Wejangan
Presiden Jancukers di Hari Jadi Tuban Yang ke 724
Oleh
: Joyo Juwoto
Perayaan
hari jadi Tuban yang ke 724 kemarin
berjalan cukup meriah, salah satunya adalah kegiatan yang banyak dinanti oleh
masyarakat yaitu ngaji budaya bersama Cak Nun dan Kia Kanjeng. Pengajian yang
dilaksanakan di alun-alun kota Tuban kemarin cukup meriah dan gayeng, sayang
beribu sayang, saya tidak bisa hadir di acara tersebut.
Cak
Nun dan Kiai Kanjengnya selalu bisa memberikan hal-hal yang baru dan segar di
setiap penampilannya, saya sendiri termasuk penyuka lagu-lagu yang dibawakan
oleh Kiai Kanjeng. Tentang ngaji budaya Cak Nun dan pembangunan konstruksi
pemikiran generasi muda, saya sangat suka, tapi untuk tulisan saya ini saya
ingin mengulas sedikit mengenai apa yang disampaikan oleh bintang tamu sang Presiden
Jancukers Indonesia, Sujiwo Tejo.
Presiden
Jancukers Sujiwo Tejo dalam pembicaraannya di alun-alun kemarin banyak
menggunakan bahasa-bahasa yang dalam, penuh metafor dan juga dengan lagu-lagu
yang digubahnya. Menurut Sujiwo Tejo, tidak ada yang mampu mencipta kecuali
Tuhan, oleh karena itu dia lebih suka menggunakan kata menggubah lagu.
Di
awal berbicara Sujiwo Tejo memperkenalkan lagu kebangsaan Republik Jancukers.
Dalam definisi buku Republik Jancukers (2012), Sujiwo Tejo memperkenalkan
definisi kata “Jancuk” dengan sebuah syair yang luar biasa “Kalau dengan
jancuk pun aku tidak bisa menjumpai hatimu dengan air mata mana lagi dapat
kuketuk hatimu” wis mbuh lah sak karepmu mbah!
Sesudah
membahas kata “Jancuk” lagu kebangsaan Jancukers pun dinyanyikan dengan iringan
musik dari Kiai Kanjeng. Setelah membahas kalimat itu, Sujiwo Tejo membahas
mengenai wayang, tentang kesejatian dalam pralambang cerita Bambang Ekalaya
yang berguru pada Resi Durna. Karena tidak bisa berguru secara langsung,
Ekalaya berguru pada patung Resi Durna di tempat latihannya di hutan Parang
Gelung. Walau demikian kemampuan memanah Ekalaya mampu mengalahkan Arjuna yang
berguru secara langsung kepada Resi Durna.
Di
akhir acara, Sujiwo Tejo membahas dan menjabarkan dengan indah dan syahdu
mengenai makna keikhlasan yang diambilkan dari ajaran Raden Sosro Kartono
(Kakak RA. Kartini). Ajaran itu tertulis di nisan beliau yang ada di kota
Kudus. Bunyi ajaran itu sebagai berikut :
“Sugih
tanpa bandha
Digdaya
tanpa aji
trimah
mawi pasrah
sepi
pamrih, tebih ajrih
Langgeng
tanpa susah, tanpa seneng
anteng
mantheng
sugeng
jeneng”
Ajaran
adi luhur dari Raden Sosro Kartono ini juga telah digubah oleh Sujiwo Tejo menjadi
sebuah lagu yang bercengkok Banyuwangi. Saya termasuk orang yang ngefans dengan
lagu-lagu yang digubah dan dinyanyikan oleh Presiden Jancukers Indonesia itu.
Dalam
filosofi wayang, Semar berkata seseorang itu harus memiliki sifat Tadah,
Pradah, Ora Wegah. Tadah adalah tiada doa lain kecuali alhamdulillah.
Pradah bermakna ikhlas, ora wegah bermakna saguh, atau siap menjalankan amanah
dengan sebaik mungkin. Siapapun yang
memiliki sifat tadah, pradah, dan ora wegah, tidak perduli apakah ia
kaya atau miskin, apabila dia membutuhkan segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan-urusannya,
maka Gusti Allah akan mengijabahi permintaannya.
Di
akhir acara ngaji bareng Cak Nun, masing-masing narasumber mengakhiri pertemuan
malam itu dengan kalimat inti dan closing statement. Sebagaimana biasanya Sujiwo Tejo menutup pertemuan itu dengan kalimatnya yang fenomenal yang berbunyi :
“Menghina
Tuhan nggak harus menginjak-injak kitab suci-Nya, nggak harus memain-mainkan nama Rasul-Nya. Besok khawatir kau tidak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan”
Demikian
sedikit hal yang dapat satu tulis dan saya rangkum dari wejangan Presiden
Jancuker Indonesia. Salam Rahayu.
Wejangan terakhir sangat sufi sekali. Aku juga lagi mikir2 bikin artikel terkait sufisme masyarakat desa yg membuat orang desa sangat sederhana dalam memaknai kehidupan. :-D
BalasHapus