Google.com |
Ajaran Dari Raden Sosro Kartono
Oleh : Joyo Juwoto
Hari-hari ini saya sedang
gandrung-gandrungnya menyanyikan lagu yang digubah oleh Sujiwo Tejo yang
diadobsi dari ajaran Raden Sosro Kartono, kakak dari Pahlawan emansipasi wanita
Indonesia, Raden Ajeng Kartini. Lagu
ini saya pakai rengeng-rengeng sambil saya resapi dan saya selami makna dan
artinya.
Selain menelusuri arti dan makna, saya
juga berusaha menangkap daya kekuatan dan mewadahi cahaya spiritual yang
terpancar dari setiap kata-kata yang terangkai dalam falsafah tersebut, agar
lagu ini tidak hanya sekedar lagu namun memiliki kekuatan positif yang merasuk
dalam setiap pori-pori kehidupan.
Berikut
saya kutipkan syair dari lagu berbahasa Jawa tersebut :
Sugih tanpa bandha
Digdaya tanpa aji
trimah mawi pasrah
sepi pamrih, tebih ajrih
Langgeng tanpa susah, tanpa seneng
anteng mantheng
sugeng
jeneng”
Bagi masyarakat selain Jawa tentu akan
kesulitan memahami bahasa tersebut, namun juga tidak menjamin setiap orang Jawa
telah paham falsafah agung yang terangkai dalam bahasa ibu mereka. Ajaran dalam
syair lagu ini memang menggunakan kata-kata yang berlapis, yang harus kita
kupas satu persatu isi dan maknanya.
Sugih tanpa bandha
Falsafah sugih tanpa bandha ini
mengingatkan saya dengan sebuah mahfudhot yang berbunyi “Al Ghaniyyu
Ghaniyyun Nafsi” artinya orang yang kaya itu adalah yang kaya jiwanya. Kekayaan
yang kita miliki harus kita sadari bahwa itu hanyalah titipan belaka, kekayaan
itu hanya akan menjadi benda material belaka tanpa arti, yang tidak akan kita bawa
mati kecuali harta yang kita pakai untuk kebaikan.
Didaya tanpa aji
Digdaja tanpa aji memiliki makna kuat tanpa
perlu memakai azimat. Seseorang kadang menginginkan punya kesaktian
lebih dengan laku tirakat, mengamalkan ilmu-ilmu kedigdayaan agar sakti
mandraguna. Tapi pada hakekatnya tidak ada yang memiliki kekuatan dan kesaktian
kecuali hanya Tuhan. Dalam falsafah Jawa lainnya dikatakan “Ora ana kasekten
kang bisa madani pepesthen” tidak ada kesaktian apapun di dunia ini yang mampu menolak takdir
dan kepastian dari Tuhan. Oleh karena itu jika kita memiliki kesaktian dan
kekuatan linuwih jangan merasa sombong, karena di atas langit masih ada
bentangan langit yang tak terbatas.
Tidak ada di dunia ini kesaktian dalam
bentuk apapun yang tidak memiliki kelemahan, hanya kebaikan dan sifat luhur
budi saja yang akan bertahan di setiap waktu dan tempat. Sura dira jaya
diningrat lebur dening pangestuti.
Trimah mawi pasrah
Menerima segala takdir dan ketentuan
Tuhan adalah cara terbaik dalam menjalani laku kehidupan. Orang Jawa mengatakan
“Urip mung sakderma nglakoni” hidup hanyalah sekedar menjalankan titah Tuhan di
muka bumi. Oleh karena itu kepasrahan kepada segala ketentuan dan garis Tuhan
adalah cara terindah dalam menjalani takdir kita di dunia ini. Setiap saat
pujian dan doa kita hanyalah “alhamdulillah”.
Sepi Pamrih, Tebih ajrih
Sepi ing pamrih rame ing gawe, sudah
menjadi sesanti masyarakat kita. Hidup tak memiliki pamrih untuk hidup itu
sendiri, namun hidup hanyalah untuk Yang Maha Hidup. Hidup hanya untuk Tuhan,
jalan ketuhanan, dari Allah untuk Allah dan menuju Allah. Oleh karena itu tidak
perlu kita takut dengan kehidupan ini. Doa yang kita panjatkan adalah “laa
hawwla wa laa quwwata illa billah”.
Jika empat point ajaran di atas telah
merasuk dalam jiwa dan kehidupan kita maka hal yang akan kita capai adalah “langgeng
tanpa susah, tanpa seneng”. Kita akan mencapai maqam yang oleh
Cak Nun dikatakan sebagai “Laa syarqiyyah wa laa gharbiyyah” maqam yang
dalam dunia pewayangan digambarkan sebagai sosok Semar. Sosok yang telah
memahami alam hakekat, sehingga baginya antara senang dan susah tidak ada garis
pemisah.
Anteng Mantheng adalah sikap
batin yang telah mencapai kesejatian hidup, jiwanya tidak goyah dan terpesona
dengan gebyarnya dunia. Hatinya tenang tidak tergoda dengan segala tetek
bengeknya dunia. Orang yang hatinya anteng mantheng tinggal selangkah menuju
singgahsana Tuhan. Bahkan Tuhan dengan mesra akan memanggilnya “Yaa ayyatuhan
nafsul muthmainnah, irji’ii ila Rabbiki raadiyatam mardiyyah, fadkhulii fii
ibaadii fadkhulii jannatii”.
Jika seseorang telah anteng dan mantheng hatinya maka dipastikan kelak ia akan
mendapat sebutan yang baik atau sugeng jeneng, ingkang
suwargi, atau dalam bahasa agamanya dikenal dengan sebutan almarhum yang
hidup di alam keabadian dan kelanggengan.
Betul banget...
BalasHapusEmpat poin yang mengajarkan pada kita, bahwa di dunia ini kita hanya sekedar mampir ngombe lan numpang ngiyup.
BalasHapusJadi, kita harus selalu bersyukur dan tak perlu sombong.
Matur suwun atas pencerahannya, Mbah..
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusMbah woto anchen juozzz
BalasHapus