Anak Singkong
Oleh
: Joyo Juwoto*
Sepotong
senja menggantung di langit lazuardi, awan putih menghias dinding-dinding
langit, berarak perlahan, mengambang bagai kapas ditiup angin. Corak langit
sore itu sangat indah dan cerah, menurut bapak dan emakku dulu, jika langit
tampak cerah dengan corak awan putih bersisik-sisik seperti ikan, maka harga
ikan asin di pasar sedang murah. Karena laut sedang banyak ikannya sehingga
nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah.
Saya
tidak pernah mempertanyakan kebenaran dari omongan bapak dan emak saya, karena selain
rumah saya jauh dari laut, baik ikan asin itu sedang turun atau naik harganya,
tetaplah gethuk menjadi menu sarapan terbaik kami sekeluarga. Ikan asin tidak
pernah terbeli selain di waktu-waktu tertentu. Jika kami membelinya itu pun
memilih ikan asin jenis pindang juwi
yang harganya murah. Maklum sebagai petani kecil keluargaku harus bisa
menghemat pengeluaran demi dapur tetap mengepul setiap hari.
Agar
tidak bosan dengan gethuk kadang menunya diganti, itu pun tetap sama varian
dasarnya, yaitu dari singkong. Emakku dan rata-rata penduduk dilingkungan kami
yang juga petani kecil memang kreatif dalam mengolah keterbatasan. Sepotong
singkong bisa menjadi bermacam-macam jenis makanan. Kadang singkong itu
digoreng, kadang digodog, kadang dibuat ketiwul, kadang disredek, dan dibuat berbagai
ragam dan corak menu lainnya, namun hakekatnya tetap sama, yaitu makanan kami sumbernya
tetap sama, yaitu singkong.
Singkong
ibarat pohon kehidupan bagi penduduk kampung kami yang tinggal di tepian hutan.
Daunnya bisa menjadi sayur lodeh yang citarasanya melelehkan air liur, singkongnya
jelas dan terbukti menjadi makanan pokok dan beragam makanan khas lainnya, pohonnya
bisa dipakai kayu bakar, sekaligus bisa dipakai bibit dan ditanam kembali
menjadi singkong-singkong baru. Saya yakin yang dimaksud dalam lagu lawas Koes
Plus “tongkat kayu dan batu jadi tanaman” adalah pohon singkong yang menjadi
pohon kehidupan di kampungku.
Selain
menjadi pokok kehidupan, singkong juga menjadi arena bermaian anak-anak di
kampung saya. Saat siang yang panas, atau saat senja mulai menebar sinar
jingganya, kami biasa bermain-main di sela-sela pohon singkong. Pohon singkong
memang tidak sekokoh pohon jati, tidak pula serimbun pohon beringin, tetapi di bawah
jari-jemari daun singkong kami bisa bersembunyi dari panas saat mencari rumput,
atau saat berlindung dibawahnya membuat rumah-rumahan sambil bermain
wayang-wayangan yang dirangkai dari pelepah daun singkong.
Mungkin
kamu belum pernah dengar ya, wayang dari pelepah daun singkong? Saya sendiri
tidak tahu apakah anak-anak sekarang mengenal model wayang dari pelepah daun
singkong. Tapi saya masing mengingatnya, di waktu kecil paman saya membuatkan
mainan wayang-wayangan yang dianyam dari pelepah daun singkong, sungguh saya
masih ingat betul, dengan wayang itu saya mendalang tanpa pakem dan tanpa
cerita.
Ah, saya banyak berceloteh dan bermonolog membosankan yang
tidak jelas di cerita saya yang tidak awut-awutan ini, walau saya sendiri juga
tidak tahu siapa yang mendengarkan cerita saya, atau bahkan mungkin saya
bercerita dengan diri saya sendiri sebagai pendengarnya. Pokoknya saya merasa
senang dan bahagia menjalani masa kanak-kanak di bawah pohon singkong, bermain
di bawah pohonnya, tumbuh dan berkembang dari hasil umbinya yang diolah menjadi
berbagai macam cemilan khas oleh tangan-tangan pemilik surga di telapak
kakinya. Ah, bahagianya menjadi anak singkong.
*Joyo
Juwoto, Pegiat Literasi di Komunitas Kali Kening Bangilan Tuban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar