“Sungkeman”
Sungkeman adalah tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan
pada saat-saat tertentu, semisal saat ritual upacara pernikahan, saat perayaan
halal bi halal di hari raya Idul fitri, maupun pada saat-saat seorang anak
meminta berkah do’a kepada orang tuanya.
Sungkeman berasal dari kata sungkem, yaitu duduk posisi
berjongkok sambil mencium tangan orang yang lebih tua, sambil meminta do’a
kepada orang yang kita sungkemi. Sungkem bukan berarti menyembah, namun hanya
sebatas bentuk penghormatan kepada orang yang dituakan. Sungkeman adalah wujud ketawadu’an seorang yang lebih
muda kepada yang lebih tua.
Biasanya orang yang lebih muda akan sowan (menghadap) kepada
yang lebih tua, kemudian berjongkok dan bersalaman sambil mencium tangan orang
yang lebih tua sambil mengucapkan kalimat pokok sungkeman. Seorang santri yang
sowan kepada gurunya pada saat idul fitri misalnya akan berucap begini :
"Ustad/ustadzah lahir batin, Sugeng riyadin ngaturaken sedaya lepat nyuwun pangapunten, nyuwun donga
pangestunipun supados kula saged dados siswo-siwi ingkang sholeh, migunani
dhateng agami, nusa, bangsa, lan nagari, lancar anggenipun pados ilmu, gampil
anggenipun pados rejeki ingkang halal lan thayyib, saha sukses nglampahi gesang
ing donya lan akhirat."
Dan si guru pun menjawab ucapan murid dengan permintaan
maaf dan do’a pula :
"Ngger cah bagus, ngger cah ayu tak sepuro opo kang
wus kalampahan,semana
uga wong tuwa akeh lupute, muga-muga isa kalebur ing dina riyaya iki, tak
dongakke muga-muga apa sing tak citak-citakke dikabulke marang Gusti Allah…
Amien...
amien ya Rabbal 'Alamin.
Dalam tradisi Jawa, sungkeman menjadi salah satu tradisi
yang meneguhkan akan rasa hormat dari generasi yang lebih muda kepada yang
lebih tua, sungkeman juga menjadi penanda kasih sayang yang diberikan orang
yang lebih tua kepada yang lebih muda. Ajaran saling menghormati dan saling
menyanyangi menjadi dasar dari seluruh aspek kehidupan beragama. Islam sendiri
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW juga mengemban risalah rahmatan lil ‘alamin,
dalam konsep kehidupan masyarakat Jawa dikenal dengan istilah “Memayu
Hayuning Bawana”
Tradisi
semisal ini perlu kita fahami, dan kita fahamkan kepada generasi mendatang agar
tidak terjadi salah persepsi, yang akhirnya mengundang polemik yang tidak
berkesudahan. Semisal dikatakan sebagai amalan bid’ah, syirik, khurafat dan
lain sebagainya. Karena memang sungkeman jauh dari maksud itu semua.
Bagaimanapun juga kalau tidak berkenaan dengan ibadah mahdhoh saya kira ritual
ini sah dan halal untuk dilakukan, dengan catatan yang melakukannya mengerti
dan tidak salah niat. Sekian. Joyojuwoto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar