yang tidak seberapa saja itung-itungan sama Tuhan Kang. Biar dibalas
berlipatlah, biar selamat dari musibah lah, biar dianggap dermawanlah.”
“Naik haji
juga begitu niatnya menaikkan gengsi sosial, biar dipanggil pak Haji. Apa
pernah dengar panggilan Haji Nabi Muhammad SAW, Haji Abu Bakar As Siddiq, Haji
Umar hehe...Apa kalau mengerjakan shalat juga mau dipanggil musholli, kalau
sudah zakat dipanggil muzakki. Wah banyak pokoknya tuntutannya sama Tuhan.” Ceramah
Parmin dengan segenap disiplin keilmuan pesantrennya keluar memberondong
bertubi-tubi.
Khutbah siang Parmin
semakin menjadi-jadi. Seakan ada hubungan yang linier antara suhu siang itu dengan
pikiran Parmin yang juga sedang fire on.
Saya hanya diam,
dan terus mendengarkan ceramah semi partikelir Parmin yang semakin
menjadi-jadi. Kadang ikut tertawa atau hanya tersenyum mendengar penuturan
sahabatku itu. Dan tak terasa cangkir-cangkir kami telah kosong menyisakan
lethek hitam kental. Biasanya Parmin menggunakan lethek itu untuk mbolot
kreteknya.
Siang semakin
garang, matahari pun tetap membara membakar apa saja. Daun-daun jati belumlah
bersemi dan musim ungker yang menjadi semacam pesta tahunan di bulan November
yang ada di kampung saya masih tampak sepi. November Rain seakan menjadi sebuah
mitos, setidaknya sampai siang ini.
Joyojuwoto.
Bangilan Tuban, 27 November 2015
bersedekah... tapi dibaliknya berharap ada yang memberi lebih....termasuk memodusi tuhan kah...?
BalasHapusselamat hari jum,at barokah..
:) hehe...Tuhan Maha Baik mbak
Hapus