Majelis
Warung Kopi Pra Bedah Buku
Oleh :
Joyo Juwoto
Beberapa
hari yang lalu saya dihubungi via Whatsap oleh Mas Mutholibin, salah seorang
aktivis literasi di kota Tuban. Beliau ini meminta saya untuk mengisi acara
bedah buku di pondok pesantren Raudhlatut Thalibin Tanggir, yang menjadi bagian
dari rangkaian kegiatan haul KH. Munawir Muslih dan Masyayikh pondok. Dengan tanpa banyak berfikir, saya mengiyakan
ajakan beliau ini. Walau akhirnya saya merasa gamang dan menyesal setelah
mengiyakannya. Buku yang dibedah adalah buku saya yang berjudul Secercah Cahaya
Hikmah. Karena tidak ingin menjadi orang yang lain esuk tempe sore dele,
akhirnya saya memantapkan diri dan hati untuk menaiki panggung panas itu. Ah..sekali-sekali
kan kita juga butuh yang hot-hotkan !
Ketepatan
memang saya belum pernah membedah buku-buku saya, jadi saya anggap ini adalah
rejeki dan anugerah dari Tuhan yang tidak baik jika ditolak. Apalagi saya dapat
kabar dari Mas Mutholibin bahwa pembanding saya nanti adalah seorang begawan literasi
di Tuban, yaitu Mas Aam, Penulis Buku Jomblo Revolusioner. Saya merasa senang nantinya bisa bertemu
dengan sang idola dalam menulis, hal ini mungkin yang juga memberikan energi
keberanian bagi saya untuk bilang iya kepada Mas Mutholibin tempo hari. Demi
ketemu sang idola kadang memang seseorang perlu bertindak gila, atau minimal
perlu bondo nekatlah.
Di hari
H, (Kamis, 20 Juli 2017) segera saya hubungi Ikal Hidayat Nur, seorang penyair
dan cerpenis melankolis dari kota B. Saya minta mas Ikal ini menemani saya ke
acara bedah buku. Karena soal yang ginian ini Mas Ikal adalah jagonya. Saya dan
Mas Ikal kemudian berangkat berboncengan motor menuju Tanggir. Lima belas menit
kemudian sampailah kami di dekat pondok, dan kami bertemu Mas Mutholibin yang
ternyata telah sampai duluan dan menunggu kami di warung kopi di pojokan
pondok.
Mas
Mutholibin kemudian menawari kami kopi, tentu tanpa syarat kami mengiyakannya
saja. Kami bertiga kemudian nyangkruk di warung kopi sambil menunggu konfirmasi
dari pihak pondok untuk memulai acara. Baru seteguk kopi berselang, Mas Aam
datang. Dengan senyumnya yang khas jomblo berkelas, beliau kemudian bergabung
dengan kami bertiga.
“Halo
bro..” sapa Mas Aam ceria, sambil turun dari motornya.
Mas Aam
yang baru datang kemudian bergabung dengan kami, beliau memesan segelas es teh
dingin.
Selanjutnya
obrolan dan guyonan ceria, mewarnai pertemuan kami di warung itu. Yah, obrolan
ngalor-ngidul beragam tema khas warung kopi, yang merekatkan hubungan sosial di
tengah masyarakat. Menurut saya pemerintah punya hutang moral yang besar kepada
institusi yang bernama warung kopi ini. Tanpa menggantungkan kucuran dana dari
pemerintah, warung kopi memiliki peran aktif ikut menjaga dan melestarikan
nilai-nilai keberagaman di tengah masyarakat.
“Mas,
doyan walang ta?” kata Mas Aam menawari kami beberapa bungkus gorengan walang
beras yang dibawanya dari Jatirogo.
“Wah,
iki senenganku Mas!”, jawab saya spontan sambil mengambil sebungkus plastik
gorengan walang. Saya memang penghobi kuliner walang goreng, jadi begitu
ditawari, langsung saja belalang-belalang itu beterbangan ke mulut saya.
Mas Ikal
sendiri kayaknya gak minat dengan kuliner walang, begitu juga dengan Mas
Mutholibin. Hanya saya dan Mas Aam yang menghabiskan camilan ekstrim super
pedas itu.
Setelah
secangkir kopi saya habis, Mas Mutholibin mengajak kami cus ke lokasi, karena
acara segera dimulai. Kami pun meluncur ke lokasi yang hanya berjarak sekitar
lima puluhan meter dari warung kami nyangkruk.
Setiba
di pondok, kami disambut baik oleh Gus Fuad, pengasuh pondok pesantren
Raudlhatut Thalibin. Gus Fuad ini ternyata sangat akrab dengan dunia literasi,
beliau bercerita bahwa dulu saat mondok di Makkah, beliau sering bertemu dan
bergaul dengan para aktivis literasi dari FLP cabang Makkah. Tidak heran jika
beliau menggagas acara bedah buku di pesantrennya.
Kami
tentu sangat mengapresiasi dan bangga dengan sosok Gus Fuad, yang memberikan
perhatian dan mendukung gerakan literasi di pesantren yang beliau asuh.
Sehingga dalam acara haul masyayikh pondok, kegiatan bedah buku menjadi salah
satu dari rangkaian agenda kegiatan.
Pengasuh
pondok pesantren Raudlhatut Thalibin ini berharap kelak santri-santri bisa
menjadi penulis yang baik, dan sadar berliterasi, karena santri adalah ujung
tombak bagi keberlangsungan peradaban bangsa dan negara, karena kemajuan suatu
bangsa tidak terlepas dari dunia literasi juga.
Semangat menulis mbah. Kpn2 aku melu nak ono neh ben tambah pengalaman. 😁😜
BalasHapusAlhamdulillah....
BalasHapus