http://bagasarrahman.deviantart.com |
Memaknai Ajaran Kejawen
Pokok ajaran masyarakat Jawa dikenal dengan istilah Kejawen. Ajaran
kejawen kadang dipandang secara sinis oleh orang-orang tertentu dan seakan
menjadi hal yang negatif yang perlu untuk dijauhi. Padahal menurut saya kejawen
adalah sebuah pengetahuan, sebuah nilai dan kearifan yang dimiliki oleh
masyarakat Jawa. Jika itu bukan masalah
yang prinsip dan pokok dalam ibadah saya kira ada sesuatu yang layak kita ambil
dan kita petik manfaat dari ilmu kejawen tadi. Bukankah Rosulullah pernah
bersabda bahwa :
“al Hikmatu Dhoollatul Mu’minin, Khaitsuma
wajadaha fahuwa ahaqqu biha”
“Hikmah itu adalah barangnya orang mukmin yang
hilang, siapa saja yang menemukannya maka ia berhak atasnya”
Barang yang hilang ini tentu perlu untuk
dicari, dimanapun kita menemukannya maka wajib kiranya bagi kita untuk mengambilnya.
Begitu pula dengan kejawen jika itu tidak berkenaan dengan ibadah mahdhoh maka
alangkah bijaknya jika kita bisa mengambil manfaat darinya. Karena semua ilmu
bermuasal dari yang satu yaitu Tuhan yang maha Alim. Jadi jangan sampai kita
mengkonfrontasikan ajaran Islam umpamanya
dengan ajaran masyarakat Jawa, tapi hendaknya kita bisa mensinergikan kearifan
lokal budaya tersebut agar bisa menjadi sebuah simponi kehidupan yang indah dan
menjadi sebuah harmoni yang hidup dan tidak kaku.
Wali Sanga dalam berdakwah di tanah Jawa perlu
kita teladani, walau kebanyakan mereka bukan dari Jawa tetapi Wali Sanga dapat
berserasi dengan pola kehidupan masyarakat Jawa secara luas. Namun sayang sekali
cerita sejarah Wali Sanga ini telah banyak mengalami distorsi sejarah sehingga
sulit bagi kita untuk mengungkapkannya secara detail. Sekilas banyak aroma
mistik dan klenik yang menyelimuti dakwah Dewan Wali yang dikirim oleh Sultan
Turki ini sangat menyulitkan kita untuk mencontoh
dan meneladaninya. Namun jika kita pandai meniti cara berfikir orang Jawa yang
adi luhung, penuh hikmah tentu kita tidak akan salah faham dalam memaknai
segala fenomena tersebut. Karena hikmah perlu ditelaah lahir batin, sirran
wa alaniyyah tidak sekedar mengandalkan kecerdasan otak dan logika saja.
Ingat bahwa ilmu hikmahnya orang Jawa itu lebih tinggi dibanding filsafatnya orang
Barat.
Ambil satu gambaran saja tentang pola belajar
dan dakwahnya Sunan Kalijaga, beliau diceritakan ketika nyantri di Pesantren
Bonang, oleh Sunan Bonang Raden Sahid putra sang Bupati ini disuruh bertapa di
tepi sungai dan diberi amanat untuk menjaga tongkat Sunan Bonang hingga beliau
kembali ke tempat itu. Bertahun-tahun ternyata Sunan Bonang tidak datang hingga
tongkat yang ditancapkan ditanah berubah menjadi hutan bambu yang rimbun,
sedang Raden Sahid masih setia duduk menunggu kedatangan gurunya. Ketika cerita
semacam ini kita telan mentah-mentah tentu akan sulit bagi kita untuk meneladani
cara belajarnya Sunan Kalijaga. Siapa manusia di dunia ini yang mampu hidup
tanpa makan dan minum selama bertahun-tahun ? tentu secara sunnatullah tidak
ada. Begitu juga tentang dakwah Sunan Kalijaga kepada beberapa muridnya juga
banyak menyimpan pertanyaan yang tak bisa kita fahami secara tekstual. Seperti kisah
Bupati Semarang Ki Pandalarang yang berguru setelah seorang kakek tua penjual
rumpun mencangkul tanah dan berubah menjadi bongkahan emas, lalu bagaimana kita
harus mengikuti cara dakwah yang demikian ? ada lagi kisah Ki Cakrajaya alis
Sunan Geseng yang berguru dengan cara bertapa di tengah padang ilalang untuk
menunggu kedatangan gurunya, karena ilalangnya sangat rimbun akhirnya Sunan
Kalijaga mebakar rumpun ilang itu dan Ki Cakrajaya hangus terbakar dalam posisi
sujud namun tidak meninggal dunia sehingga beliau dipanggil Sunan geseng.
Menurut pemahaman saya orang Jawa memang sangat
halus dan suka sanepan. Sering kali sebuah cerita adalah sebuah misteri dan teka-teki
yang harus kita pecahkan dengan perenungan yang mendalam.
Orang Jawa selalu menyelipkan makna yang
tersirat dalam setiap cerita dan ungkapan jadi jangan cepat-cepat menghakimi
kalau memang kita belum mengerti. Dan yang menjadi sumber masalah adalah kita ini
kurang nguri-uri kebudayaan Jawa kita, kurang melu handarbeni pusaka warisan
nenek moyang kita, malah kita merasa minder, underestimate terhadap Jawa dan silau
dengan budaya luar. Oleh karena itu jangan
sampai kita orang Jawa tidak tahu akan budaya Jawa. Menjadi “Wong Jawa ilang
Jawane” Tidakkah kita ingat pesan Cak Nun dalam maiyahannya “ Jowo digowo, Arab
digarap, Barat diruwat”. Sekian. Jwt.
Macam aku iki, wong jowo ilang jowone
BalasHapusNek ngendikane Cak Nun lak gini mbak Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat...;)
BalasHapusKeren mas broo, lanjutkan!!!
BalasHapus