Oleh
: Joyo Juwoto
Syahdan
disebuah negeri antah berantah, terdapat sebuah kerajaan yang dipimpin oleh
seorang raja yang adil dan bijaksana. Sang Raja selalu memperhatikan kondisi
dan keadaan rakyatnya secara menyeluruh, sehingga ia menugaskan kepada para
punggawa kerajaan untuk selalu keliling kampung-kampung, guna melihat dan
melaporkan kondisi terkini dari rakyat yang dipimpinnya.
Namun
sayang perhatian Sang Raja kepada rakyatnya melalui para punggawa itu
diselewengkan dan tidak dikerjakan dengan amanah. Khususnya sikap dari Sang
Patih kerajaan sebagai penanggung jawab dari tugas Raja, Patih ini selalu
memberikan laporan yang menyenangkan Sang Raja, seakan tidak pernah ada masalah
yang terjadi atas rakyat yang dipimpinnya.
Suatu
ketika, di sebuah perkampungan dipinggiran dari kerajaan terjadi suatu musibah.
Entah sebabnya apa, kampung itu para lelakinya sama meninggal dunia, yang
tinggal hanya para janda-janda tua yang lemah. Namun ajaib ada seorang pemuda
yang selamat dari musibah yang aneh itu. Sebut saja namanya Jaka. Maksud hati,
Jaka ingin meninggalkan kampungnya yang telah mati. Tapi hatinya tidak tega
melihat janda-janda tua yang nantinya akan mati satu persatu karena wabah lapar
yang melanda mereka. Nasib mereka tentu tidak ada yang mempedulikannya. Dan
tinggal Jaka seorang diri.
“Apa
yang harus aku lakukan? orang-orang itu membutuhkan makanan untuk menyambung
hidupnya, sedang tanah di kampung ini sedang dilanda paceklik, dan tidak ada
yang bisa saya lakukan” pikir Jaka.
Jaka
bingung, ia merenung seorang diri, apa yang harus dilakukannya ? Karena tidak
memiliki keahlian apapun Jaka berfiir untuk menjadi pencuri saja, mencuri
makanan yang digunakan untuk menyelamatkan puluhan nyawa yang tak berdaya di
kampungnya. Jika para pencuri yang
diincarnya adalah harta kekayaan, lain dengan Jaka, ia adalah seorang pencuri
spesialis makanan yang ada di rumah-orang-orang kaya. Ia tidak mau mengambil
lebih daripada makanan. Karena memang niatnya hanya untuk memberi makan para
janda-janda tua yang tidak berdaya.
Dengan
menggunakan pakaian hitam-hitam, Jaka hampir setiap malam keliling
kampung-kampung disekitarnya, menyilap masuk rumah dan menguras makanan yang
ada di rumah orang-orang kaya. Jaka dalam menjalankan aksinya menggunakan nama
samaran Maling Aguna.
Pada
suatu kesempatan, dii istana kerajaan, Sang Raja sedang mengadakan pasewakan
agung, dalam rangka mendengarkan kondisi yang terjadi di tengah-tengah rakyat.
Para punggawa beserta sang Patih menghadap Sang Raja, mereka melaporkan hasil
blusukannya ke kampung-kampung. Seperti biasa Sang Raja yang duduk di atas
singgahsana mendengarkan dengan seksama apa yang dilaporkan oleh para
bawahannya.
“Wahai
Sang Patih, bagaimana kondisi rakyatku di luar sana? tanya Sang Raja kepada
patih yang duduk di sebelahnya.
“Ampun
Paduka Raja, berdasarkan pengamatan para petugas kerajaan, rakyat di luar sana
dalam kondisi yang makmur, turah sandang, turah pangan. Masyarakat tata tentrem
kerta raharja, gemah ripah lohjinawe” Atur Sang Patih kepada Paduka Raja.
Setiap
ada pertemuan kerajaan, selalu kata itu yang diucapkan oleh Sang Patih,
berulang-ulang dan tidak ada yang berubah, sedangkan para punggawa yang lain
hanya mengiyakan dan sendiko dawuh atas laporan dari Sang Patih.
“Jika
memang kondisinya demikian, maka pertemuan kali ini cukup sekian” begitu titah
Sang Raja, kemudian ia undur diri meninggalkan pasewakan agung kerajaan. Raja
sebenarnya kecewa, karena setiap pertemuan dari waktu kewaktu, seakan laporan
dari bawahannya hanya satu lagu, itu-itu saja. Raja menjadi bosan.
Di
tengah kebosanannya, Sang Raja akhirnya berkeinginan untuk keluar istana
sendiri. Beliau ingin melihat dan mendengar langsung kondisi rakyat di luar
dinding istana. Apakah yang dikatakan oleh bawahannya memang benar adanya.
Sang
Raja kemudian menyamar dengan memakai pakaian rakyat jelata, tanpa pengawalan
beliau keluar istana dengan diam-diam. Di luar dinding istana ternyata
keadaannya sungguh mencengangkan, Sang Raja bisa melihat secara langsung
kondisi rakyat yang dipimpinnya. Sang Raja terus berjalan dari satu tempat ke
tempat yang lain, dari satu kampung k kampung lainnya. Hingga pada suatu malam
beliau sampai di sebuah tanah lapang, di situ ada pesta rakyat pasar malam.
Berbagai macam tontonan digelar, orang-orang sama berdatangan, melihat tontonan
pasar malam.
Di
sana-sini para pedagang juga banyak yang berjualan, menggelar dagangannya. Ada
penjual singkong goreng, penjual tahu, penjual kacang, dan aneka ragam makanan
lainnya. Di sudut lapangan, ada seorang tua yang menggelar tikar, pak tua itu
duduk sendiri diterangi oleh obor yang menyala-nyala. Tidak ada seorang pun
yang datang mendekat, karena memang tidak ada satu pun makanan atau barang yang
dijualnya. Karena penasaran sang Raja yang menyamar pun mendekat.
“Wahai
Pak Tua, apa yang sedang engkau lakukan di tempat keramaian ini? apakah engkau
sedang menjual sesuatu?
“Wahai
orang asing, saya memang sedang jualan, dan yang saya jual itu ilmu, namun
sayang tidak ada yang datang mendekat” jawab si bapak tua tadi.
“Memang
ilmu apa yang engkau jual pak tua? apakah ilmu kesaktian, kedigdayaan, atau ilmu
sihir? selidik Sang Raja lebih jauh.
“Bukan
Kisanak, saya menjual ilmu yang sangat bermanfaat, jika Kisanak bersedia
membeli, setiap dua kalimat Kisanak harus membayarnya seharga dua keping dirham,
dan nanti akan lanjut ke kata berikutnya, juga berlaku harga yang sama” jawab
Pak Tua yang aneh itu.
“Wah!!!
sangat mahal sekali, dua kalimat seharga dua dirham”
“Jika
engkau tidak bersedia, ya tidak apa-apa, silahkan pergi dari sini” jawab pak
tua.
Tapi
karena Sang Raja penasaran dengan penawaran pak tua tadi, akhirnya Sang Raja
memutuskan untuk membeli ilmu yang ditawarkan oleh pak tua tadi.
“Baiklah
Pak Tua, saya membeli ilmu yang engkau jual” Jawab Raja.
“Dengarkan
wahai kisanak, ilmu yang saya berikan tidak akan saya ulang, oleh karena itu
dengarkan baik-baik” Kata pak Tua melayani permintaan calon pembeli ilmunya.
“Tinimbang
turu aluk tenguk-tenguk” sudah kisanak, itu dua kalimat yang harus engkau
bayar dengan dua dirham, sini uangnya. Pinta Pak Tua sambil menyodorkan
tangannya kepada Sang Raja yang menyamar.
Sang
Raja bingung, dua kalimat itu dikatakan sebagai ilmu yang bermanfaat, lalu apa
manfaatnya? pikir sang raja.
Seperti
tahu yang dipikirkan oleh pembelinya,Pak Tua berkata : “Jika engkau ingin tahu
kelanjutannya, engkau harus membayar dengan harga yang semisal, Kisanak”
“Baiklah, lanjutkan, nanti akan saya bayar
semuanya”, jawab Sang Raja dengan agak jengkel.
“Hehe...hehe...baiklah,
tapi jangan lupa, kau bayar sejumlah kalimat yang akan aku sampaikan, dan
dengarkan baik-baik, karena aku tidak akan pernah mengulanginya lagi” jawab Pak
Tua sambil terkekeh.
“Tinimbang
tenguk-tenguk aluk njongok, tinimbang jongok aluk ngadeg, tinimbang ngadeg aluk
mlaku, tinimbang mlaku nganggur, aluk mlaku sing ana tujuane. Tinimbang mlaku
ana tujuane aluk mlaku ngubengi omah, tinimbang mlaku ngubengi omah aluk mlaku
ngubengi kampung”
“Sudah
itu ilmu yang aku jual kepada engkau Kisanak,dan bayarlah sesuai dengan
kesepakatan awal kita”
Walau
masih terheran dan penasaran dengan ilmu yang dibelinya, Sang Raja pun membayar
permintaan dari Pak Tua. Kemudian ia pun pergi meninggalkan tanah lapang yang
mulai sepi. Sambil berjalan Sang raja merenungi ilmu yang telah diterimanya
dari Pak Tua yang aneh itu.
Sang
Raja terus berjalan di tengah kegelapan malam, hingga sampailah ia disebuah
pertigaan jalan perkampungan, saat itu kondisi sangat sepi.
Tiba-tiba
dari arah jalan di depan Raja muncullah seorang yang berpakaian hitam-hitam.
Lelaki yang berpakaian hitam itu kaget, spontan ia berkata : “Hah! siapa kamu,
malam-malam keluyuran di tempat ini! Sang Raja yang menyamar pun tak kalah
kagetnya, ia pun menjawab sekenanya, “Aku maling Sakti” Kamu siapa? “Aku Maling
Aguna” Jawab laki-laki berpakaian hitam tadi.
“Owh,
kita sama-sama maling ya, ayo nanti tak tunjukkan tempat yang banyak harta
benda yang dapat kita curi” Ajak maling Sakti kepada sahabat barunya, Maling
Aguna.
“Baiklah,
tapi saya initidak pernah maling harta benda, saya hanya maling nasi dan
makanan saja. Kampungku kena musibah, penduduknya hanya tinggal janda-janda tua
yang tidak ada yang memberikan makan, oleh karena itu saya mencuri makanan
untuk mereka” Jawab Maling Aguna.
Singkat cerita mereka berdua kemudian pergi ke
Istana Raja untuk mencuri.
“Tempat
apa ini kok indah sekali, banyak makanan pula? tanya Maling Aguna kepada Maling
Sakti.
“Ini
adalah istana Raja, dia bukan orang baik, ayo kita ambil dan kita habiskan
harta-hartanya” Jawab Maling Sakti.
Namun
Maling Aguna enggan dan takut untuk mencuri di Istana, karena ia beranggapan
Raja adalah pemimpin yang baik, yang tidak patut hartanya untuk dicuri.
“Tidak,
saya hanya akan mengambil makanan saja, saya tidak tega mencuri di tempat raja
saya, raja orangnya baik” Jawab Maling Aguna sambil menangis karena sedih telah
mencuri di istana raja yang dianggapnya baik itu.
Setelah
peristiwa itu Maling Aguna meninggalkan sahabatnya Maling Sakti, ia merasa gak
enak diajak mencuri di istana rajanya sendiri. Kemudian unuk memenuhi kebutuhan
makanan di kampungnya, Maling Aguna mencuri dari orang-orang kaya di tetangga
desa seperti biasa.
Suatu
ketika, karena penjagaan semakin ketat, Maling Aguna mulai mencuri dengan cara
melubangi tanah dari sisi luar pagar. Kemudian ia membuat lubang yang
menghubungkan ke dalam rumah. Tidak disengaja saat Maling Aguna melubangi tanah
dan masuk sebuah kamar di kepatihan, lubang itu tepat berada di bawah
ranjangnya Sang Patih.
Saat
itu Sang Patih sedang tiduran dan bercengkrama dengan istrinya di atas ranjang,
mereka tidak menyadari kalau di bawah sudah ada Maling Aguna.
“Diajeng
istriku, seandainya kamu memilih, suka mana, Kang Masmu ini menjadi Patih
ataukah menjadi Raja?
“Ah
Kang Mas, tentu aku suka jika Kang Mas menjadi Raja saja, bukan hanya seorang
Patih” jawab istrinya.
“Baiklah
Diajeng, sebentar lagi keinginanmu akan menjadi kenyataan, saya punya sebuah
semangka ajaib, besarnya satu jun, itu saya letakkan di bawah ranjang. Semangka
itu telah aku racuni, dan besok akan aku hadiahkan kepada Raja, Ia pasti
senang, dan kau akan tahu sendiri cerita selanjutnya” Kata Sang Patih kepada
istrinya.
Mendengar
percakapan itu, Maling Aguna ketakutan, ia segera kembali menutup lubang yang
ada di bawah ranjang Sang Patih. Dengan tergesa Maling Aguna berlari keluar
lubang. Maling Aguna kebingungan, ia mencari-cari temannya Maling Sakti, di
sekitar Istana Raja. Karena menurut pengakuan Maling Sakti, ia sering mencuri
harta kekayaan Raja.
Benar
saja, Maling Aguna bertemu dengan Maling Sakti di dekat tembok luar Istana,
dengan terbata dan gugup, Maling Aguna menceritakan apa yang telah didengarnya
dari pembicaraan Sang patih dengan Istrinya di ranjang yang sempat dicuri
dengar oleh Maling Aguna.
“Wahai
Maling Sakti, saya mohon selamatkan Sang Raja dari rencana pembunuhan Sang
Patih, engkau pernah bilang, bahwa
engkau punya kenalan orang dalam istana, maka saya mohon sampaikan ini kepada
Raja, benar saya tidak bohong” pinta Maling Aguna kepada saahbatnya yang tidak
lain adalah Sang Raja itu sendiri.
“Baiklah,
saya percaya dengan ceritamu, pulanglah kamu ke kampungmu, saya akan ke istana
dan menceritakan ini kepada sahabat saya yang ada di dalam istana” Jawab Maling
Sakti.
Legalah
hati Maling Aguna, ia kemudian pulang meninggalkan sahabatnya. Maling Sakti
sendiri merenungi segala kejadian yang dialami di istananya. Mulai dari
laporan-laporan para punggawanya yang selalu baik-baik saja, hingga akhirnya ia
keluar istana dan bertemu dengan seorang bapak tua penjual ilmu. Dari ilmu
bapak tua itulah Sang Raja mengamalkan ilmu tersebut, sehingga ia mengetahui
keadaan sesungguhnya rakyat yang dipimpinnya. Dari situ pula ia bertemu dengan
maling budiman, Maling Aguna, Maling yang hanya mencuri makanan sekedar untuk
menutupi rasa lapar penduduk kampungnya.
Dari
perjalanannya itu akhirnya terbongkar pula muslihat busuk yang sedang
dijalankan oleh Patihnya, yang akan mendongkel kekuasaannya, hingga Sang Patih
tega akan membunuhnya, dengan cara meracuninya. Untung ada Maling Aguna
sahabatnya yang mengetahui akan hal itu, sehingga ia selamat dari pembunuhan
yang telah direncanakan oleh Patihnya sendiri.
Sebelum
Sang Patih pergi ke istana dan memberikan hadiah semangka ajaibnya, lebih dulu
Sang Raja datang ke kediaman Sang Patih dengan membawa pasukan bersenjata
lengkap. Patih yang tidak punya rasa
terima kasih itu ditangkap dan diadili oleh kerajaan sesuai dengan rencana
makar yang akan dijalankannya.
Setelah
peristiwa itu kerajaan yang dipimpin oleh Sang Raja menjadi kerajaan yang
makmur nan sentausa. Rakyat hidup bahagia dalam perlindungan raja yang adil dan
bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar