Sosoknya tegap, berbaju doreng, sepatunya sepatu PDL asli
standart TNI, walau aku lebih suka menyebutnya sebagai sepatu model hansip, potongan
rambutnya cepak. Ia bertanya dengan suara yang digagah-gagahkan, khawatir
penampilan fisiknya tak selaras dengan mimik muka dan bahasanya.
“Apakah
Anak bapak punya sim ?”
“Apakah anak bapak menyalakan lampu riting ?
“Apakah ia memakai helm SNI ataukah hanya memakai
helm standart pekerja bangunan ?“
“Apakah..???
??
?
Dan suara tentara betulan itu tertahan oleh tuan rumah.
Stop...stop...berhenti, tidak usah diteruskan
pertanyaannya, kalau memang bapak tidak mau menyelesaikan urusan kecelakan ini
secara kekeluargaan ya tidak apa-apa. Ayo kalau mau main Polisi !
Ternyata janji yang diberikan pelaku yang menabrak korban
hanya bualan. Ia mengatakan siap menanggung seluruh biaya pengobatan rumah
sakit, eh..datang-datang bukan bawa uang malah bawa tentara yang dipakai
senjata untuk menakut-nakuti dan menundukkan korban. Ini bukan jaman Orba
bung... kekuatan sekarang bukan pada baju doreng, bukan pula pada seragam dan
logo Polisi, kekuatan sekarang adalah keadilan dan kebenaran.
............................
Begitu mungkin pengalaman yang pernah kita rasakan, atau
minimal pernah mendengar peristiwa yang ada disekitar kita. Kekuatan aparat
baik dari pihak TNI ataupun Kepolisian kadang disalahgunakan oleh oknum-oknum
tertentu dan untuk tujuan-tujuan yang tertentu. semisal diatas untuk menakut-nakuti
wong cilik.
Padahal seharusnya rakyatlah pemegang kekuatan dan
kekuasaan tertinggi yang sebenarnya di negeri ini, walau kadang prakteknya
justru rakyat yang dikebiri hak-hak kekuasaannya. Rakyat yang seharusnya
pemilik keadilan justru diperlakukan tidak adil di rumahnya sendiri, di tanah
kelahirannya sendiri. Seyognyanya secara filosofis telah kita akui bahwa dalam
berdemokrasi, rakyat sebagai pemegang legitimasi kekuasaan harus dibela. Karena
negara ini ada karena rakyat. Bangsa ini wujud karena rakyat. Itu baru namanya
demokrasi yang sesungguhnya, kepentingan dan kedaulatan rakyat adalah
segala-galanya bukan yang lainnya. Karena memang istilah demokrasi lahir dari
rakyat itu sendiri. “Demos” yang berarti rakyat, dan “Kratos” yang berati
kekuasaan.
Salah besar jika kita menjadi lurah, kita menjadi camat,
bupati, gubernur, dan presiden sekalipun, kita menganggap rakyat adalah bawahan
kita, justru si lurah, camat, bupati, gubernur dan presiden itu adalah bawahan
rakyat. Karena mereka digaji oleh rakyat. Mereka ada untuk melayani rakyat,
bukan minta dilayani. Namun kenyataan ini berbeda, menjadi pemimpin justru
ingin dilayani oleh rakyat. Keblinger itu namanya.
Seyogyanya pemimpin adalah abdi rakyat, sebagaimana yang
menjadi slogan pejabat pemerintahan, “Abdi Negara”. Sudahkah slogan itu
dilaksanakan, bahwa pejabat adalah abdi, pelayan, dan khadimnya rakyat.
سيّد القوم خادمهم
“Pemimpin suatu kaum, adalah khodimnya
(abdinya) kaum itu”
Jika
kita siap jadi pemimpin, kita harus siap melayani kepentingan-kepentingan
rakyat. Kita harus menempatkan urusan rakyat diatas urusan pribadi dan
golongan. Tirulah pemimpin-pemimpin yang mencintai rakyatnya yang berani
berkorban demi rakyatnya seperti Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz dan
pemimpin-pemimpin lain yang memperhatikan urusan kaumnya. Karena sesungguhnya
seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
كلّكم راع
وكلّكم مسئول عن راعيته
Tidak ada komentar:
Posting Komentar