Meniti Jejak Sang Rasul
Oleh : Joyo Juwoto
Di dunia ini sosok manusia yang paling mulia, yang
paling agung dan layak untuk kita ikuti jejaknya adalah Nabi Muhammad Saw.
Kemuliaan dan keagungan Nabi Muhammad Saw tidak hanya pada saat beliau
hidup dan ada, namun sesudah beliau tiada pun kemuliaannya tiada tergantikan.
Bahkan kemuliaan Nabi Muhammad telah ada sebelum jagad raya dan alam semesta
ini ada. Nama beliaulah yang menjadi alasan Allah Swt menciptakan semesta raya.
Dalam
sebuah hadits Qudsi Allah Ta’ala berfirman :
اوّلُ ماَ خَلَقَ الله تّعّالّى نُوْرِي.ْ
Artinya : “Pertama-tama yang dijadikan Allah Swt,
adalah cahayaku (nur-ku)”.
Oleh karena itu seluruh semesta raya senantiasa
mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, para malaikat juga
bershalawat kepada beliau, Allah Swt menegaskan hal ini di dalam surat AL Ahzab
ayat 56 yang artinya : “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk
Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.
Jika Allah dan malaikat-malaikat-Nya sama bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw,
tentu kita pun harus senantiasa menyenandungkan shalawat kepada beliau, baik
itu shalawat yang berupa ungkapan lisan maupun shalawat yang berupa meneladani
segala uswah hasanah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, karena beliau
adalah sebaik-baik teladan.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ
يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (٢١)
Artinya
: :Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
Lalu pertanyaannya sudahkan kita mencontoh perilaku
Nabi Muhammad dalam kehidupan kita sehari-hari? Tak perlu kita menjawab secara
lisan, mari kita muhasabah diri, bercermin dan melihat diri kita sendiri, sudah
sejauh mana kita meniti Jejak Sang Rasul, utusan Allah Swt.
Tidak perlu kita muluk-muluk mengaku sebagai umat Nabi
Muhammad, jika dalam hati kita masih menyimpan iri dan dengki, tak perlu kita
berkhutbah dengan gagah di atas mimbar-mimbar menyatakan diri paling mencintai
dan meneladani Kanjeng Nabi Muhammad jika diri ini masih merasa paling benar
sendiri, dan mengabaikan segala perbedaan.
Mari bersama meniti jejak sang rasul dengan terus
berlatih dan berproses menjadi muhammadiyyin sejati. Jika kita NU maka NU kita
adalah NU Muhammadiyyin, jika kita Muhammadiyah maka harus lebih Muhammadiyyin,
menjadi FPI, Persis yang Muhammadiyyin, dan semuanya bersatu dalam barisan
Muhammadiyyin yang rahmatan lil ‘alamin karena Nabi Muhammad Saw
diciptakan oleh Allah sebagai pembawa misi rahmatan lil ‘alamin bukan laknaatan
lil ‘alamin.
Dalam surat Al Anbiya’ ayat 107 Allah Swt berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ (١٠٧)
Artinya : “ dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Rahmat di ayat tersebut berasal dari kata Rahima, yang
berarti kasih sayang. Kasih sayang di sini menjadi titik point penting dalam
ajaran Nabi Muhammad Saw, yaitu menebar kasih sayang kepada alam semesta.
Ajaran kasih sayang ini diajarkan dan dicontohkan Nabi Muhammad Saw dalam
kehidupannya sehari-hari.
Mari bersama meneladani kepribadian agung Nabi Muhammad
Saw, mari meniti jejak-jejak Sang Rasul agar kelak kita diakui sebagai umatnya,
dan mendapatkan karunia berupa syafa’atul udzma. Aamiin... Aamiin ya
rabbal ‘alamin. Shalluu ‘alan Nabi Muhammadin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar