Syair Cinta Sang Perawan Suci
“Maria kedua dan wanita tanpa dosa” begitu
Attar (seorang sufi) menyebutnya. Dialah Rabi’ah Al adawiyyah seorang gadis yang hidup di akhir abad ke-8
dan paruh pertama abad ke-9 M. Rabiah ibarat bintang yang bersinar di langit
kota Basrah cahayanya berpendar melintasi batasan ruang dan waktu hingga kini.
Ia terlahir di sebuah kota di Basrah, sebuah kota yang bergemerlapan ilmu
pengetahuan dan peradapan kala itu. Namun demikian Rabiah dilahirkan dari
kondisi keluarga miskin dan perkampungan yang kumuh serta reot. Dari
keterbatasan itulah Rabiah diasuh zamannya hingga ia menjelma menjadi seorang
sufi. Dialah yang pertama kalinya mempelopori jalan cinta bagi para salikin
yang menginginkan suluk kepada Rabbnya.
Dalam memandang suatu konsep ibadah, Rabiah
tidak ingin terjebak pada seremonial belaka seperti Sholat dan do’a baginya
bukanlah alat yang dipakai untuk meraih pahala. Ia berkata :
“Saya tidak akan mengabdi kepada Tuhan seperti
seorang buruh yang selalu mengharapkan gaji”
Begitulah sikap spiritual Rabiah dalam
menjalin hubungan dengan Tuhan. Hubungan itu adalah hubungan yang murni tanpa
ada pamrih sebagaimana hubungan seorang buruh yang mengharap imbalan dari
tuannya, atau seperti hubungan perniagaan yang memperhitungkan laba dan rugi.
Rabiah menghamba kepada Tuhannya hanya karena ma’rifat cinta, menjalani
sepanjang penghambaannya hanya untuk meraih cinta dan bukan karena iming-iming
surga maupun karena takut siksa neraka.
Dikisahkan di sepanjang jalan Rabi’ah berjalan
dengan tergesa-gesa sambil membawa obor yang menyala dan membawa setimba air,
ketika ditanya untuk apa obor dan setimba air itu, ia menjawab, “Saya akan
memadamkan api neraka dan membakar surga” begitu katanya. Dari jawaban ini
sebenarnya Rabi’ah ingin menegaskan bahwa tujuan peribadatan yang sebenarnya
bukanlah karena pengharapan terhadap surga maupun ketakutan karena siksa
neraka, karena dua hal itu adalah makhluk Allah SWT sebagaimana makhluk-makhluk
lainnya seperti manusia. Padahal Allah telah melarang hambanya untuk takut
kepada selain-Nnya. Allah berfirman dalam Al Qur’an Surat al
Maidah ayat 44 :
فلا تخشواالنّاس واخشون
“Karena itu janganlah kamu takut kepada
manusia, tetapi takutlah kepada-KU…”
Begitu pula ketika Rabi’ah mengatakan kepada orang-orang akan
membakar Ka’bah, secara dhohir dan dalam pandangan awam kata-kata ini tentu
menyulut kemarahan orang-orang yang berfikiran sempit dan fanatik. Ka’bah rumah
Allah SWT akan dibakar oleh Rabi’ah, mungkin jika Rabi’ah hidup di zaman
sekarang maka ia akan kenyang dengan segala macam stigma yang negative,
dilabeli kafir, halal darahnya, dan seabrek tudingan yang keji lainnya. Padahal
bukan pada hal itu sebenarnya yang menjadi tujuan dari Rabi’ah. Ia hanya ingin
segala limpahan cinta Tuhan dibalas dengan limpahan cinta pula dari
hamba-hambanya, bukan malah menawar-nawar Allah, bukan malah berjual beli
amalan-amalan kebaikan kita dengan surge-Nya.
Tidak salah memang seseorang beribadah karena didasari harapan dan
ketakutan, karena memang Allah SWT menurunkan Al -Qur’an sebagai kabar gembira
akan balasan surga dan peringatan akan siksa neraka. Namun sebanyak apapun kita
beribadah dan beramal sholeh sama sekali itu tak sanggup kita pakai untuk
membeli surga-Nya. Karena Allah pada hakekatnya memasukkan hamba-Nya ke surga bukan
karena amal perbuatan kita, namun lebih karena rahmat dan cinta-Nya, karena
Allah SWT adalah Sang Maha Pecinta.
Dalam firman-Nya Allah berfirman tentang orang-orang yang beriman
adalah orang-orang yang sangat mencintai-Nya. Di dalam surat Al Baqarah ayat
165 dinyatakan dengan gambling :
والذين امنوا اشدّ حبّا لله...
“Adapun orang-orang yang
beriman sangat cinta kepada Allah...”
Begitu pula dengan Rabi’ah, dia sangat-sangat
didera cinta yang mendalam kepada Tuhannya dari maqom cinta inilah Rabi’ah
berusaha menapaki jenjang-jenjang pendakian ruhaninya menuju kemurnian cinta
hanya kepada Tuhan semata.
Rabiah selalu merindukan “Wajah Tuhan” hatinya
tidak bisa berpaling darinya. Ketika Rabiah menjalankan ibadah haji bukan Ka’bah
yang menjadi tujuannya, bukan Ka’bah yang dirindukannya karena “Wajah Tuhan”
tidak di dalam Ka’bah maupun di luarnya. Rabiah tidak terperdaya ibadah dalam
tataran ritualistik ibadah haji, dia tidak lagi dibatasi oleh haji ke Rumah
Tuhan dan Tanah Pewahyuan karena baginya wajah Tuhan itu berada dibalik kesadaran
manusia akan nilai-nilai keilahian. Dalam Surat Al Baqarah ayat 115 dijelaskan :
فأينما تولّوا فثمّ وجه الله...
“Maka kemanapun kamu menghadap di situlah “Wajah Allah”…”
Perhatikanlah bagaimana Rabi’ah
berbicara tentang haji dan Ka’bah :
“Saya tidak menginginkan Ka’bah tetapi Tuhan. Apa saja yang dapat
saya lakukan terhadap Ka’bah ? yang seperti itu adalah penyembahan terhadap
berhala yang sangat parah di muka bumi. Tuhan tidaklah di dalam atau di luar
tembok Ka’bah. Dia tidak membutuhkannya”
Pandangan dan wacana Rabiah atas ritualistik ibadah haji tidak bisa
difahami secara literal saja. Jika kita terlalu literal dan tekstual dalam
memahami perkataan Rabi’ah tentu akan menimbulkan polemic yang tak
berkesudahan. Karena pada hakekatnya Rabi’ah menggunakan pandangan dan
ekspresi-ekspresi yang hanya dapat dipahami oleh tujuan dan makna-makna yang
sifanya batiniah.
Cinta adalah gairah yang tak pernah padam, begitu juga gairah cinta
Sang Perawan Suci itu kepada Tuhannya. Seakan ia tidak meninggalkan ruang sedikitpun untuk selain-Nya. Cinta Rabiah
yang agung dan melangit itu seakan meremehkan cinta terhadap manusia, ia
memutuskan untuk tidak menikah karena terdorong cita-cita yang paling tinggi
untuk menuju yang Maha Abadi. Cintanya kepada Tuhan benar-benar melampaui
hal-hal yang dapat dipahami hingga dia menyentuh satu jenis cinta yang bersih
dari kesengsaraan dan kesalahan. Rabiah benar-benar telah terbakar oleh
teriknya cinta di dalam pencariannya untuk menemukan esensi ke-Tuhanan.
Syair-syair rindu dan cinta berbaur dengan rasa ragu dan harapan
selalu Rabi’ah panjatkan, betapa ia sering larut dalam kesedihan dan tangisan
sambil memohon kepada kekasihnya dalam malam-malam yang sunyi dan gelap :
“Oh Tuhanku, jika aku beribadah kepada-Mu karena takut akan api
neraka, maka bakarlah aku di dalam api neraka itu, dan jika aku beribadah
kepada-Mu mengharapkan surga, maka jauhkanlah surg dariku. Tetapi jika aku
beribadah kepada-Mu hanya untuk diri-Mu semata, maka jangan jauhkan aku dari
melihat “WajahMu” yang indah itu.
Syair-syair cinta itu selalu meluncur dari hati Rabi’ah hingga ia
benar-benar merasakan sublimasi cinta kepada Tuhan. Sebuah cinta yang lahir
tidak dari ambisi atau kenikmatan inderawi apapun. Ia juga tidak berhak
mendapat ganjaran karenanya. Cinta dan hanya cinta. Joyojuwoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar