Hamka Ulama yang Nyastra
Gambar : Serbasejarah.wordpress.com |
Membaca karya Hamka khususnya yang berbentuk
novel semisal Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der wijck
mengajarkan kepada kita untuk lebih arif akan kompleksitas hidup yang ada di
tengah-tengah masyarakat. Kadang nilai-nilai sosial tidak bisa kita kelompokkan
menjadi dua kutub yang saling berhadapan, halal-haram, hitam-putih,
terang-gelap dan lain sebagainya. Adakalanya nilai-nilai di mana frasa-frasa
itu harus dikesampingkan terlebih dahulu atau mungkin bahkan tidak perlu
dipakai untuk menilai sesuatu yang memang bukan ranahnya.
Hamka tentu sangat faham tentang ilmu agama,
lebih-lebih beliau memang seorang ulama kenamaan, namun begitu beliau tidak
bersikap arogan dengan segala kompleksitas nilai-nilai yang ada di
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kadang kita melihat kelompok-kelompok
tertentu yang hantam kromo menerapkan standart kaku dalam menilai
sesuatu yang dalam Al-Qur’an sendiri kadang masih musytabihat. Stempel
halal-haram, hitam-putih seakan menjadi senjata pokok dalam menilai segala
sesuatu seakan meniadakan warna-warni kehidupan yang memang oleh Allah kita
disuruh untuk memilihnya sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan peradapan
manusia. Saya berharap mereka-mereka
bukanlah seorang penyandang buta warna yang memang hanya mampu melihat hitam
putih saja tanpa tahu warna-warni keindahan lainnya.
Semisal novel, roman, puisi dan sejenisnya
kadang sebagian pihak memandang sebelah mata dan hanya dianggap karya sampah
belaka. Namun saya kira Hamka tidak sedang bergurau ketika ia sebagai seorang
ulama juga sebagai seorang penulis novel, disamping beliau juga menulis tafsir
Al Qur’an. Hamka berhasil keluar dari pemikiran mainstream masyarakat dan
memberikan definisi dan makna tersendiri terhadap karya sastra berupa novel
yang dianggap nir-nilai keagamaan. Kita memang jarang memiliki ulama yang
nyastra semisal beliaunya. Walau tidak ada keharusan memang seorang ulama
adalah seorang sastrawan juga, sebagaimana tidak bisa dipersalahkan juga ketika
ada ulama yang sekaligus seorang sastrawan.
Selain Hamka menurut saya ada tokoh-tokoh
ulama yang juga sekaligus seorang sastrawan semisal Cak Nun, Gus Mus, Taufiq
Ismail, Zawawi Imron, Ahmad Tohari. Beliau-beliau ini berusaha memberikan warna
yang berbeda dalam dunia sastra.. Jika kita sepakat bahwa nilai-nilai ajaran
Islam itu universal tentu dunia sastra pun tidak boleh luput dan kering dari
nilai-nilai keislaman itu, agar dunia sastra tidak hanya dimonopoli oleh
orang-orang yang hanya menjadikan sastra sebagai objek untuk merusak peradapan
generasi muda kita. Bukankah dulu Partai Komunis Indonesia juga menjadikan
dunia sastra dan seni untuk memprogandakan ajaran mereka ? ada satu organisasi
seni dan sastra di bawah onderbouw PKI kala itu yang dikenal dengan sebutan
Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat), PKI dengan Lekranya berusaha menghantam dan
merusak nilai dan sendi-sendi ajaran Islam dengan kebudayaannya semisal
menyelenggarakan pagelaran ketoprak dengan lakon “Matinya Gusti Allah.”
Membuat lagu genjer-genjer yang booming di tahun 40-an dan lain sebagainya. Oleh karena itu kita
memerlukan sastrawan-sastrawan yang peduli terhadap nilai-nilai ajaran Islam
dalam setiap karyanya dan memberikan sentuhan profetik dalam hasanah kebudayaan bangsa Indonesia.
Persoalan cinta adalah persoalan abadi pada
tiap diri manusia, masalah cinta telah ada sejak manusia diciptakan Tuhan.
Hamka pun tidak tabu untuk menulis tema ini. Terbukti dalam dua karyanya yang
telah saya baca bercerita tentang romantisme percintaan. Novel Di Bawah
Lindungan Ka’bah berkisah tentang cinta sepasang kekasih Hamid-Zainab, walau
cinta mereka dipisahkan jarak bermil-mil namun cinta itu tidak kujung padam,
hingga akhirnya keduanya meninggal dunia tanpa sempat mengikat cinta mereka
dalam Miitsaqan ghalidzan, dalam keindahan mahligai rumah tangga. Hamid
dan Zainab sama-sama tak mampu mengatakan gelora cinta mereka berdua, cinta itu
mereka pendam dalam-dalam, hanya Tuhan dan pemilik cinta itu sendiri yang
merasakannya. Mereka berdua memelihara cinta dalam bingkai KeTuhanan, hanya
kepada Tuhan cinta itu diadukan, cinta mereka bedua sangat suci dan murni, jauh
dari nafsu dan kesenangan duniawi. Hamid memilih berada dalam kibaran kiswah
Ka’bah untuk menyalurkan hasrat cintanya kepada kekasihnya, begitu juga Zainab
ia menghabiskan hari-harinya bermunajat kepada Tuhan. Sepasang kekasih itu
menyimpan bara cintanya hingga kematian menjemputnya. Dalam lisannya yang mulia
Rosulullah bersabda :
من عشق فعفّ فكتم فمات مات شهيدا
Artinya : Barang siapa yang sangat mencintai
(seseorang) kemudian ia tetap menjaga diri dari perbuatan dosa dan menyimpan
cintanya sampai mati karenanya, maka ia telah mati syahid”
Tenggelamnya Van der wijck pun menceritakan
hal yang sama, cinta seorang pemuda bernama Zainuddin dengan kekasihnya Hayati.
Cinta mereka berdua kandas karena tidak adanya persetujuan dari pihak keluarga
Hayati. Gadis itu akhirnya dinikahkan dengan seorang pemuda dari keluarga
kaya-raya Aziz. Sedang Zainuddin sendiri berasal dari keluarga yang papa.
Zainuddin dipaksa menerima keadaan, ia sama
sekali tidak bisa mengharap keajaiban slogan “Cinta itu buta” ataupun
mengandalkan mantra-mantra yang mempesona :
في الحبِّ يموت كلّ الإيضاح
"Dalam cinta, matilah segala penjelasan”
Semua itu hanya semakin meneguhkan kesedihan dan keputusasaan
terhadap cintanya yang
Hingga akhirnya Zainuddin pergi merantau ke
tanah Jawa untuk berjuang dari keterpurukan cintanya. Walau banyak yang
mengatakan bahwa cinta itu tidak memandang harta dan kedudukan namun pada
kenyataannya kondisi sosial di tengah masyarakat tidak seindah slogan cinta. Mungkin
slogan itu memang hanya ada di negeri dongeng yang memang tidak nyata. Hamka dengan
sangat baik berhasil mengemas cerita cinta dalam dua novelnya dalam bingkai
yang sangat manusiawi. Bukan cerita cinta yang hanya ada dalam negeri dongeng
saja yang selalu happy ending.
Label cerita
cinta dua anak manusia sering difahami dan dipandang negatif sebagai tema
pasaran, bahkan mungkin label seperti itu juga kemudian membuat novel
semacamnya dijuluki roman picisan yang cenderung berbicara cinta yang cabul dan
binal atau dalam genre sastranya dikenal dengan istilah sastra tubuh. Namun setelah
saya membaca dua novel Hamka ternyata pandangan itu keliru. Sebuah karya tulis diakui
atau tidak sedikit banyak tentu mencerminkan pandangan dari si penulis itu sendiri,
jika penulis memiliki pandangan yang sholeh tentu karyanya juga akan sholeh,
begitu juga sebaliknya jika pandangan dan latar belakang si penulis adalah
picisan tentu karya yang dihasilkan juga tak bermakna. Hamka berhasil
memberikan warna yang berbeda tentang kisah yang bertemakan cinta dalam dua
novelnya, ia mampu menghadirkan pada pembaca tentang makna cinta yang fitrah
dan tak terkotori oleh nafsu-nafsu yang syaitoni. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar