Mahabbatullah
Oleh : Joyo Juwoto*
Mahabbatullah atau mencintai Allah, adalah kecenderungan hati
seorang hamba untuk cinta kepada Allah Swt. Mahabbatullah ini menjadi salah satu jalan
yang dipakai oleh para pencari Tuhan untuk berma’rifat kepada-Nya. Di dalam Al
Qur’an sendiri, konsep mahabbatullah ini
banyak tersebar di dalam berbagai ayat. Diantaranya
adalah :
1.
Dalam surat Al-Maidah ayat 54, “Hai orang-orang yang beriman,
Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”.
2.
Dalam surat Ali Imron ayat 31, “Katakanlah: "Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
3.
Dan surat Al Baqarah ayat 165, “Dan diantara manusia ada
orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman Amat sangat cintanya kepada Allah”.
Selain itu banyak sekali ulama-ulama yang mengkaji dan
menginterpretasikan konsep mahabbatullah ini di dalam kegiatan ubudiyyahnya
sehari-hari. Sehingga konsep mahabbatullah ini bukanlah sesuatu yang asing di
dalam perjalanan sejarah peradaban umat Islam. Di dalam Kitab Risalah
Qusyairiyah dinyatakan bahwa :
“Adapun mahabbah (cinta)
seorang hamba kepada Allah adalah suatu keadaan di mana si hamba
mendapatkan /merasakan cinta itu dari hatinya suatu perasaan yang amat halus, sulit sekali untuk digambarkan.”
Begitulah penggambaran mahabbatullah, baik dari ajaran Al Qur’an maupun
dari pemaparan para ulama, di mana seorang hamba akan merasakan cinta yang
sangat kepada Tuhannya, cinta yang hanya dapat dirasakan namun sulit untuk
digambarkan dengan rangkaian kata-kata yang indah sekalipun.
Di dalam perjalanan perjalanan spiritual para sufi, kita mengenal
seorang tokoh sufi perempuan bernama Rabi’ah Al Adawiyah, yang hidup sekitar
tahun 95 M di kota Basrah. Rabi’ah ini memasukkan unsur mahabbatullah dalam
kehidupan asketisnya. Menurut Rabi’ah maqam mahabbatullah adalah puncak tasawuf
tertinggi, melebihi maqam lainnya, seperti maqam Khawf (rasa takut) dan maqam
ar-Raja’ (pengharapan). Begitu juga dengan ulama-ulama lain seperti
Muhyiddin Ibn’ Arabi yang menyatakan bahwa cinta adalah stasiun tertinggi jiwa
untuk menuju Tuhannya.
Ibn al-Faridh yang mendapat julukan sebagai raja para pecinta
(Al-Asyiqin) yang hidup sekitar tahun 576 H, dalam satu syairnya mengatakan :
“Siapa yang tak mati karena cinta kepada Allah, tidaklah dia hidup
bersama-Nya”. Oleh karena itu konsep cinta Ibn al-Faridh adalah fana’ fillah
dalam mengarungi samudera kehidupan ini, seorang yang fana’ tidak akan
terpengaruh dengan pesona dan daya tarik kehidupan duniawi yang melenakan.
Cinta kepada Allah atau
mahabbatullah inilah yang akan menghantarkan perjalanan suluk seorang hamba
menuju Tuhannya, cinta yang suci dan murni inilah yang akan menjadi jalan
penyaksian kesatuan hamba dengan Tuhannya, atau dalam khasanah sufisme Jawa
dikenal sebagai term Manunggaling Kawula Gusti.
*Joyo Juwoto,
Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Diantara buku yang ditulisnya
adalah: Jejak Sang Rasul (2016); Secercah Cahaya Hikmah (2016), Dalang Kentrung
Terakhir (2017,) dan menulis beberapa buku antologi bersama Sahabat Pena
Nusantara dan beberapa komunitas literasi lainnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar