Oleh
: Joyo Juwoto
Buku-buku
yang terlahir dari pena sastrawan dari Blora ini cukup banyak, Pram termasuk
penulis produktif yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Tidak hanya produktif,
karya dari Pramoedya Ananta Toer ini juga memiliki ruh yang selalu hidup dan berdenyut
hingga sekarang di nadi ideologis para pecintanya, begitu juga karya Pram masih menjadi
hantu yang gentayangan di kepala para pembencinya.
Semboyan
Pram menulis adalah tugas pribadi dan tugas nasional, oleh karena itu
disepanjang hidupnya ia selalu menulis, menulis dan menulis. Dengan segala
keterbatasannya Pram tidak menyerah oleh keadaan. Walau dalam penjara ia terus menulis. Berkat kegigihannya dalam
menulis, tidak kurang dari 50 buah judul buku yang terlahir dari goresan
tintanya. Sayang, tidak semua karya Pram bisa dinikmati dan dideras oleh para
pembacanya, karena beberapa bukunya musnah diterkam kepicikan dan kekerdilan cara
berfikir dalam khasanah tradisi literasi bangsa ini.
Saya
kadang tidak habis pikir, lembaran-lembaran kertas yang dijilid menjadi sebuah
buku bisa begitu ditakuti, dan menjelma menjadi momok yang menakutkan bagi
penguasa kala itu. Saya sebenarnya bertanya-tanya, sudahkah buku-buku itu
dibaca kemudian apakah benar buku-buku Pram berbahaya? Saya tidak yakin,
kelompok-kelompok tertentu yang membakar buku Pram tahu isi dari apa yang telah
ditulis oleh Pram. Jangan-jangan hanya karena prasangka, buku itu menjadi
korban vandalisme yang yang jauh dari nilai-nilai berkeadaban.
Dosa
apa yang dikandung oleh bukunya Pram sehingga buku itu harus dibakar dan
dimusnahkan? Seharusnya sebuah buku itu dibaca bukan dibakar. Saya jadi
teringat sebuah tulisan yang di pasang di dinding depan Pataba, “Bacalah bukan
bakarlah!” Karena tulisan itu sudah terlalu mainstream dan lama menempel di
sana, oleh Pak Soesilo Toer sebenarnya tulisan itu mau diganti menjadi begini :
“Bacalah, dan bakarlah...,” untuk titik-titiknya bisa diisi sendiri oleh para
pembacanya sesuai dengan selera dan mood yang dirasakan saat membaca.
Sejauh
yang saya ketahui dan saya baca dari bukunya Pram, saya merasa biasa saja ketika
membaca karya-karya beliau. Tidak ada hantu menakutkan di dalam tulisan Pram.
Saya mungkin terlalu lugu untuk bisa menilai sebuah tulisan, namun setidaknya
saya membaca tuntas buku-buku itu dan saya tidak pernah menemukan hal-hal yang
dianggap membahayakan setidaknya menurut nilai-nilai kemanusiaan yang selama
ini saya pahami.
Tradisi
vandalisme pembakaran buku memang tidak hanya terjadi pada buku Pram, jauh
sebelum itu pembakaran buku-buku yang dianggap berbahaya kerap dilakukan oleh
kelompok-kelompok yang merasa punya legalitas terhadap kebenaran sebuah teks. Bukan
sejarah baru sebuah buku harus lenyap dengan cara yang tidak manusiawi.
Alasan
pemusnahan buku-bukunya Pram mungkin saja ada hubungannya dengan keterlibatan
beliau dalam sayap organisasi partai yang saat itu dilarang oleh pemerintah,
tetapi seperti yang saya katakan di atas bahwa sejauh yang saya ketahui tulisan
Pram sama sekali tidak ada hubungannya dengan partai-partain itu. Saya tidak
sedang memberikan pembelaan terhadap Pram, toh ia sudah membayarnya dengan
banyak menghabiskan sebagian besar hidupnya di penjara sebagai konsekuensi dari sikap yang dipilihnya.
Kalau
mungkin ada yang tidak setuju dengan pendapat dan pandangan saya maklum saja,
karena setiap manusia tentu memiliki pandangan yang berbeda-beda. Namun saya
hanya ingin memandang dengan kaca mata keadilan terhadap apa yang telah ditulis
oleh Pram, bahwa Pram adalah penulis yang sangat peduli dan dipenuhi cinta
terhadap tanah air di mana dipijaknya.
Di
tulisan ini saya hanya ingin menegaskan sebagaimana yang ditulis oleh Pram
dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja”, bahwa tugas manusia ialah menjadi
manusia itu sendiri, sehingga tidak layak jika sesama manusia tidak berlaku
secara manusiawi. Kita sebagai manusia harus saling mengasihi, saling
menghargai, saling asah-asih dan asuh guna mewujudkan kehidupan yang baik dan
beradab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar