“Kartini Maaf Aku Telat Memberimu Ucapan
Selamat”
Raden Ajeng Kartini begitulah namamu disebut, masyhur
diseluruh penjuru negeri.lagu tentang dirimu pun dinyanyikan di mana-mana dan
sepanjang masa. Dihapal oleh jutaan generasi anak bangsa dari balita hingga
manula.
Bulan April adalah bulanmu, semua orang mengenangmu,
tentu aku pun ikut mengucapkan selamat buatmu Raden Ayu, walau mungkin ini
sedikit telat. Tapi tak apalah daripada tidak sama sekali.
Jika kita anak
bangsa ini tidak mengenalmu, tidak mengadakan seremonial peringatan untuk
memperingati hati terkhusus untukmu, saya khawatir khususnya untuk diri saya
pribadi dicap sebagai anti kemajuan, anti modernisasi, dan yang paling parah
tentu dianggap anti dengan sebuah kata emansipasi.
Walau kadang peringatan-peringatan itu jauh dari semangat
yang kau ajarkan kepada kaummu. Kadang saya juga geli melihat anak-anak TK,
anak-anak SD, bahkan SMP, SMA menjadi korban ambisi orang-orang dewasa.
Ritualistik itu tidak salah, namun makna yang terkandung dalam sebuah ritual
jangan sampai hilang tertelan hingar-bingar tetek bengek dari sebuah ritual
seremonial dan live service belaka.
Lebih menggelikan lagi jika saya melihat, membaca tentang
jargon-jargon emansipasi perempuan yang selalu dilekatkan pada nama besarmu
Rara Ayu, saya yakin kamu pun sebenarnya
tidak pernah mengenal istilah itu. Saya yakin itu bahkan haqqul yakin. Sebenarnya saya tidak anti dengan kata
emansipasi, sayang kata itu maknanya telah dikerdilkan oleh kelompok-kelompok
yang menamakan dirinya sebagai pembela kaummu Rara Ayu.
Jujur saja sebenarnya saya masih bingung juga mendefinisasikan
kata yang aneh dan mirip-mirip bahasa Jawa itu. Emansipasi, kalau bahasa Jawa
ada istilah “eman” tinggal nambahi si, kayak paving menjadi istilah
pavingisasi, paving adalah kata benda dan pavingisasi adalah sebuah gerakan
untuk memasangi paving. Tapi apakah seperti itu antara emansipasi dan kata eman
ya ?, yang jelas kata emansipasi dan eman dalam bahasa Jawa tidaklah ada
hubungan kekerabatan, apalagi saudara dekat. Namun makna yang dikandung
sebenarnya memiliki semangat yang sama buat kaum perempuan.
Eman (jw) berarti sayang, sedang emansipasi terpaksa saya
harus membuka kamus ilmiah populer yang ditulis oleh Pius A Partanto dan M.
Dahlan Al Barry, di situ emansipasi dijabarkan “Pembebasan diri dari
perbudakan” dan ada makna lain yang sepadan yang tak perlu saya tulis di
sini. Nanti makin membingungkan saja.
Berbicara masalah definisi adalah berbicara masalah
konteks yang terkandung di dalam kata, dan tentu tidak ada yang salah dengan
definisi emansipasi kaum perempuan. Yang menjadi masalah justru makna yang
begitu luar biasa ini sering disalah artikan guna mendukung teori emansipasi
menurut sekelompok tertentu tanpa melihat secara adil dan beradab tentang sosok
perempuan yang sebenarnya.
Masak hanya gara-gara emansipasi seorang perempuan harus
sama persis dengan yang namanya laki-laki. Padahal kata emansipasi saja hanya
ada untuk kaum perempuan. Kalau laki-laki saya belum pernah dengar istilah itu.
Emansipasi menjadi mantra ajaib yang digunakan untuk merorngrong pranata
keluarga yang telah ajeg dan mapan. Dan biasanya yang menjadi objek kritikan
emansipasi adalah ajaran Islam. Karena dalam Islam mengatur peran perempuan
yang dianggap membelenggu hak-hak yang ingin diperjuangkan oleh kelompok
gender. Seperti stigma bahwa perempuan itu tugasnya hanya di segitiga wilayah macak,
manak, dan masak.
Lalu benarkah ajaran Islam menempatkan posisi perempuan
seperti itu ?. tidak dipungkiri bahwa Islam mengatur hubungan antara laki-laki
dan perempuan berdasarkan fitrahnya. Seorang laki-laki bertanggung jawab terhadap
nafkah istri dan anak-anaknya, dan perempuan biasanya bertugas mengurus rumah
tangga dan mempersiapkan anak-anaknya menjadi generasi yang sholeh dan tangguh.
Dan ini bukanlah peran yang sepele. Dibutuhkan seorang ibu yang hebat agar
kelak anak-anaknya menjelma menjadi generasi yang hebat pula.
Dalam Islam pun tidak ada larangan untuk berkarier bagi
seorang Ibu, asal kariernya masih dalam wilayah fitrahnya sebagai seorang
perempuan. Menjadi guru, menjadi dokter, menjadi ilmuan, dan seabrek profesi
lainnya yang layak dilakukan oleh seorang perempuan. Bahkan sangat-sangat tegas
Rosulullah SAW mewajibkan setiap orang baik muslim maupun muslimah untuk terus
menuntut ilmu. Sebagaimana yang beliau sabdakan :
طلب العلم فريضة على كلّ مسلم ومسلمة
“Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi muslim
dan muslimah”
Di sini
sangat jelas sekali teks hadits yang tidak mendeskritkan kewajiban antara
laki-laki dan perempuan dalam soal menuntut ilmu. Jadi salah besar jika ada
larangan menuntut ilmu bagi seorang perempuan karena anjuran agama. Yang ada
dulu bukan hanya kaum perempuan saja yang tidak boleh sekolah oleh Belanda,
namun dari pihak laki-laki pun tidak diperbolehkan sekolah kecuali orang-orang
tertentu saja. Dalam Islam tidak ada urusan emansipasi perempuan semua telah
diatur sedemikian rapi dan baik, tinggal masing-masing memaksimalkan perannya
agar terjaga dan terjalin harmonisasi kehidupan.
Jika
kata emansipasi tadi dipakai untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan
maka saya sangat setuju, namun jika slogan emansipasi itu hanya sekedar
menuruti selera nafsu dan dipakai
sebagai alat untuk mencabut fitrah perempuan dan melengserkan kedaulatan kaum
perempuan dari singgahsananya di dalam keluarga maka saya sangat menolaknya.
Kebanyakan
pesan yang saya tangkap dari teriakan sumbang para pegiat emansipasi adalah
pemahaman yang sakit akan peran perempuan itu sendiri. Kelihatannya mereka
meneriakkan kebebasan pada kaum perempuan namun nyatanya justru mereka membelenggu
dan membebani perempuan dengan hal-hal yang berada diluar fitrah seorang
perempuan.
Jadi
mohon maaf Rara Ayu jika saya agak memprotes para pegiat gender yang selalu
mengatasnamakan ide-ide mereka dengan bersembunyi di balik nama besar engkau. Karena
saya yakin walau Rara Ayu banyak bergaul dengan Nyonya-nyonya londo, namun pemikiran
Rara Ayu tetap murni, karena itulah engkau dijuluki sebagai seorang putri yang
sejati. Putri yang bermakna mruput katri, yaitu gemi, nastiti, dan
ngati-ati, tidak ceroboh dengan nilai-nilai luar yang belun tentu
kebenarannya.
Saya
semakin yakin bahwa Rara Ayu memang seorang pembela dan pahlawan bagi kaum
perempuan yang sebenarnya setelah saya membaca surat yang Rara Ayu kirimkan
kepada Nyonya Abendanon (1900) yang berbunyi :
““Kita dapat menjadi manusia
sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi perempuan sepenuhnya”.
Sangat, sangat luar biasa sebuah ide yang menancap kuat dan
berakar pada ajaran luhur nenek moyang kita dan lebih-lebih sesuai dan sejalan
dengan ajaran fitrah manusia. Salam ta’dzim kulo kagem panjenengan RA. Ajeng Kartini.
Sekian. Joyojuwoto. 23 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar