Oleh
: Joyo Juwoto
KH.
Misbah Zainil Mustafa Bangilan atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Bah,
adalah seorang ulama yang alim, wira’i dan seorang Kiai yang insya Allah ma’rifatullah.
Banyak kitab-kitab yang ditulis dan diterjemahkan oleh beliau ini, bahkan Mbah
Bah juga menulis tafsir Al Qur’an 30 juz yang diberi nama kitab Al Iklil Fi Ma’ani
at Tanzil. Di Bangilan sendiri tidak banyak ulama yang seperti beliau.
Dahulu
saat Mbah Misbah menerjemahkan kitab-kitab klasik para ulama beliau dibantu
oleh seorang santri lulusan Gontor, namanya Moehaimin Tamam. Selain
menerjemahkan kitab tentu anak muda yang baru saja lulus dari pesantren di
Ponorogo ini juga digunakan untuk nyantri dan menyerap ilmu dari Kiai Mbah
Misbah. Sehingga tidak aneh jika suatu saat kelak, santri ini juga punya
keinginan mendirikan pondok pesantren, sebagaimana Mbah Misbah juga mendirikan
pondok sebagai media dakwah di tengah masyarakat.
Sebagai
seorang yang alim dan arif billah tidak mengherankan jika dakwahnya Mbah Misbah
di Bangilan khususnya di wilayah Karang Tengah Bangilan meninggalkan atsar pagi
masyarakat. Hal ini terbukti bahwa ditempat mbah Misbah mendirikan pesantren,
dulunya tempat itu masyarakatnya awam agama, dan jauh dari cahaya Islam.
Seiring dengan perjalanan waktu, dengan penuh kesabaran, keihklasan dan
keistiqamahan berdakwah, maka tempat yang dulunya belum mengenal Islam itu lama
kelamaan diterangi dengan diinullah yaitu agama Islam.
Oleh
karena itu jalan di sekitar pondoknya Mbah Bah disebut sebagai jalan Soponyono,
karena siapa mengira tempat yang awalnya adalah tempat masyarakat awam agama,
sekarang menjadi tempat yang dihuni oleh masyarakat santri, yang esok, siang,
dan malam hari sibuk mengaji dan menderas kitab suci. Oleh karena itu jalan di
dekat pondoknya mbah Misbah oleh masyarakat di sebut sebagai jalan Soponyono
(Siapa menyangka).
Jika
seorang hamba Allah telah diterangi cahaya Ilahi, maka nur ma’rifat ini yang
akan menuntunnya dalam melangkah memperjuangkan agama Allah Swt, terbukti
dengan kiprah mbah Kiai Misbah di Bangilan yag berhasil menyalakan obor hidayah
di tengah gelap gulitanya masyarakat di mana beliau berdakwah.
Diantara
tanda dari arif billahnya Mbah Misbah adalah sebuah dawuh ketika beliau ini sedang perjalanan Dan sampai di Jalan raya selatan Makam Kaji yang ada di dusun Punggur Desa Banjarworo Bangilan. Saat
itu mbah Misbah bilang kepada santri yang nderekke beliau :
“Ngger!
besok ning tanah kuwi bakal ngadek pondok pesantren sing gedhe!”
Dawuh
mbah Misbah sambil mengarahkan jari telunjukknya ke arah lembah persawahan yang
ada di selatan makam Kaji.
Santri
yang nderekke mbah Misbah pun menyahut, “Nopo mboten teng tanah meniko, Yai?
Tanya
santri kepada mbah Bah, sambil menunjukkan satu tanah yang agak tinggi di sebelah timurnya lembah persawahan
yang ditunjuk oleh Mbah Misbah.
Mbah
Misbah hanya menjawab : “Ora...ora, sing siseh kono!”
Dawuhnya
Mbah Bah ini diucapkan berkenaan dengan santri beliau yang membantu
menerjemahkan kitab. Ya seorang santri yang saya ceritakan di awal tadi.
Moehaimin Tamam bukanlah anak Kiai, beliau adalah putra Pak Badrut Tamam,
seorang pedagang sukses di Bangilan. Hanya saja Pak Badrut Tamam ini sangat
cinta dan hormat kepada Kiai. Hormat dan takdzimnya Pak Badrut Tamam inilah
yang mungkin menjadi salah satu sebab anaknya kelak menjadi seorang Kiai dan
akhirnya mendirikan pondok pesantren yang dikenal dengan nama Ponpes ASSALAM
Bangilan Tuban.
Santri
dari Gontor yang saya ceritakan tadi, yang juga Kiai saya, yaitu KH. Abd.
Moehaimin Tamam, sebelum mendirikan pondok di Punggur, telah mendirikan Pondok
Pesantren di Weden, kemudian pindah ke Bangilan. Dari Bangilan inilah pondok
pesantren ASSALAM yang didirikan oleh KH. Abd. Moehaimin Tamam akhirnya
melebarkan sayapnya mendirikan pondok pesantren ASSALAM putra, tepat di lokasi
yang ditunjuk oleh jari ma’rifatullahnya Mbah Yai Misbah Zainil Mustofa.
Wallahu a’lamu bis Showab.
mastabs utadz....
BalasHapusMantap mbah joyo, memang sudah terbukti dari pelosok ujung kota sudah banyak yang nyantri disana.
BalasHapusMatur suwun, lan pandunganipun selalu mas Andhika...
Hapus