Syekh Abu Hasan Al Syadzili Menulis di
Lembar Cahaya
“Kitabku adalah kawan-kawanku”
Begitulah yang diucapkan oleh ulama sufi kenamaan Syekh Abu Hasan Al
Syadzili. Baginya tidaklah penting
seseorang itu dikenal dan dikenang oleh masyarakat, ia tidak khawatir maupun
takut jika kelak diakhir kehidupannya hanya menyisakan tiga baris kata, nama,
tanggal lahir, dan tanggal kematian dilempengan batu nisannya. Karena memang
pada hakekatnya tidak ada yang abadi di dunia ini, semua akan rusak, semua akan
musnah tak terkecuali, semua akan sirna hanya Allah lah Sang Maha Abadi. Kullu
Syai’in Haalikun illa Wajhahu” Segala sesuatu akan sirna kecuali Wajah
Allah SWT.
Oleh karena itu Syekh Abu Hasan Al
Syadzili tidak berambisi untuk menulis beribu-ribu kitab, menulis
berlembar-lembar artikel dan catatan-catatan demi dikenal dan dikenang
masyarakat. Dianggap paling jenius, paling alim, paling produktif dalam
berkarya karena baginya semua itu hanyalah asesoris-asesoris semu dan bukan
menjadi tujuan. Abu Hasan Al Syadzili sama sekali tidak percaya konsep
keabadian sebagaimana yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, bahwa menulis
adalah bekerja untuk keabadian, menulis
agar dikenang masyarakat dan sejumlah tujuan-tujuan semu lain yang kadang akan
menjauhkan kita dari esensi dan tujuan dari menulis itu sendiri.
Bukan berarti Abu Hasan Al Syadzili anti
dengan kegiatan kepenulisan, beliau banyak juga meninggalkan ajaran dan
hizb-hizb yang sampai sekarang masih diamalkan oleh para pengikut beliau di
dalam tarekat Sadziliyahnya, baginya menulis adalah kerja ibadah dan dakwah
yang dilandasi keihklasan dan kemurnian hanya kepada Tuhan saja. Karena pada
dasarnya manusia diciptakan Tuhan dalam rangka untuk beribadah kepada Allah
semata. Bukankah kita selalu mengikrarkan janji setidaknya lima kali sekali dalam sehari saat membaca
doa iftitah bahwa :
إنّ صلاتى ونسكى ومحياي ومماتى لله ربّ العالمين
“Sesungguhnya
sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata hanya untuk Allah Tuhan seru
sekalian alam”
Inilah yang seharusnya menjadi niat
dan landasan seseorang untuk berbuat apapun. Karenanya dengan niat yang lillahi
ta’ala Syekh Abu Hasan As Sadzili lebih suka menulis dalam lembaran-lembaran
cahaya hidupnya, dalam perjalanan tasawufnya, dan dalam kecintaannya kepada
Allah SWT. Ketaatannya kepada Allah adalah lembaran-lembaran tulisannya,
murid-muridnya adalah jilid-jilid
kitabnya.
“Kitabku adalah kawan-kawanku” begitu kata beliau. Syekh Abu Hasan
Al Syadzili benar-benar telah menulis dengan lembar-lembar cahaya di dalam
kehidupannya.
Kelompok orang-orang sufi kadang
identik dengan kelompok yang pasrah dalam menjalani kehidupannya, berpakain ala
kadarnya, tidak memperhatikan penampilan dhohir dan bahkan kadang tidak
memiliki tempat tinggal. Syekh Abu Hasan Al Syadzili tentu tidak ada yang
meragukan kezuhudannya, beliau adalah seorang mursyid bahkan pendiri dari
aliran tarekat Syadziliyah namun kehidupan beliau sangat memperhatikan pakaian
dan penampilan. Rumah beliau bagus, tanah pertaniannya luas, dan memiliki
kuda-kuda yang kuat dan tegap. Karena baginya kesufian adalah gerak batin
seorang hamba, harta dan kekayaan boleh ada ditangan tetapi jangan sampai
melekat dan ada di dalam hati.
Suatu ketika Syekh Abu Hasan Al
Syadzili ditanya oleh seseorang mengapa penampilannya mewah dan menaiki kereta
kuda yang indah, padahal ia adalah seorang ulama sufi ?, maka beliau menjawab
bahwa agar ia tidak terkesan sebagai orang yang butuh kepada orang lain, karena
hanya kepada Allahlah kita menggantungkan kebutuhan. Belia juga pernah berkata
kepada muridnya Abu Abbas Al Mursyi, “Kenalilah Allah, lalu hiduplah
sesukamu”
Abu Hasan Al Syadzili juga berpesan
kepada murid-muridnya, “Anakku dinginkan air yang akan kau minum. Sebab, jika
kau minum air hangat lalu mengucap Al Hamdulillah; tak ada semangat dalam
ucapanmu. Berbeda jika kau meminum air dingin, lalu mengucap Al Hamdulillah;
niscaya seluruh organ tubuhmu turut mengucap Alhamdulillah.” Begitulah cara abu
Hasan memandang kehidupan seorang mu’min harus selaras dengan do’a yang selalu
dibacanya “Fi addun-ya hasanah wa fil akhiroti hasanah” bahagia dunia
akhirat.
Ajaran Syadziliyah yang beliau
dirikan tidaklah berbeda dengan ajaran-ajaran ulama tasawuf lainnya, tentu yang
paling pokok ajaran itu tidak menyimpang dari petunjuk Al Qur’an dan
sunnah-sunnah Rosulullah SAW. Syekh Abu Hasan menekankan kepada murid-muridnya
untuk menapaki jalan ma’rifat dan mahabbah kepada Allah SWT. Karena siapa yang
mencintai Allah, mencintai karena Allah, berarti telah sempurna kewaliannya dan
tidak terjebak pada kelezatan duniawi yang semu. Al hubbub lilah, wa fillah,
cinta karena Allah, dan bersama Allah menjadi bagian terpenting bagi seorang
hamba dalam bersuluk kepada-Nya.
Abu Hasan Al Syadzili selain sebagai
seorang yang zahid beliau juga seorang mujahid yang pemberani. Pada saat
pasukan salib menyerang tanah airnya, pada saat negerinya terancam bahaya, tak
sejengkal pun ia berlari menghindari peperangan. Ia tidak mau menjadikan ritual
ibadah dan kegiatan dzikir sebagai dalih untuk menghindari perang. Abu Hasan Al
Syadzili yang sudah berumur lebih dari enam puluh tahun ikut mengangkat senjata
berada dibarisan terdepan pasukan kaum muslimin untuk melawan kaum kafir salib.
Beliau tidak melewatkan kesempatan untuk berjihad qital fi sabilillah.
Bersama-sama dengan ulama-ulama Al Azhar lainnya seperti al –Izz Ibn Abdul
Salam, Majduddin al Qusyairi, Abu Hasan memberikan dukungan semangat kepada
Khalifah Malik al Zahir Baybars untuk menggempur tentara salib di bawah
pimpinan Raja Louis IX.
Begitulah kehidupan Syekh Abu Hasan
Al Syadzili yang ditulis dilembaran-lembaran cahaya sejarah yang abadi. Beliau
adalah seorang ulama yang memahami ilmu hakekat dan syariat, seorang ahli
ibadah yang saleh, seorang zahid yang memiliki dunia tetapi tidak dikuasai
dunia, seorang pendiri tarekat Syadziliyah yang memiliki puluhan ribu hingga
jutaan pengikut yang setia dan mencintainya.
Syekh Abu Hasan al Syadzili meninggal
dunia diusia 63 tahun, beliau terlahir di Maroko, tepatnya di desa Ghamarah
tahun 539 hijriyah dan meninggal dunia di Humaitsarah dekat Laut Merah saat
akan menuaikan ibadah haji pada tahun 656 hijriyah. Semoga Allah mengampuni
segala dosa-dosanya dan menempatkan di sisi-Nya. Amien. Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar