Fenomena batu selalu menjadi bagian disetiap
lekuk-lekuk sejarah di muka bumi. Konon rumah peribadatan pertama yang dibangun
Nabi Adam di jagad semesta yaitu Ka’bah juga menyertakan sebuah batu yang
diturunkan dari langit. Konon batu itu berwarna putih cemerlang, namun karena
batu itu selalu disentuh oleh orang-orang yang melakukan pertaubataan dosa,
lambat-laun batu itu berubah warna menjadi hitam seperti sekarang yang dikenal dengan
sebutan “Hajar Aswad”. Batu hitam ini sungguh sangat istimewa ia ada hingga
kelak menjadi saksi bagi manusia di akhirat.
Jadi Ka’bah
sebenarnya telah ada sebelum Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail . Mereka berdua hanya
meneruskan apa yang dulu telah dibangun oleh pendahulunya, Nabi Adam As. dan
kemudian dibangun lagi hingga seperti yang sekarang.
http://www.novawijaya.com/2015/01/batu-semar-giant-rock-bojonegoro.html |
Dulu era zaman paganisme orang-orang juga sama
gandrung untuk menyembah batu yang diwujudkan dalam bentuk berhala-berhala yang
dijadikan sebagai Tuhan. Dalam sejarah peradapan manusia juga mengenal zaman
batu pula, paleolitikum, mesolitikum, neolitikum, dan megalitikum. Di era ini
juga tidak terlepas dari penggunaan media batu sebagai peralatan sehari-hari
maupun sebagai media untuk penyembahan terhadap ruh nenek moyangnya.
Begitu juga dalam sejarah klasik peradapan Islam
ada sebuah kisah filosofis yang sangat terkenal. Yaitu tentang seorang pemuda
yang sedang belajar disebuah majelis ilmu. Karena pemuda tadi merasa bahwa
sangat lamban dalam menerima ilmu dari gurunya, akhirnya pemuda ini frustasi
dan pergi meninggalkan majelisnya belajarnya. Suatu ketika hujan turun, dan
pemuda itu berteduh di dalam sebuah goa. Di dalam goa pemuda itu tertegun, ia
memandangi dinding goa yang meneteskan air, dan air itu menimpa sebuah
bongkahan batu. Dilihatnya batu itu berlubang. Hidayah Allah masuk ke dalam
hati pemuda itu melalui fenomena batu yang berlubang karena tetesan air yang
tiada henti. Akhirnya pemuda tadi tersadar, dan ia kembali ke majelis gurunya
untuk menuntut ilmu dengan tekun dan terus menerus seperti air yang akhirnya
mampu mengikis kerasnya sebongkah batu, sedang yang di dalam hatinya bukanlah
batu tapi hati yang tentu juga bisa berubah menjadi lebih baik manakala ia
membiasakan diri dengan suatu kebaikan. Pemuda itu akhirnya berhasil dalam
studinya, dan ia menjadi salah seorang pakar hadits terkemuda pada masa
Khalifah Sholahuddin Al Ayyubi di Mesir.
Dialah penulis kitab yang monumental dalam dunia pesantren fathul bari’.
Dan berbicara soal batu, tentunya kalian masih
ingat cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun dari generasi ke
generasi dan selalu saja relevan dengan zaman. Kisah Malin Kundang seorang anak
yang dikutuk menjadi batu gara-gara durhaka kepada ibu kandungnya. Kata Ippho
Santosa seorang trainer ternama, kisah Malin Kundang memang fiksi, namun pesan
yang disampaikan sangat nyata sekali. Seorang anak yang durhaka kepada orang
tua kehidupannya akan membatu dan tidak berkembang. Ia akan sulit untuk sukses
dan bahagia.
Lebih fenomenal lagi adalah kisah batunya dukun
cilik dari Jombang Ponari. Batu petir itu menggegerkan jagad perdukunan
Nusantara, tidak hanya kalangan para normal yang gonjang-ganjing, dunia
kedokteran, kaum agamawan, ilmuan, politisi, dan publik Indonesia dibuat sibuk
membicarakan dukun tiban itu. Hanya karena sebongkah batu yang konon ditemukan
ketika hujan dan saat petir menyambar, ponari didatangi ribuan pasien yang rela
mengantri hingga berhari-hari untuk meminta kesembuhan, kelancaran rizki, jodoh
dan maksud-maksud lain memalui media batu tersebut.
Dokter, konsultan, ahli psikolog, dan kaum
akademisi tentu protes dengan situasi yang sedemikian. Mereka yang merasa belajar
bertahun-tahun menghabiskan dana jutaan rupiah, mempelajari segala macam teori
ilmu pengetahuan saja tak memiliki pasein yang sedemikian rupa. Lha ini ada
anak kecil yang makan sekolah saja belum tamat namun pamornya mampu meruntuhkan
kridibilitas seorang akademisi yang telah malang melintang menghabiskan
waktunya selama bertahun-tahun untuk mempelajari segala macam tetek bengek teori-teori ilmiah.
Para pakar sama berkomentar bla bla bla, kaum agamawan
pun tak mau kalah ini musrik, ini syirik, dan lain sebagainya. Semua sibuk
memberikan reaksi terhadap Ponari. Sedang Ponari adalah anak kecil seusia SD
yang tak mengerti apa yang dibicarakan mereka.
Ia dengan santai berada diatas gendongan keluarganya, tangan kanannya
memainkan game di HP, sedang tangan kirinya menggenggam batu dan dipegangi oleh
yang menggendongnya kemudian batu itu dicelupkan ke wadah air pasien. Ponari tak tahu apa-apa, ponari tak
menjanjikan kesembuhan dan solusi dari masalahnya pasien. Namun pasien selalu
membanjiri rumahnya.
Adalah hak Tuhan jika batu Ponari yang dipakai
media oleh orang-orang itu memberi kesembuhan dan lain sebagainya. Siapapun
tidak punya hak untuk melarang-larang Tuhan. Mau sembuh karena batu, mau sembuh
karena debu, kotoran, ataupun karena obat dari seorang pakar pengobatan tentu
tidak ada yang bisa mendikte Tuhan. Jadi pada dasarnya bukan dzat benda yang
memberikan kesembuhan namun karena semata-mata itu adalah qudrahnya Allah.
Jika kita sakit kemudian minum obat dari dokter
kok sembuh, lha memang pas saat itu Allah memberikan kesembuhan. Salah jika
kita menganggap obatnya dokter menyembuhkan penyakit. Disini kedudukan obat dan
batunya Ponari juga demikian, karena
Allah tidak terikat dengan segala macam teori ilmiah, hipotesa, fakta-fakta
empiris maupun hitam putihnya dunia. Allah punya sifat “Qiyaamuhu Bi Nafsihi”
Dan yang terbaru kabar berita di Bojonegara sedang
ramai-ramainya membicarakan batu. Istilah sekarang menjadi tranding topik lah. Dalam
berita radar Bojonegara maupun dari media online diberitakan ada sebuah batu
yang beratnya 80 ton dari dusun Sukun desa Sambongrejo Kec. Gondang di pindah
ke depan gedung Pemkab. Para blogger dan media-media online menyebutnya sebagai
batu semar. Saya sendiri belum jelas mengapa disebut sebagai batu semar,
mungkin karena bentuknya yang tambun dan besar sehingga dimirip-miripkan dengan
tokoh pewayangan.
Menurutku batunya sendiri tidaklah mirip dengan
semar, tadi saya sempat melihatnya walau hanya sekilas. Namun mau dinamakan
Semar, mau Petruk, Gareng, ataupun Togog itu haknya masing-masing. Apalah arti
sebuah nama kata Shakespeare, walaupun sastrawan dari Inggris itu saya anggap
sedang nglindur ketika mengatakan yang sedemikian. Karena sebagai seorang yang
dilahirkan dari suku Jawa saya meyakini bahwa nama adalah sebuah do’a. Nabi Muhammad Saw sendiri juga berpesan agar
orang tua memberikan nama yang baik untuk anak-anaknya. Mungkin saja
Shakespeare memang tak mengenal persis apa itu do’a.
Oleh pemkab Bojonegara rencananya batu itu akan
dijadikan sebagai prasasti tempat diletakkannya berbagai penghargaan untuk kota
Bojonegara maupun prestasi-prestasi lain dari warga masyarakat Bojonegara
secara umum.
Ini adalah ide yang brilian dari seorang
Bupati yang notabenenya berasal dari kultur Muhammadiyah. Beliau Bapak Suyoto
tidak khawatir dikatakan ini adalah syirik, musyrik, tahayul, bid’ah, maupun
khurafat. Fenomena ini akan menjadi semacam pencerahan bagi semua masyarakat
bahwa masalah kemurnian aqidah itu di hati, bukan karena faktor benda. Jadi ketika
ada orang yang membawa keris kemudian memandikannya jangan langsung dituduh itu
khurafat, itu klenik, dan sebagainya, mungkin saja karena dia menghargai dan
mencintai hasil kebudayaan nenek moyangnya. Begitu pula dengan Kang Yoto,
beliau menginstruksikan untuk membawa batu bukan dalam rangka untuk dikultuskan
maupun dimintai berkah namun memang batu
itu unik dan menginspirasi jika diletakkan di depan pemkab setempat. Kalau pun
toh ada yang salah faham, dan berbuat yang aneh-aneh dengan batu itu, lha itu
tugas kita bersama untuk memberikan wawasan dan pemahaman. Dan kang Yoto tentu
tidak bertanggung jawab terhadap itu semua. Karena manusia akan membawa amalnya
sendiri-sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar