“Sepenggal Kisah Bu Nyai Hj. Hanifah”
Siapa diseluruh pelosok Kabupaten Tuban yang tidak mengenal Bu Nyai Hj.
Hanifah Muzadi. Dari namanya saja tentu kita bisa menebak bahwa beliau adalah
orang yang luar biasa. Nama belakang yaitu Muzadi juga melekat pada mantan
ketua PBNU yaitu KH. Hasyim Muzadi pengasuh pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang
dan Depok. Tidak aneh memang karena Hj. Hanifah adalah kakak dari sosok Kyai
lulusan Gontor itu.
Ketenaran Bu Hanif panggilan akrab beliau bukan karena embel-embel Muzadi,
namun memang beliau adalah seorang yang luar biasa. Selain mengasuh Majelis Ta’lim
Al Wustho beliau juga aktif di organisasi keagamaan terbesar di Indonesia
Nahdlatul Ulama. Bisa dibilang Bu Hanif adalah ibunya Fatayat dan Muslimat di
Bumi Wali Tuban.
Figur Bu Hanif sampai detik ini belum tergantikan, baik beliau sebagai
pengurus Cabang Muslimat Tuban ataupun sebagai sosok Bu Nyai yang kharismatik
di Kecamatan Bangilan. Setiap hari Selasa dan Jumat Bu Hanif mbalah kitab, dan
ini adalah pengajian satu-satunya di kecamatan Bangilan yang melibatkan masa
banyak. Santri-santri beliau berdatangan dari berbagai penjuru dan berbagai
kalangan sosial di Kecamatan Bangilan. Khususnya ibu-ibu Fatayat, Muslimat, dan
ibu-ibu alumni KBIH Al Wustho.
Saya sendiri merasa menjadi santri beliau, walau sebenarnya secara
muwajahah saya belum pernah ngaji sama beliaunya. Karena memang santri Al
Wustho khusus perempuan. Merasa menjadi santri Bu Hanif ketika saya dan
beberapa teman disuruh menempati ndalemnya Bu Muyas yang ketepatan kosong.
Beliau adalah saudara dari Bu Hanif. Rumah itu dulu berada di sebelah selatan
ndalemnya Bu Hanifah. Namun sekarang rumah itu telah dibongkar dan menyatu
dengan rumah induk keluarga Abu Bakar Wustho yang sekarang.
Saat itu saya dan beberapa teman sedang nyantri di PP. ASSALAM Bangilan Tuban
yang diasuh oleh Abah Kyai Abdul Moehaimin Tamam. Perlu diketahui Abah
Moehaimin juga masih keluarga dari Bu Hanif. Secara garis keturunan masih
misanan. Karena gothakan santri penuh, kami yang telah dipercaya sebagai ustadz
muda terpaksa pindah di ndalemnya Bu Muyas tadi. Dari situlah kami berinteraksi
dan bisa melihat secara langsung keteladanan beliau.
Sebagai sosok Bu Nyai beliau selalu rendah hati, dan tentu yang tidak bisa
kami lupakan adalah hampir setiap pagi kami menerima kiriman nasi goreng. Setiap
beliau masak atau baru pulang dari bepergian kami pun mendapatkan jatah makanan
dan oleh-oleh. Beliau memang mempunyai prinsip
jika ada tamu siapapun orangnya akan di jamu makan. Jika musim buah tiba
kami pun dibebaskan mengambil mangga yang kebetulan tumbuh di antara ndalemnya
Bu Muyas dan Bu Hanif. Tidak hanya itu kami pun sering memetik buah kelapa muda
yang berada di depan rumah dan samping rumah. Pokoknya semuanya serba boleh, asal
tidak berlebihan dan mubadzir saja.
Sikap beliau yang pemurah dan baik kepada tamu dan santri-santri serta
segala lapisan masyarakat memberikan sebuah nilai keteladanan bahwa menjadi
seorang yang rendah hati itu tidak menyebabkan seseorang menjadi rendah justru
sebaliknya, seseorang akan semakin
tinggi derajadnya dan mendapatkan penghormatan dan kecintaan diantara sesama
manusia. Beliau tidak membeda-bedakan antara si A dan si B. Tidak sopo sira
sopo ingsun, semua sama, sama-sama makhluk Tuhan.
Lebih mengharukan lagi dan masih terkenang di hati saya adalah pengakuan
beliau bahwa saya dan beberapa santri lainnya adalah anaknya. Santri diaku anak
bu Nyai tentu akan senang dan bangga begitu pula dengan saya. Sebagai seorang
yang bukan apa-apa dan bukan pula siapa-siapa terasa mendapatkan sebuah
penghargaan dan kehormatan. Ibarat pepatah serasa mendapat durian runtuh (wkwkw...apa
gak salah nih peribahasa...!!!). Namun itulah sebuah sikap kerendah hatian
beliau yang layak untuk diteladani.
Walau mungkin kata-kata itu hanya sekedar basa-basi, atau istilahnya
sekarang sekedar pencitraan namun itu sudah sangat menggembirakan dan
membanggakan saya khususnya. Namun saya yakin beliau tulus mengucapkan itu dan
tidak ada maksud apapun kecuali hanya untuk merekatkan silaturrahmi dan
memberikan contoh sikap seorang tua kepada yang lebih muda. Yang tua menyayangi yang muda, dan yang muda hormat kepada yang lebih tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar