“Catatan Kecil 1 di Gerakan Tuban Menulis”
Kemarin hari, Sabtu, 24/1/2015 saya mengikuti
acara yang sangat istimewa. Istimewa disini sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan tempat, orang-orangnya, ataupun kulinernya. Tempatnya biasa dan
sederhana hanya disebuah sanggar belajar milik UPTD Kab. Tuban. Sanggar itu
persisnya berada di sebelah timurnya SMA 1 Tuban.
Tidak ada hamparan karpet merah, tidak ada AC,
tidak ada ruang khusus resepsionis, ya pokoknya sederhana, sesederhana acara
yang diselenggarakan di dalamnya. Orang-orangnya pun biasa, bahkan sangat
biasa. Tak ada yang berjas dan berdasi kayak anggota dewan yang saya tentu tak
berani mengatakan kalau mereka bukanlah orang yang tak penting.
Tak ada wajah-wajah terkenal seperti yang akrab
saya lihat di layar TV, yang dengan penuh semangat optimisme mengkampanyekan
tentang nasib wong cilik dan kesejahteraan rakyat jelata. Walau mungkin ia
sedang akting bermain opera ala anak TK, yah ! pokoknya teriak dan asal keras
suaranya. Seolah-olah mereka adalah pahlawan yang patut dibanggakan. Mungkin mereka
memang merasa sedang berjuang dan menjadi pahlawan, namun sayang hari terlanjur
siang.
Orang-orang yang saya temui di pagi itu memang
agak terlihat aneh. Namun aneh disini bukan mewakili kata istimewa. Siang begitu
cerah matahari tak tertutup kabut dan keadaan terang benderang. Namun orang-orang
itu membawa semacam lentera. Entah itu obor, entah itu lilin, eh..tidak, tidak
keduanya. Apakah mereka itu keturunan tokoh
pewayangan Gatutkaca ? di dada mereka ada sinarnya. sinar itu berpendar
dan beraura seperti cahaya umpling yang menarik laron-laron ke dalam
kobarannya. Saya jadi ingat dulu waktu awal musim penghujan di desaku.
Awal musim hujan adalah berkah tak terkira bagi
penduduk desa, selain musim bertanam telah tiba, biasanya awal musim hujan
adalah musim berburu laron dan musimmnya jamur barat. Emakku biasanya pada
malam hari meletakkan nampan yang diisi air kemudian di tengahnya diletakkan
umpling yang menyala. Dengan sendirinya laron-laron itu akan mendekat dan
terjebak di telaga nampan. Kemudian laron-laron itu tinggal diambil dan di
goreng untuk lauk sarapan pagi.
Ah tidak ! mungkin
aku yang terlalu terbawa lamunanku hingga membayangkan mereka adalah manusia
yang berlentera. Setahuku tidak ada manusia yang bisa memunculkan cahaya dari
tubuhnya. Kecuali mereka menjalin hubungan ghaib dengan makhluk yang bernama
kunang-kunang. Tapi saya pernah mendengar dari guru ngajiku bahwa jika kita
merutinkan wudhu insyallah wajah kita besok di akhirat akan bercahaya. Tapi ini
masih di dunia, layar akhirat belumlah digelar.
Lalu apa yang tadi saya katakan istimewa ?
tengoklah keatas di awal paragraf saya. Yang istimewa adalah acaranya kan ? ya acaranya
keren banget temanya aja menyihir “Jalan Pintas Menjadi Penulis Buku”. Hah...
tidak salah menjadi penulis itu istimewa. Siapa memang yang mau dan
bercita-cita menjadi penulis. Jika kita ditanya tentang cita-cita kita, tentu
dengan semangat akan bilang mau jadi dokter, jadi insyinyur, jadi polisi,
tentara, pengusaha, jadi artis dan seabrek profesi keren lain yang menggoda
selera mertua. Hanya orang-orang malas dan tak punya kesibukan saja yang mau
menulis.
Ya memang itu presepsi masyarakat luas tentang dunia
tulis menulis, namun jangan salah , banyak orang yang sukses gara-gara menulis. Andrea
Hirata terkenal dan kaya karena Tetraloginya Laskar Pelangi, Habiburrahman El
Shirazy juga dikenal dunia lewat novelnya Ayat-Ayat Cinta. Yang paling
fundamental tentu menulis bukan karena urusan terkenal dan uang saja, menulis
adalah perjuangan, sebuah proses untuk ikut andil dalam menuangkan ide dan
gagasan dalam membangun peradapan dunia. Bukankah tokoh-tokoh besar negeri ini
juga berjuang dengan tulisannya ? Soekarno melawan kesewenang-wenangan
imperialisme dengan bukunya “Indonesia Menggugat”. Rendra, Pram, Wiji Thukul,
mereka adalah tokoh-tokoh yang berjuang dengan tulisannya. Kata adalah daya, tulisan
kadang lebih tajam dari peluru. Maka masihkah kita menyangsikan kehebatan dari
sebuah tulisan. Waktu boleh berganti, umur boleh udzur,dan maut boleh
menjemput, namun tulisan akan terus
hidup dan ada untuk selama-lamanya. Seperti
kata Pram, “Menulis adalah Bekerja Untuk Keabadian”. Jadi silahkan, silahkan
menulis sekarang juga. Jwt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar